-- R Adhi Kusumaputra*
PELAJARAN bahasa daerah cenderung kurang diminati anak-anak Indonesia generasi sekarang. Bahasa Jawa dan bahasa Sunda, yang biasanya diajarkan di sekolah, mulai pudar pamornya. Bagaimana caranya agar bahasa-bahasa daerah tetap eksis dan lestari?
Sejumlah penerbit di Indonesia kini memanfaatkan teknologi baru, readboy talking book, untuk memudahkan anak-anak belajar dengan menyenangkan. Salah satu produk yang dipajang di Pesta Buku Jakarta 2008 di Istora Senayan Jakarta, Jumat (4/7). (KOMPAS/ADHI KUSUMAPUTRA/Kompas Images)
Direktur Penerbit Intan Pariwara Tomy Utomo Putro (47) mengatakan, setahun terakhir ini pihaknya bekerja sama dengan pemegang lisensi Readboy di Indonesia, Jenny Wijaya (38), untuk membuat agar pelajaran Bahasa Jawa diminati anak-anak sekolah.
”Buku-buku pelajaran Bahasa Jawa yang kami terbitkan di-readboy-kan. Ternyata banyak orangtua siswa yang menyambut baik karena mereka tak kesulitan lagi mengajarkan anak-anak belajar bahasa Jawa. Anak menjadi senang membaca karena dengan teknologi baru ini, anak diajak bermain. Yang diserap lebih banyak,” kata Tomy.
Penerbit Intan Pariwara termasuk salah satu penerbit di Indonesia yang memanfaatkan teknologi talking book ini untuk menjual buku-buku pelajaran, terutama Bahasa Jawa, Bahasa Inggris, dan Pendidikan Agama Islam, untuk siswa kelas I sampai kelas VI SD.
”Kami tidak memfokuskan diri pada bahasa Jawa (Tengah) dan Yogyakarta, tetapi juga bahasa Jawa Timur. Saat ini kami juga menggarap bahasa Sunda,” ungkapnya. Upaya ini merupakan salah satu cara menumbuhkan kembali kebanggaan akan bahasa daerah.
Direktur Eksekutif Readboy Talking Book Jenny Wijaya mengatakan, ide membuat ”buku bisa berbicara” itu muncul ketika dia mendalami bahasa Mandarin di Beijing, China. Dia melihat di sana pada saat liburan anak-anak meluangkan waktu pergi ke toko buku, perpustakaan, dan mengikuti kursus- kursus tambahan serta berjalan-jalan ke taman yang hijau, bukan ke mal-mal.
”Kesadaran anak-anak di China untuk belajar luar biasa. Orangtua di China tidak pernah berpikir dua kali untuk mem- beri anak-anaknya pendidikan yang terbaik. Mereka tidak mengutamakan penampilan, tetapi pendidikan berkualitas. Penampilan sederhana, tapi pendidikan minimal S-1 hingga S-3. Mereka sangat kritis, mengejar pertanyaan di luar buku,” tutur Jenny.
Jenny melihat produk pendidikan di China yang diproduksi perusahaan Readboy setempat sangat diminati anak- anak. Muncullah ide Jenny untuk membawa ”buku yang bisa berbicara” itu ke Indone- sia. Waktu itu, tahun 2000, pemerintah mengizinkan bahasa Mandarin diajarkan setelah 32 tahun dilarang oleh rezim Soeharto. Jenny melihat pe- luang buku pelajaran bahasa Mandarin-bahasa Inggris la- ku di pasaran mengingat ba- nyak orang yang kesulitan belajar bahasa Mandarin dengan benar.
Jenny pun ke pabrik Readboy di Guangzhou, tahun 2001, dan membeli 100 buku pelajaran itu untuk dijual dari pintu ke pintu kepada tetangganya di kawasan Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam tiga hari 20 buku terjual dan dalam dua minggu 80 buku habis.
Tahun 2004, Jenny melihat peluang bahwa buku-buku Indonesia pun dapat di-readboy-kan agar lebih cocok dengan pasar Indonesia.
Setelah sukses meluncurkan buku ”berbicara” bahasa Mandarin-Inggris-Indonesia, Jenny mengeluarkan produk terbaru Readboy Talking Book yang dapat digunakan untuk semua buku. Teknologi baru ini disambut baik oleh sejumlah penerbit di Indonesia.
”Kami menggunakan native narator dari Inggris dan China. Untuk melestarikan bahasa daerah di Indonesia, kami menghadirkan buku pelajaran bahasa Jawa dan Sunda,” kata Jenny. Bahasa asing lainnya yang tersedia adalah bahasa Jepang, Arab, Perancis, dan Korea.
Tidak mahal
Melalui teknologi baru ini, menurut Jenny, belajar tak harus mahal. Sebab, dengan membeli satu unit readboy talking book, anak-anak mendapatkan chip gratis dan setelah itu mereka bisa menukarkan chip tersebut dengan chip lainnya.
Kehadiran teknologi readboy talking book ini diakui CEO Produksi Penerbit Mizan Andi Yudha Asfandyar. ”Teknologi ini sangat menarik bagi anak-anak. Konsumen Mizan menanggapi positif. Di sini ada konsep visual, verbal, dan auditorial,” katanya.
Penerbit Mizan sejak setahun terakhir sudah menerbitkan 28 judul buku yang bisa disinergikan dengan readboy. Buku-buku itu buku serial bercerita, serial aku ingin sesuatu, serial belajar kemandirian, dan serial rasa syukur. Mizan juga meluncurkan kamus tematis tentang sejarah, tempat bersejarah, aktivitas, dan profesi dalam bahasa Inggris, Indonesia, dan Arab.
Pendapat senada disampai- kan Senior Marketing Manager Penerbit Tiga Serangkai Misno Sudaro (43). Penjualan buku yang bersinergi dengan readboy naik signifikan sampai 100 persen. Buku Tiga Serangkai yang menjadi unggulan adalah Juz Amma dan 10 judul buku dasar agama Islam lainnya.
”Banyak orangtua tertarik karena ternyata anak mereka mudah menyerap pelajaran Bahasa Arab. Ini mengundang lebih banyak minat anak-anak untuk belajar bahasa dengan lebih mudah, lebih menyenangkan,” kata Misno. Tiga Serangkai sudah menerbitkan puluhan judul buku yang dimasukkan ke dalam chip.
Sejauh ini sudah 500 judul buku dari berbagai penerbit yang diluncurkan dan dalam waktu dekat akan bertambah 500 judul baru lagi yang akan hadir. Sejumlah penerbit yang menjalin kerja sama membuat buku-buku mereka ”bisa berbicara” adalah Bhuana Ilmu Populer, Grasindo, Ganeca Exact, Mizan, Tiga Serangkai, Aneka Ilmu, Grafindo, Agromedia, Kawan Pustaka, Wahyu Media, Yudhistira, Intan Pariwara, Puspa Swara, Penerbit Andi, dan Mandira.
Belajar yang efektif dan efisien pun ternyata mengikuti perubahan zaman dan perkembangan teknologi.
Sumber: Kompas, Sabtu, 19 Juli 2008
No comments:
Post a Comment