TEMU Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi diselenggarakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi bekerja sama dengan Pemda, dan instansi terkait lainnya. Kegiatan dengan tema Keberagaman, Kedinamisan, dan Keharmonisan Ekologi Sastra Indonesia ini diselenggarakan mulai 7 sampai 11 Juli oleh panitia inti, yang terdiri dari komunitas sastrawan, seniman, budayawan, dan akademisi. Acara utama berlangsung tiga hari, 7--9 Juli.
Panitia TSI 1 mengundang 109 sastrawan Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Isbedy Stiawan Z.S., Iswadi Pratama, Dahta Gautama, dan Eddy Samudra Kertagama tercatat sebagai sastrawan dalam daftar undangan panitia. Dari empat itu, hanya Isbedy yang menghadiri acara tersebut. Iswadi tidak hadir karena mengurusi pentas monolog yang diselenggarakan Dewan Kesenian Lampung.
Seperti disampaikan ketua pelaksana TSI 1 Sudaryono, panitia temu sastra melihat keberagaman budaya daerah sebagai salah satu sumber penciptaan. "Ini perlu diberikan ruang untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra. Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur di Indonesia memberikan keberagaman dalam keindonesiaan," ujar sastrawan yang biasa memakai nama pena Dimas Arika Mihardja ini.
Di tengah globalisasi, panitia TSI juga yakin keberagaman warna lokal menjadi penting. Keberagaman itu membuat identitas lokal terwadahi. Tampilnya identitas lokal yang beragam merangsang tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis dalam sastra Indonesia mutakhir. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia. Ini satu harapan dan idealisme panitia temu sastrawan.
Agenda penting lain yang jadi fokus TSI 1 berkaitan dengan persoalan ekologi sastra Indonesia yang dihuni sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca. Panitia menilai ada yang tidak sehat dalam ekologi sastra saat ini. Masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) berjalan sendiri-sendiri. Terpisah jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian.
Dalam konteks inilah, TSI mencoba membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan. Dari sini, muncul harapan terciptanya ekologi sastra Indonesia yang kondusif.
TSI juga berangkat dari keprihatinan miskinnya perkembangan kritik sastra. Kritik sastra seperti kerakap di atas batu--demikian penjelasan panitia dalam panduan TSI: Hidup segan, mati tak mau! Jika dibiarkan, karya sastra yang faktanya jauh dari masyarakat akan semakin jauh dari pembaca.
Di sinilah peran kritikus. Tanpa kritikus, sulit mendekatkan karya sastra dengan pembaca maupun apresian. Namun, pasca-H.B. Jassin, perkembangan sastra Indonesia bisa dibilang berjalan tanpa dampingan kritik sastra.
TSI juga menginginkan terbentuknya wadah yang bisa mengadvokasi sastrawan ketika bermasalah dengan pihak lain, seperti pemerintah, media massa, atau organisasi tertentu. Dengan wadah ini, sastrawan diharapkan memiliki bargaining power dan bargaining position.
Wadah yang digagas panitia TSI ini terbentuk pada 9 Juli lalu dengan nama Aliansi Sastra Indonesia (ASI). Lembaga ini tidak langsung diterima. Bisa dibilang, sebagian besar peserta TSI menolak pembentukan wadah.
Ketidakjelasan peran dan fungsi menjadi alasan terkuat yang membuat sejumlah sastrawan tidak setuju dengan wadah tersebut. Isbedy Stiawan, Acep Zamzam Noor (penyair dari Jawa Barat), Sosiawan Leak (Solo), dan Suyadi San (Medan) termasuk peserta yang tidak sepaham dengan pembentukan ASI.
Tidak adanya pembelaan pada Wiji Thukul--penyair yang jadi korban penculikan semasa Orde Baru--adalah satu kasus yang membuat Sosiawan Leak pesimistis dengan wadah sastrawan. Kekhawatiran akan berulangnya tradisi membesarkan ketua menjadi alasan utama Isbedy menolak Aliansi Sastra Indonesia.
Namun, berdasarkan musyawarah, pada 9 Juli lalu, wadah itu terbentuk juga dengan nama Aliansi Sastra Indonesia. Mengapa memakai nama aliansi? Bukankah sastra tidak bisa dialiansikan karena bukan orang?
Tim perumus--antara lain terdiri atas Triyanto Triwikromo (cerpenis dari Jateng), Acep Zamzam Noor, Tan Lioe Ie (penyair, Bali), dan Firdaus (penyair, Jambi)--memilih kata 'sastra" bukan 'sastrawan' berangkat dari konsep ekologi sastra. Dalam konsepsi tim perumus, dalam sastra itu ada produk, ada kreator, ada kritikus, dan ada elemen lain yang ikut berperan dalam sastra.
Benar kata Shakespeare: Apa arti sebuah nama? Bukankah pada akhirnya yang lebih utama fungsi dan peran, bukan wadah-wadahan? n RAHMAT SUDIRMAN/M-1
Sumber: Lampung Post, Minggu, 13 Juli 2008
No comments:
Post a Comment