Jakarta, Kompas - Pelajaran Sastra Melayu di sekolah dianggap kurang bergengsi dibanding mata pelajaran lain, seperti Matematika dan Sains. Ditambah lagi dengan guru terjebak pada pengajaran sastra yang menekankan aspek kognitif, semisal apakah tema, bentuk, nada, dan gaya bahasa suatu karya.
”Mestinya guru lebih kreatif dalam mengajar sehingga sastra menjadi pelajaran yang menarik bagi siswa,” kata Dayang Faridah binti Abdu Hamid, pengajar di Brunei Darussalam, dalam seminar ASEAN Pengajaran Sastra Indonesia/Melayu di sekolah yang berlangsung di Jakarta, Senin (28/7). Acara yang digelar Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) ini sebagai salah satu upaya untuk memajukan sastra di kawasan Asia Tenggara dan dihadiri peserta dari Indonesia, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Singapura.
Dendy Sugono, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, mengatakan, siswa sekarang ini merasa asing dengan karya sastra di luar genre sastra remaja. Namun, hal ini sekaligus peluang untuk menumbuhkan kegairahan bersastra dengan sesuatu yang khas.
”Ini awal yang bagus dan bisa ditingkatkan untuk kelak menjadi sastrawan yang bukan sekadar mengungkap fenomena kehidupan, tetapi juga melahirkan kata- kata yang punya pengertian yang dalam, berkarakter, dan khas,” kata Dendy Sugono.
Setya Yuwana Sudikan, dosen Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni Universitas Negeri Surabaya, mengatakan, pembelajaran sebaik apa pun tanpa memasukkan nilai kemanusiaan, dengan sendirinya akan mengalami degradasi makna yang luar biasa. Belajar sastra menjadi jembatan untuk memahami manusia dan kemanusiaan. (ELN)
Sumber: Kompas, Selasa, 29 Juli 2008
No comments:
Post a Comment