Monday, July 21, 2008

Diskusi Buku: Suka Duka di Negeri Penjajah

[JAKARTA] Apa yang dilakukan orang-orang Indonesia di Belanda saat bangsanya dijajah oleh Belanda selama 350 tahun? Tidak banyak orang tahu. Orang-orang Indonesia justru lebih mengetahui apa yang dilakukan orang-orang Indonesia saat negerinya dijajah Belanda, yaitu berperang mempertahankan hak, bangsa, dan tanah tumpah darahnya. Dari sinilah diketahui adanya nama pahlawan-pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Tjuk Nyak Dien, Imam Bonjol, dan lain-lain, yang berjuang melawan penjajah Belanda.

Sejarawan, JJ Rizal (kanan) saat mengutarakan pendapatnya mengenai buku karya Harry A Poeze berjudul "Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950 di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta, baru-baru ini. Pembicara lainnya dalam diskusi itu adalah Bambang Sujatmiko (paling kiri). (SP/Ferry Kodrat)

Harus juga diakui, ketidaktahuan orang akan kehidupan orang-orang Indonesia di Belanda pada zaman penjajahan dulu, karena memang di negeri ini tidak ada dokumen-dokumen penting yang menyimpan berbagai peristiwa tersebut, baik dokumen berupa surat, foto, maupun sketsa.

Semua bukti sejarah yang rata-rata berbahasa Belanda kuno itu ternyata tersimpan dengan apik di Negeri "Kincir Angin". Tentu saja yang menyimpannya adalah orang per orang yang sanak keluarganya bertalian erat dengan masa penjajahan Belanda di Indonesia.

Sejarah yang nyaris terlupakan oleh orang-orang Indonesia itulah yang dengan sabar disusun oleh seorang penulis asal Belanda, Harry A Poeze, untuk akhirnya melahirkan sebuah buku yang dia beri judul Di Negeri Penjajah, Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950.

Dalam menyusun buku tersebut, Poeze dibantu oleh Cees van Dijk dan Inge van der Meulen. Akan tetapi, bantuan kedua orang tersebut tidak cukup bagi Poeze untuk menyusun buku setebal 417 halaman tersebut agar bisa dinikmati oleh orang Indonesia.

Perjuangan Panjang

"Kehadiran buku ini di tengah-tengah orang Indonesia, merupakan tahap akhir dari sebuah proses perjuangan yang cukup panjang selama 15 tahun. Ya, untuk bisa mengalihkan buku ini ke dalam bahasa Indonesia, ternyata sangat sulit. Sebab, sebelum kami terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kami lebih dahulu mengalihkan kata-kata dalam dokumen aslinya ke dalam bahasa Belanda dengan kosa kata yang baru. Terus terang, saya hampir putus asa, apakah buku ini bisa saya alihkan ke dalam bahasa Indonesia," ujar Poeze sebelum acara peluncuran dan diskusi buku karyanya itu di Auditorium Erasmus Huis, Jakarta, baru-baru ini.

Buku ini benar-benar merekam suka dan duka orang- orang Indonesia yang merantau ke negeri Belanda di saat bangsa mereka sedang berada dalam penjajahan Belanda selama 350 tahun. Orang-orang Indonesia yang terekam itu bukan saja dari kalangan bangsawan, melainkan juga pembantu.

Imajinasi Historis

Yang semakin menguatkan kebenaran dari peristiwa demi peristiwa yang dilakukan orang-orang Indonesia di Belanda adalah dengan menampilkan beberapa foto lengkap dengan teksnya, gambar sketsa, kliping-kliping koran, dan lain-lain.

Dengan menampilkan foto-foto dan gambar tersebut, sudah jelas tergambarkan imajinasi historis yang dituangkan dalam buku tersebut, sehingga sangat memberikan daya tarik orang untuk melihatnya.

Melalui buku ini, orang- orang Indonesia menjadi tahu bahwa pada tahun 1602, sudah ada orang Indonesia yang datang ke negeri Belanda, yaitu sekelompok orang yang diutus oleh seorang sultan dari Aceh. Dijelaskan pula bahwa pimpinan delegasi Indonesia yang sudah berusia 71 tahun tersebut, meninggal ketika kapalnya berlabuh di Belanda. Meskipun sang pemimpin beragama Islam, jasadnya dimakamkan di dalam sebuah gereja, dan hingga kini (setelah 400 tahun), makamnya masih ada di dalam gereja tersebut. Lima tahun kemudian, tahun 1607, giliran orang- orang dari Ambon yang berkunjung ke Belanda dengan tujuan politis.

Dari buku ini juga diketahui bahwa orang-orang Indonesia juga akan yang berperang untuk Belanda saat negeri itu dijajah Jerman pada Perang Dunia II. Dari perjuangan orang-orang Indonesia untuk Belanda tersebut, delapan orang Indonesia tewas ditembak dan 80 orang lagi tewas akibat kelaparan saat ditawan pasukan Jerman.

Buaian kemerdekaan Indonesia ternyata juga terdapat di Belanda, khususnya di Leiden dan Den Haag. Itu terjadi melalui Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus sampai 2 November 1949, di mana Ratu Juliana yang semula tidak ingin memberikan kedaulatan atas kemerdekaan Indonesia, akhirnya mau menandatangani Acte van Soeverinteitsoverdracht en Erkenning (Akte Penyerahan Kedaulatan dan Pengakuan). [F-4]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 21 Juli 2008

No comments: