-- Denny Prabowo*
MUNGKIN rata-rata tak kurang dari kehidupan manusia dihabiskan dalam keadaan tertidur. Jika dihitung usia manusia pada umumnya maksimal 60 tahun, 15 tahun dilaluinya dalam keadaan tertidur. Apakah itu berarti manusia telah menyia-nyiakan 15 tahun yang dilalui dalam keadaan tertidur tersebut?
Apakah sesungguhnya manusia, sekurangnya seperempat dalam hidupnya, ada dalam dunia mimpi, dunia yang tak nyata? Di manakah kenyataan sebenarnya ada di dalam dunia tak nyata itu? Begitupun sebaliknya, di mana mimpi sebenarnya mengisi dan berperan dalam kehidupan kita yang nyata?
Tulisan tidak berpretensi terlalu jauh untuk masalah menarik tersebut. Namun, coba melihatnya dalam sebuah ekspresi artistik, yakni dari sebuah cerita pendek (cerpen). Lebih khusus lagi dari dua cerpen pengarang senior Putu Wijaya dan pengarang muda Noor H Dee (NHD).
Mimpinya Freud
Menurut Frued, mimpi merupakan penghubung antara kondisi bangun dan kondisi tidur. Baginya, mimpi adalah ekspresi yang terdistorsi atau yang sebenarnya semacam ”pelampiasan” dari keinginan-keinginan yang terlarang diungkapkan ketika manusia dalam keadaan terjaga.
Dalam cerpennya yang berjudul ”Mimpi”, dalam antologi cerpen Sepasang Mata untuk Cinta yang Buta (2008), NHD mencoba membalikkan logika mimpi. Mimpi yang semestinya disadari oleh alam ”tak sadar” kini menjadi pengalaman tak sadar dari alam ”sadar”. Tokoh ”Aku” lelaki dan ”Aku” perempuan di dalam cerpen NHD menyadari hal itu dalam cerpen NHD, ”Aku tahu saat ini aku sedang bermimpi” (hal 41).
Di dalam cerpen itu kedua tokoh ”Aku” mengalami mimpi yang sama. ”Aku” perempuan memberikan telinganya kepada ”Aku” lelaki. Dan ketika memberikan telinganya ”Aku” perempuan berkata, ”Ambillah sepasang telingaku ini, Sayang. Dengarlah segenap suara-suara yang aku pernah aku dengar di sepanjang perjalanan hidupku. Tentu saja suara serakmu juga tersimpan di sana. Sebab, bukankah kamu sering membisikkan kalimat sayang di telingaku?” (hal 41).
Namun ”Aku” lelaki mengingkari bahwa dirinya sering mengucapkan kata sayang kepada ”Aku” perempuan. Bahkan ”Aku” lelaki mengakui bahwa dia tak mengenal ”Aku” perempuan. Jadi, bagaimana mungkin dia mengucapkan kata sayang?
Pengingkaran ”Aku” lelaki ini ternyata diamini oleh ”Aku” perempuan yang di dalam mimpi tersebut bisa mendengar suara hati dari ”Aku” lelaki. ”Memang, memang kami tidak saling mengenal. Kami hanya sepasang menusia yang terperangkap di dalam dunia mimpi,” kata ”Aku” perempuan (hal 44).
Ketika keduanya terbangun dari mimpi, mereka terkejut karena ternyata mereka terbangun di atas ranjang yang sama. Keduanya kemudian bertanya bagaimana mereka bisa berada di tempat itu. Mereka merasa bahwa kamar tersebut bukan milik mereka berdua. Dan pertanyaan itu terjawab ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Seorang gadis cilik berusia 10 tahun yang rambutnya dikepang dua masuk ke dalam kamar seraya menegur, ”Kenapa sih ayah dan ibu selalu bertengkar? Hari ini kita jadi kan ke rumah nenek yang di Bogor?” (hal 48).
Akhir cerita ini memberikan sebuah penjelasan yang kuat. Yang juga surprising, sebagaimana umumnya ending cerpen-cerpen Indonesia. Di mana mimpi yang dialami oleh kedua tokoh ”Aku” itu ternyata berkoneksi. Dan koneksi itu ternyata adalah refleksi dari koneksi atau hubungan mereka di alam nyata, alam yang sebenarnya.
Mimpi dalam nyata
Berbeda dengan cerpen yang ditulis oleh NHD di atas, dalam cerpen dengan judul yang sama, ”Mimpi” dalam antologi cerpennya, Gres (2005), Putu Wijaya justru menghadirkan ketaksadaran dalam kesadaran melalui tokoh utama cerita, Pian. Tokoh Pian ingin sekali bermimpi makan enak di restoran. Dan suatu kali Pian pergi menonton sebuah pertunjukan balet di TIM. Di tengah pertunjukan itu Pian tertidur. Pian bermimpi dijamu oleh seseorang yang seperti Idi Amin.
Waktu sadar Pian sudah tergolek di lantai. Teater Terbuka TIM sudah kosong. Lampu-lampu sudah dipadamkan. Tinggal Pian sendirian. Untuk sesaat Pian terkesima. Tetapi, setelah menenangkan pikirannya, ia hampir berani menyimpulkan bahwa ia sebenarnya sedang dalam keadaan tak sadar, tetapi di alam mimpi (hal 40).
Apa yang dialami oleh tokoh-tokoh di dalam cerpen ”Mimpi” karya NHD dan Putu Wijaya ini sesungguhnya merupakan refleksi dari kondisi masyarakat saat ini. Realitas kehidupan yang terjadi nyaris tak bisa dibedakan dengan dunia mimpi. Di dalam cerpen Gres-nya Putu Wikaya membuka dengan berita tentang seorang ayah yang memakan anaknya sendiri. Ia mengaku hal tersebut dilakukannya dalam mimpi.
Dahulu, peristiwa ayah memakan anak kandungnya sendiri, seperti dalam cerpen Putu Wijaya, hanya mungkin terjadi di dunia mimpi. Namun kini, ”produk” dunia mimpi itu bisa kita dapati dalam kehidupan nyata. Lalu, manakah dalam kehidupan kita yang sesungguhnya nyata dan manakah yang sesungguhnya mimpi? Atau sungguhkah, hidup ini sebenarnya hanyalah mimpi?
* Denny Prabowo, Cerpenis, Pengurus Perpustakaan, Menetap di Kota Depok
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juli 2008
No comments:
Post a Comment