Monday, July 28, 2008

Teropong: Mempertahankan Kehidupan Multikultur

-- Irma Tambunan

RUMAH panggung Muchsin Syukur masih berdiri tegak meski usianya lebih dari seratus tahun. Di atas penyangga kayu bulian, bangunan itu menjadi rumah tertua di Kelurahan Tahtul Yaman, Kecamatan Pelayangan, kawasan Seberang Kota Jambi alias Sekoja. Si pemilik tetap setia mempertahankan arsitektur asli yang menggambarkan hangatnya nuansa multikultur.

Muchsin adalah generasi kelima yang mendapat waris atas rumah tua ini. Menurut Muchsin, rumah ini dibangun lengkap dalam perpaduan budaya Melayu, Tionghoa, dan Arab, karena ketiga budaya inilah yang memang sejak awal membentuk kawasan Sekoja menjadi seperti adanya sekarang.

Ia mencintai rumah ini dan tidak tebersit sedikit pun keinginan untuk merombak atau mengubah menjadi rumah batu modern, seperti yang mulai dilakukan sebagian warga di sana. ”Rumah ini akan menjadi kenangan akan harmonisnya hubungan antaretnis di kampung kami,” ujarnya.

Selama ini memang cukup banyak kalangan mahasiswa pembuat skripsi, dosen peneliti, atau turis asing yang sudah memasuki rumahnya, sekadar mengetahui corak rumah asli Sekoja atau untuk kebutuhan penelitian akulturasi budaya di sana pada masa lalu.

Rumah Muchsin tidak jauh berbeda dari rumah panggung pada umumnya di Sekoja. Rumah panggung dari kayu itu berdiri persis di pinggir Sungai Batanghari. Rumah dan sungai itu hanya dibatasi oleh sebuah jalan yang tembus ke Jembatan Batanghari II dan kompleks Candi Muaro Jambi di Kabupaten Muaro Jambi.

Pintu depan rumah yang terbuat dari kayu tembesu terbagi dua di bagian atas dan bawah, sebagaimana lazimnya rumah- rumah etnis Tionghoa. Nuansa serupa didapat pada jendela yang memiliki dua lapis, berupa jendela tertutup penuh dan jendela bergaris vertikal pada bagian dalam. Apabila bagian luar jendela dibuka, pemilik rumah mendapat cahaya dan udara, bagian rumah itu tidak serta-merta terbuka karena masih ada jendela bergaris yang menjamin keamanan bagi orang di dalamnya. Sejumlah ornamen dan ukiran bergaya China juga terdapat di beberapa bagian.

Pada saat dibangun, menurut Muchsin, leluhurnya memilih model rumah panggung dengan bentuk gudang. Bagian tengah rumah cenderung lapang sehingga untuk urusan musyawarah kalangan ninik mamak, makan bersama, sampai tidur dilakukan pada satu ruang besar tersebut. Tidak ada ruang khusus yang disekat untuk kamar tidur. Empat tiang soko guru dibangun sebagai tempat bersandar ninik mamak ketika menggelar pertemuan.

Bagian muka rumah, belakang, dan dapur berlantai lebih rendah. Selasar menjadi tempat orang bertamu, berada pada lantai yang posisinya lebih rendah daripada ruang tengah. Ini dimaknai sebagai penghormatan tamu terhadap tuan rumah atau ninik mamak yang duduk di ruang tengah. Begitu pula pada bagian belakang yang merupakan laren dan dapur, yang menjadi tempat berkumpul anak gadis, lantainya lebih rendah. Nuansa Arab terlihat dari sejumlah bingkai bertuliskan kaligrafi.

Akulturasi

Arsitektur rumah-rumah di Sekoja tidak lepas dari sejarah penduduknya. Etnis Tionghoa dan Melayu masuk dan membangun perkampungan di Sekoja sekitar awal tahun 1890. Mereka memilih tinggal di Seberang demi alasan keamanan. Pada saat itu terjadi pertempuran hebat dengan penjajah kolonial di Kota Jambi.

Orang-orang pasar, begitulah menyebut kelompok etnis Tionghoa di Kampung Sungai Asam, bermigrasi ke seberang Sungai Batanghari yang masih berupa hutan. Mereka membentuk hunian baru pecinan yang tersebar dari Kampung Ulu Gedong, Kampung Tengah, Kampung Jelmu, hingga Kampung Mundung Laut.

Orang-orang Melayu menempati Kampung Olak Kemang, Kampung Tahtul Yaman, hingga Kampung Tanjung Johor, sedangkan belakangan, sejumlah orang Arab yang hendak bersiar agama masuk ke Kampung Arab Melayu dan menikahi gadis-gadis di sana.

Meski awalnya keberadaan mereka terpisah menurut wilayah, pada perkembangannya mereka saling berbaur melalui perkawinan. Dalam hubungan kerja, kelompok etnis Tionghoa umumnya menjadi pedagang dan penampung hasil perkebunan, seperti karet, kopi, lada, atau jeruk milik masyarakat Melayu, sedangkan kuatnya siar agama Islam telah menumbuhkan banyak pesantren dan sekolah agama di Sekoja. Budaya Melayu yang bernuansa islami juga masih dijunjung hingga kini, seperti tradisi kompangan (rebana), menulis kaligrafi, bermusik Melayu, dan tari Dana/Zapin Seberang.

Warga lokal percaya bahwa nenek moyang pendiri kawasan Sekoja ini adalah kaum bangsawan. Ini terlihat dari arsitektur rumah yang lengkap dengan berbagai ornamen dan berukuran cukup besar. Pandangan tersebut dikuatkan Edy Sunarto, Sekretaris Badan Musyawarah Masyarakat Melayu Jambi, Kota Seberang.

”Penghuni awal perkampungan ini memang umumnya para juragan pemilik tanah yang sangat luas di Kota Jambi,” ujarnya.

Satu orang, misalnya, bisa memiliki berpuluh-puluh hektar kebun karet dan kopi di Kampung Kebon Kopi. Padahal, sekarang Kebon Kopi telah menjadi satu kelurahan sendiri.

Situs kawasan

Melihat keaslian nuansa Melayu-Tionghoa-Arab yang masih hidup di kawasan ini, Balai Pelestarian dan Pengembangan Purbakala (BP3) Jambi berkeinginan mengajukan Sekoja sebagai sebuah situs kawasan. ”Wilayah Seberang te- lah kami ajukan sebagai situs kawasan,” kata Rusmeijeni Setyorini, Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan BP3 Jambi.

Menurut Setyorini, ada sejumlah alasan kawasan ini layak menjadi situs, antara lain banyaknya permukiman yang masih berciri tradisional Melayu dengan percampuran arsitektur bergaya Asia. Di sana juga tumbuh sekolah, pesantren, dan tempat ibadah yang bangunannya berciri senada. Tradisi masyarakatnya masih kuat dalam mengembangkan kerajinan batik dan songket serta tradisi Melayu lainnya. Inilah yang menurut Setyorini perlu dilestarikan, yaitu melalui penetapannya menjadi situs kawasan.

Tahun ini, menurut dia, pemerintah berencana memugar sejumlah bangunan tua Melayu supaya daerah itu dapat makin mendukung untuk pengembangan wisata Kota Lama Melayu ke depannya.

Setyorini menambahkan, sejumlah bangunan sudah mulai rusak karena perawatan yang kurang memadai. Pihaknya, sejauh ini, telah menginventarisasi sekitar 20 rumah yang benar-benar masih asli, tetapi kondisinya melapuk. Rumah-rumah inilah yang, menurut dia, layak diperbaiki.

”Usia bangunan sudah tua dan para pemiliknya sekarang banyak yang kesulitan untuk merehabilitasi rumah,” ujar Setyorini.

Atas rencana ini, masyarakat menyambut antusias. Mereka berharap pemerintah segera merealisasikannya. ”Kami tentu bangga jika perkampungan ini menjadi kawasan wisata Kota Lama,” kata Muchsin.

Akan tetapi, konsep wisata yang dikembangkan jangan sekadar menjadikan kawasan dan masyarakat di dalamnya seperti sebuah tontonan bagi turis. Masyarakat setempat juga harus terlibat dalam pengembangan kepariwisataan itu sendiri sehingga dapat memberi dampak bagi peningkatan ekonomi mereka.

Sumber: Kompas, Senin, 28 Juli 2008

No comments: