Wednesday, July 16, 2008

Iptek: Said Jenie dan Keinsinyuran Indonesia

-- Ninok Leksono

"JANGAN pernah mengaku insinyur jika tidak punya kemampuan dan pengalaman merancang karya teknologi." (Alm Said Djauharsjah Jenie, seperti dikenang Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, 11/7/2008)

Sosok Said Djauharsjah Jenie, Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang tutup usia pada Jumat (11/7), tak diragukan sarat dengan aura dan komitmen terhadap sains dan teknologi. Jenazahnya diterbangkan dari Bandung ke Yogyakarta dengan pesawat CN-235 yang dia ikut berperan dalam perancangannya. Komitmen diperlihatkan dengan memimpin BPPT dari Senin sampai Jumat, dan—seperti dikemukakan saudara kembarnya, Umar A Jenie, yang juga Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia— Sabtu kembali ke Institut Teknologi Bandung (ITB), tempat Said menjadi guru besar teknologi penerbangan, serta Minggu terlibat dalam masalah penerbangan di PT Dirgantara Indonesia (DI).

Keterlibatan pada ilmu boleh jadi tertanam karena nasihat sang ibu, yang mendorong anak- anaknya sejak dini mencintai ilmu daripada mencari uang. Sikap nasionalis Said, yang menurut Umar, tampak ketika menolak tawaran Malaysia tahun 2002 dan 2003. Said lebih suka di Indonesia mengembangkan rekayasa, seperti kapal bersayap Wings in Surface Effect dan pesawat udara nirawak (Puna).

Selaku Kepala BPPT, Said pun tampak di berbagai forum. Setahun lalu, ia menjelaskan prototipe jembatan dengan desain konstruksi baru kepada Wapres di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong dan bulan silam bersama Duta Besar Amerika Serikat meresmikan pemanfaatan pelampung untuk deteksi tsunami. Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa ketika melayat juga mengenang, bidang utama Said memang kedirgantaraan, tetapi ia juga menaruh perhatian pada wahana benam (cikal bakal kapal selam).

Dengan segala kiprah di bidang teknik dan keinsinyuran, mendiang Said Jenie mencerminkan berbagai sisi pekerjaan yang mungkin bisa dilakukan seorang insinyur, mulai yang berlingkup manajemen birokrasi hingga rekayasa teknik, selain pendidikan-pengajaran. Dengan kepergian Said Jenie, Indonesia memang kehilangan seorang insinyur terkemuka.

Melanjutkan kiprah

Deputi Kepala Bidang Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Surjatin Wiriadidjaja mengatakan, BPPT kini punya tantangan besar untuk melanjutkan riset strategis yang sebelum ini menjadi salah satu perhatian Said. Surjatin berpendapat, rekayasa merupakan kunci sebuah peradaban dan kemajuan negara.

Makna Said tentu lebih besar karena ia juga aktif di bidang lain, termasuk ilmu falak/astronomi, seperti ia perlihatkan ketika memberikan pemikiran untuk mengakhiri perselisihan penentuan tanggal 1 Syawal.

Namun, bidang keinsinyuran jelas yang paling utama dari sosok Said Jenie. Seperti dikemukakan Menneg Ristek Kusmayanto Kadiman, Jumat (11/7), Said Jenie memegang teguh profesi keinsinyuran. Kutipan di awal tulisan ini mencerminkan keyakinan di atas. Said memegang teguh kata-kata tersebut dan menerapkannya, baik sebagai dosen maupun sebagai perekayasa di BPPT dan PT DI.

Insinyur modern

Sebagai sosok yang menggeluti bidang rekayasa dan keinsinyuran, mendiang Said yang masuk ITB (angkatan) 1969 (bukan lulus tahun 1969 seperti berita Kompas, Sabtu, 12 Juli), Said memiliki keyakinan bahwa bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang maju dan mandiri bila mau berusaha. Seperti dikemukakan rekan almarhum dalam tim penggodokan jabatan perekayasa, Erzi Agson-Gani, Said melihat di Indonesia banyak potensi dan teknologi yang belum dikembangkan.

Khususnya bagi para insinyur, abad ke-21 memberi berbagai peluang, baik dalam penemuan maupun inovasi. Dalam hal ini anggota senior Institute of Electrical and Electronic Engineers asal India, TR Gopalakrishnan Nair, pernah mengatakan, insinyur modern yang bertanggung jawab dalam pembuatan produk yang relevan harus memiliki visi dan wawasan global mengenai jenis produk dan kebutuhan dunia baru yang tumbuh (The Hindu Business Line, 27/8/2004)

Dalam hal ini, bidang yang digeluti Said Jenie mencakup wahana transportasi. Namun, ia juga mengusung tema teknologi nano, bioteknologi, dan TIK. Ini tentu berbeda dengan tren yang muncul di beberapa dekade terakhir abad silam, di mana bidang keinsinyuran favorit adalah mesin, sipil, dan elektro.

Oleh karena itu, Nair mengimbau dilakukannya perubahan persepsi guna mencapai keunggulan (excellence) dalam bidang keinsinyuran. Sistem pendidikan pun perlu diorientasikan kembali dengan arah global dan peluang karier. Ditekankan pula perlunya insinyur berpikir keluar batas geografis dan kekangan kultural. Insinyur harus tetap menghormati etik dan mempertahankan sistem nilai agar selaras dengan masyarakatnya.

”Technopreneurship”

Satu hal lagi pelengkap qualities yang ditinggalkan Said Jenie adalah technopreneurship. Bila uraian di atas relevan untuk pengasuh lembaga pendidikan keinsinyuran, technopreneurship lebih relevan untuk lembaga profesi.

Sekarang isu ini lazim dibicarakan, tetapi pada masa lalu tokoh seperti Iskandar Alisjahbana, Soemarjato Kajatmo, juga AR Adiwoso telah dikenal sebagai insinyur yang menjalankan elemen ini dalam profesinya. Sikap itu sendiri pada awalnya kontroversial di lingkungan akademik, seperti di ITB pada dekade 1970-an.

Kini, organisasi insinyur, terutama Persatuan Insinyur Indonesia (PII), tentu juga telah menyegarkan orientasi profesi bagi anggotanya. Seperti muncul dalam diskusi panel Kongres PII tiga tahun silam, diingatkan oleh peserta bahwa tugas insinyur tidak semata to build (membuat), tetapi juga to sell (menjual).

Bagi Indonesia yang masih terus terbelenggu krisis, peranan insinyur sangat besar. Bakat bertebaran di berbagai jalur swasta maupun pemerintahan, tetapi sebegitu jauh kontribusinya dalam upaya perbaikan taraf hidup bangsa dan kemajuan rekayasa dalam negeri dinilai masih minim. Jangankan mobil, untuk motor yang lebih simpel pun negeri ini masih dibanjiri produk asing tanpa sedikit pun bangsa ini bisa berkutik.

Semoga peninggalan mendiang Said Jenie dapat terus disempurnakan dan sikap keinsinyurannya dapat dilengkapi para insinyur Indonesia.

Sumber: Kompas, Rabu, 16 Juli 2008

No comments: