[JAKARTA] Seni tradisi Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, hampir terlupakan.. Ketidakpedulian masyarakat membuat masa depan seni tradisi Indonesia terancam. Tanpa disadari 10 sampai 20 tahun ke depan, nilai-nilai tradisi seni bisa pudar, dan masyarakat Indonesia yang ingin mengenal lebih jauh dan memperdalam tradisi, harus belajar ke negara lain. Masyarakat Indonesia harus sadar, sebelum budaya Indonesia "dicuri" bangsa asing.
Seorang pengunjung menyaksikan salah satu karya Henry Novanto dalam pameran yang bertajuk "Klasik Jawa" di Taman Ismail Marzuki Jakarta, baru-baru ini. (hendro situmorang)
Menurut pelukis Henry Novanto, semua berawal dari kegelisahan akan semakin pudarnya seni tradisi Jawa dan falsafah yang terkandung di dalamnya. Karya-karya Novanto, bergaya lukis modern dengan berdasarkan konsep dan ide pada seni tradisional yang direfleksikan pada masa modern.
"Dengan melihat situasi dan kondisi sekarang ini, untuk menyikapi para penikmat seni, bisa menggunakan media modern. Hal ini, agar dapat lebih menarik dalam memublikasikan tradisi seni Indonesia, contohnya dalam bentuk lukisan," kata Novanto yang kerap dipanggil Muncang itu yang memamerkan karya lukisnya dalam sebuah pameran yang bertajuk "Klasik Jawa" di Taman Ismail Marzuki Jakarta, baru-baru ini.
Muncang menambahkan, seni tradisi harus mengalami perkembangan. Dalam mempublikasikannya, tidak harus dengan bentuk-bentuk tradisi, apalagi sampai mengacu ke suatu paham feodalisme yang terkandung di dalamnya. Sebut saja, para penari tradisi yang dicetak per paket. Mereka disuruh menari, dibayar sekian rupiah, tanpa mereka sadari dan paham makna di balik tarian yang dimainkannya.
Kegelisahan itulah yang membuat Muncang melukis the Gong's Dancer. Gambar gong merupakan dasar dari tradisi. Banyak penari bercermin dengan bayangan yang lain. Hal itulah yang membunuh kreativitas seseorang. Mereka menjadi orang lain, bukan dirinya sendiri. Dengan demikian, akan semakin sedikit para pujangga yang sudah ada.
"Saat ini, referensi yang ada, yaitu kehidupan Jawa. Lukisan yang dipamerkan berjumlah 23 lukisan. Saya melukis objek-objek Indonesia, khususnya Jawa yang mengangkat nilai-nilai sosial. Dengan melihat kontradiksi-kontradiksi yang terjadi di sekitar masyarakat, saya refleksikan dalam bentuk lukisan," tutur Muncang.
Muncang melukis (drawing) menggunakan pena. Dengan pena, melukis memiliki tantangan tersendiri yang menarik dan unik. Alasannya sangat sederhana, semua dimulai dengan keminiman peralatan yang ada dan harus bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Suatu tantangan yang cukup berat.
"Ciptakan sanggar di hati, dan ketika sanggar tercipta, orang tidak akan terpaku oleh bahan, waktu maupun tempat. Dengan ketidakadaan kita bisa melakukan sesuatu, karena kita sebagai manusia, dibekali kekuatan oleh Tuhan,," tangkasnya saat mengulang pepatah yang didapatkan dari seorang pelukis dan hal tersebut menjadi kekuatannya.
Muncang berharap ada kesadaran setiap manusia atau individu untuk mau menjaga dan melestarikan seni tradisi yang telah diwariskan kepada kita semua. Bila masyarakat Indonesia sudah mempunyai prinsip, maka akan terwujud perkembangan seni tradisi.
Berawal dari kunjungan seorang arkeolog yang menjelaskan secara lebih luas, Muncang baru menyadari objek yang dituangkan dalam lukisannya, hanya merupakan kulit luar dari klasik Jawa saja. Namun, baginya klasik Jawa benar-benar ada. Arkeolog Kusmin Asa menawarkan kerja sama pembuatan film yang mengulas tentang klasik Jawa, pada zaman Syailendra.
Klasik Jawa merupakan tradisi zaman kuno yang mendapatkan pengaruh dari agama Hindu Buddha. Bukti otentik dibuktikan melalui arca- arca yang dikenal. [HDS/U-5]
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 11 Juli 2008
No comments:
Post a Comment