-- D. Zawawi Imron
SEKITAR 50 sastrawan dari kawasan Asia Tenggara berkumpul di Kediri, 30 Juni sampai 3 Juli 2008. Mereka mengadakan ''Pesta Penyair Nusantara 2008''. Di antaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Viddy A. Daery dari Jakarta, Dinullah Rayes dari Sumbawa, dan Anil Hukma dari Makassar. Di samping itu, banyak lagi penyair dari Tegal, Bandung, Jogjakarta, Medan, Pekanbaru, Samarinda, dan lain-lain. Dari Malaysia datang Dato' Kemala dan Malim Ghozali, sastrawan dan ahli matematika Alquran.
Meskipun disebut ''Pesta Penyair Nusantara 2008'', acaranya tidak hanya baca puisi saja. Tak kalah pentingnya ialah seminar dan diskusi tentang perkembangan puisi di Asia Tenggara.
Penyair berdiskusi sesama penyair tentu saja seru. Aneka argumentasi disampaikan yang harus dijawab dengan argumentasi yang lebih akurat. Diskusi-diskusi tentang puisi tidak hanya menarik kalangan penyair saja. Nuruddin Hasan, anggota DPRD Kodya Kediri, selalu hadir sejak pembukaan sampai diskusi hari terakhir. Meskipun bukan penyair, ia masih ingin mendapatkan suara nurani para penyair di samping ingin mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan puisi mutakhir. Sebagai seorang aktivis politik mungkin ia sepaham dengan ucapan Presiden Amerika, John F. Kennedy bahwa, ''Kalau politik kotor puisilah yang akan membersihkannya.''
Dikisahkan, ketika Kennedy dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, ia tidak lupa kepada puisi. Buktinya, ia mengundang Robert Frost, penyair besar Amerika pada pertengahan abad ke-20 untuk membaca puisi. Itu artinya, acara pesta puisi yang berlangsung di Kediri selama 4 hari itu tidak lain sebagai sejenis jawaban terhadap keresahan dan suara-suara sumbang dari perilaku sebagian politikus di tanah air. Konon ada orang politik jadi makelar penebangan hutan, ada calon lurah, bupati, dan gubernur membiarkan konstituennya ngamuk ketika kalah pilkada, dan lain-lain. Belum politikus yang memecah partainya sendiri seperti memecah gelas atau cangkir, di samping berita ketidakramahan lainnya yang mencerminkan sebagian (kecil?) dari tokoh-tokoh bangsa kita kehilangan rasa santun.
Pesta puisi yang digelar di Kediri itu adalah upaya para penyair untuk tetap bersama dengan nurani bangsa ini. Kata begawan Budi Darma, titik berat kepenyairan ialah perjuangan penggabungan dulce et utile, keindahan, dan manfaat. Dalam utile, terdapat unsur moral yang bisa dipetik oleh pembaca, lengkap dengan kearifan untuk hidup damai. Budi Darma memang tidak setuju utile yang terlalu eksplisit, karena bisa menganggu dulce, keindahan puisi itu sendiri.
Jika puisi benar-benar digunakan untuk menghormati kehidupan dan kemanusiaan seperti yang tersirat pada pendapat Budi Darma di atas, maka puisi, atau pesta penyair akan menjadi sejenis ''oase'', tempat para pengembara kehidupan dari berbagai sektor dan lapisan bisa meneguk air nurani, atau air kehidupan. Bukankah dulu orang Jawa minum kejujuran dari Serat Kalatida-nya Ronggowarsito dan puisi-puiti tembang lainnya?
Pesta Penyair Nusantara 2008 memang berlangsung sederhana. Panitia sendiri mengaku kesulitan dana. Itulah nasib perjuangan kebudayaan. Namun di balik kesederhanaan itu ada nilai, yaitu sinyal adanya orang-orang yang masih setia kepada kemanusiaan dan keindahan. Orang yang rindu meneguk kejernihan sukma sejati.
Seminar dan diskusi yang berlangsung di aula Universitas Kediri berjalan seru. Tetapi di luar gedung seminar, para peserta minum kopi di warung di seberang aula, yang asalnya hanya omong-omong santai, kadang-kadang meningkat menjadi pembicaraan serius, tentang sastra dan seni antarnegara. Saya lihat pianis Agus Bing (Indonesia) yang berdiskusi dengan Malim Ghozali (Malaysia) tiba-tiba menjalin kesepakatan. Keduanya akan berkolaborasi pada 30 Agustus nanti. Malim Ghozali akan meluncurkan dan membaca puisi di Kualalumpur dengan iringan musik Agus Bing.
Bagus, puisi yang murni memang membuat orang mudah untuk bersatu jiwa dalam kedamaian. Tapi, seberapa banyak orang yang hidupnya memerlukan puisi? Itulah hal yang menjadi pikiran saya sepulang dari Pesta Penyair Nusantara di Kediri minggu yang lalu. ***
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 13 Juli 2008
No comments:
Post a Comment