Sunday, July 20, 2008

Pustaka: Cerita dari Zaman yang Merana

Judul buku : Senarai Batanghari, Bunga Rampai Temu Sastrawan Indonesia
Penerbit : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi
Cetakan: 1, Juli 2008
Tebal : 135 Halaman

KETIKA sastra disebut sebagai anak kandung realitas, berarti setiap karya yang lahir tidak bisa lepas dari kondisi sosial. Hal ini tergambar pada cerita-cerita yang terkumpul dalam Senarai Batanghari. Kegelisahan pengarang dengan kegalauan zaman terungkap pada sebagian cerita.

Karentile, cerpen Joni Ariadinata yang menjadi judul keempat dalam kumpulan cerpen ini, menyuguhkan kegelisahan kaum intelektual pada realitas sosial Indonesia. Tokoh-tokohnya para intelektual yang tidak hanya piawai berdiskusi, tetapi sekaligus mereka menjadi kaum yang "diuntungkan" dengan carut-marutnya kondisi sosial yang ada. Karena dari masalah itu, ide-ide mereka untuk menulis dan berceracau terus mengalir hingga mendatangkan proyek-proyek yang menopang gaya hidup mewah mereka. Kegelisahan itu terkesan sebagai kamuflase yang semakin menandaskan kemunafikan sempurna pada zaman ini.

Joni Ariadinata meramu dengan piawai ironisme kehidupan di negeri ini, bagaimana kaum intelektual begitu terpisah dengan realitas sosoal. Simbol-simbol warteg-kafe, menjadi penanda jauhnya jurang pemisah kaum menengah dan pinggiran di negeri ini.

Kaum intelektual yang identik dengan kafe dan kaum pinggiran yang hidup pada titik nadir persoalan identik dengan warteg atau bahkan tidak makan. Rakyat kecil bukan hanya kesusahan mencari kerja, melainkan untuk makan sehari-hari saja mereka kesulitan karena naiknya harga BBM. Putus asa dan perilaku kriminal menjadi pilihan dari orang-orang pinggiran.

Keriuhan pemasalahan sosial makin sempurna dengan penghancuran kafe yang dilakukan segerombolan orang atas nama agama. Dalam cerpen ini, pengarang meracik dengan apik kompleksitas masalah, selain gaya cerita yang beragam, membuat cerpen ini menonjol dari yang lain.

Cerpen lain yang juga berangkat dari ironisme realitas sosial adalah Tamu, karya Hamsad Rangkuti. Cerpen ini menceritakan kesibukan penduduk di kawasan lereng Gunung Lawu menyambut kedatangan Bupati Karang Anyar Hj. Riana Iriani untuk memulai panen buah naga. Bagaimana rakyat kecil begitu sibuk mempersiapkan kedatangannya yang hanya sejenak.

Segala ruah dipersiapkan, dari makanan hingga perlengkapan tetabuhan tradisioal untuk membangun kesan asri dan meyakinkan daerah yang akan diorbitkan sebagai daerah wisata itu. Ternyata, keriuhan para penduduk ini sangat tidak sebanding dengan kenyataan. Karena Bupati tidak datang dengan "hati". Sang Bupati nan cantik itu khawatir tertusuk duri saat diminta memulai memanen buah naga yang pohonnya penuh duri.

Sang ajudan pun berjanji akan menyediakan pohon yang sudah dibersihkan dari duri saat kulit putihnya hendak memetik. Kalau idealnya pejabat adalah pelayan rakyat, dalam cerpen Tamu, pengarang dengan tandas menggambarkan kondisi yang sebenarnya, bagaiman pun rakyat adalah para pelayan dari keagungan sang pejabat.

Hal ini dikuatkan bagaimana pengarang menggambarkan sang Bupati tak lebih dari artis yang berada dalam skenario protokoler karena kepentingan proyek. Dia harus bersusah payah menghapal apa yang akan diucapkan ketika kamera membidiknya.

Rakyat kecil sudah cukup senang melihat kehadirannya. Cerpen ini lebih menyerupai traveling ke kaki Gunung Lawu dibanding sebuah cerita. Tapi dengan halus mengangkat kepura-puraan masyarakat ketika menyambut seorang pejabat. Mengada-adakan yang tidak ada, seolah ini adalah negeri yang aman-makmur sejahtera untuk menyenangkan sang pejabat.

Pada cerpen Payung yang ditulis Melina K. Tansri, lebih lugu memaparkan realitas sosial, bagaimana sang tokoh, Uning, terharu sekaligus sedih dengan ketulusan anaknya yang masih kecil harus menyewakan payung, demi menyambut kelahiran adiknya. Anak kecil yang seharusnya polos bermain harus ikut merasakan kesulitan ekonomi. Permasalahan ekonomi menjadi ruh pada cerpen ini. Tapi wong cilik, terbiasa menyikapinya dengan arif, sebagaimana digambarkan sang pengarang.

Selain tema sosial, beberapa cerpen lain mengangkat persoalan cinta dan peselingkuhan, di antaranya cerpen Atik Sulistiowati; Secangkir Kopi Penuh Dusta. Bercerita tentang seorang perempuan yang bertemu dengan lelaki masa lalunya. Mereka dipertemukan dalam kehambaran keluarga masing-masing. Yang membawa mereka dalam perselingkuhan. Sang tokoh harus merana saat laki-laki yang menyanjungnya dan mampu mempersembahkan kebahagian dengan begitu saja meninggalkannya.

Tinggallah dia mengenang masa lalu sambil duduk ditemani secangkir kopi yang dulu dinikmati berdua. Nestapa akhirnya milik perempuan, meskipun sang tokoh adalah seorang aktivis tegar, tetapi harus luluh dalam kedukaan ketika cinta meninggalkannya.

Tema serupa tapi tak sama di jumpai dalam cerpen Episteme karya Linda Harahap. Menguarai hubungan segitiga dari seorang lelaki yang melakukan poligami. Lukisan Angsa karya Fakhrunas M.A. Jabbar juga mengangkat tema cinta. Sedang tema cinta yang mengambil setting pedalaman Jambi muncul dalam kisah Melangun karya Purhendi.

Mengisahkan seorang antropolog dari Australia yang melakukan penelitian pada suku anak dalam di Jambi. Hutan Jambi mempertemukannya dengan anak kepala suku yang menghantarkannya pada hubungan terlarang. Upacara adat pernikahan dilangsungkan antara kedua insan berbeda bangsa juga peradaban saat diketahui Meliang, anak sang kepala suku itu hamil.

Namun, kenyataan pahit terjadi saat demontrasi besar-berasan, para mahasiswa dan aktivis LSM protes pada kehadiran para peneliti Australia dan kerusakan hutan. Keluarga Meliang harus melangun, mencari tempat baru untuk mencari kehidupan. Meliang terpisah dengan Steve yang sedang mengandung. Ini satu-satunya cerpen yang mengisahkan kehidupan anak dalam. Menjadi warna tersendiri pada Senarai Batanghari yang memang membawa kearifan lokal Jambi.

Secara umum Senarai Batanghari mengusug tema-tema realis, beberapa tema realis magis tampak pada cerpen Anjing Penjaga Puri karya Kurnia Efendy, Randu karya Kusprihyanto Namma, Monolog Angin karya Ratna Dewi, Malaikat Tanah Asal karya Triyanto Tiwikromo, kumpulan cerpen ini ditutup dengan Serau karya Yupnical Saketi.

Cerpen-cerpen dalam Senarai Batanghari secara umum tidak hirau dengan estetika. Hingga pencapaian estetika bahasa tidak dapat dibilang "wah", selain ada kesan terburu-buru dalam penerbitan. Hal ini terlihat pada cerpen Hamsad Rangkuti, Tamu, yang banyak terjadi kesalahan penulisan tiap kata. Meksi secara umum cerita-cerita dalam cerpen ini mengalir, tapi tidak ada pencapaian "beda" untuk ukuran bunga rampai temu sastrawan Indonesia.

Tapi bagaimanapun ini adalah usaha maksimal yang layak mendapat apresiasi dari para pembaca.

Susilowati
, Pembaca sastra

Sumber: Lampung Post, Minggu, 20 Juli 2008

No comments: