Saturday, July 12, 2008

Wacana: Meretas Sastra Interdisipliner

-- Agus Wibowo*

NASIB dunia sastra kita, dewasa ini kian memprihatinkan. Sensibilitas dan kepedulian masyarakat pada sastra, semakin pudar-untuk mengatakan tidak ada lagi. Mestinya, masyarakatlah yang bertanggungjawab pada sustainabilitas dan tumbuh-tegaknya sastra, karena masyarakat merupakan objek dan subjek sastra.

Memang, absennya kesadaran melestarikan sastra tidak berakar dari masyarakat semata. Nyatanya, dunia sastra juga turut andil membidaninya. Khususnya, simbol "binatang jalang" sastrawan kita dengan penampilan fisik yang kumal, awut-awutan, berambut gondrong tak terurus, mungkin malah "tatoan" layaknya pelaku kriminal, hidup tak teratur, anti-kemapanan, mengutamakan kebebasan yang tak terbatas, dan prilaku hidup bertentangan dengan norma-norma masyarakat normal lainnya, merupakan pemicu utama. Selain itu, dalam dunia akademik -dan dunia keilmuan pada umumnya- terjadi dominasi perspektif monodisipliner. Perspektif ini jarang sekali melibatkan disiplin lain, dan cenderung melihat disiplin-disiplin ilmu termasuk sastra secara tunggal.

Dari perspektif monodisipliner, tumbuh anggapan bahwa studi sastra hanya terbatas pada studi teks-teks sastra, dan tidak memperhatikan kaitannya dengan elemen-elemen lain di luarnya. Corak perspektif monodisipliner dapat dilihat dalam karya-karya semacam An Introduction to The Language of Poetry (Chatman, 1968), Poetic Imagery (Wells, 1961), The Verbal Icon (Wimsatt, 1967), dan Aspects of The Novel (Forster, 1978).

Pembahasan karya sastra dengan perspektif monodisipliner tentu saja sangat merugikan sastra sendiri. Sebab, perspektif monodisipliner justru mengarahkan studi sastra hanya pada persoalan bagaimana meningkatkan keterampilan berbahasa, mengembangkan kosakata, atau paling luas mencari tema-tema kemanusiaan yang dianggap universal. Akibatnya, selain membuat sastra semakin teralienasi dari disiplin-disiplin keilmuan lainnya, perspektif monodisipliner juga mereduksi makna, mengkaburkan peran sastra dan menyesatkan cara pandang terhadap realitas.

Di Amerika dan Eropa, dominasi perspektif monodisipliner sudah ditinggalkan. Di sana, kajian sastra telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Para ilmuan dan sastrawan di kedua benua tersebut, saling bahu-membahu mengembangkan kajian-kajian sastra hingga melampaui perspektif monodisipliner-yang mereka sebut sebagai perspektif interdisipliner. Dengan perspektif interdisipliner tersebut, orang dituntut untuk tidak hanya berkutat pada satu disiplin ilmu saja, namun secara lebih luas juga harus bisa melihat hubungan kajiannya dengan ilmu lain.

Menurut Muh. Arif Rokhman (2003:4-6) ada beberapa keuntungan perspektif interdisipliner dalam studi sastra. Pertama, studi sastra tidak mengasingkan dirinya lagi dari studi-studi kemanusiaan yang praktis karena ketika bersinggungan dengan ilmu-ilmu sosial dan teknik, misalnya, studi sastra harus mampu menjawab permasalahan-permasalahan pragmatis yang dihadapi oleh manusia.

Kedua, posisi karya sastra akan sejajar dengan penelitian antropologi, sosiologi, sejarah, serta disiplin ilmu sosial lainnya. Sebab, melalui studi-studi tentang motif-motif (pola-pola) dalam karya sastra, karya-karya tersebut akan menjadi semacam pola-pola berulang dalam kehidupan manusia. Karya sastra akan menjadi monumen kemanusiaan pada tingkat lokal, nasional maupun internasional yang membantu manusia pada tingkat-tingkat yang berkaitan.

Ketiga, manusia yang tersentuh sastra akan mempunyai cara melihat persoalan yang lebih utuh dalam hidup karena apa yang dipahaminya dari teks-teks sastra-yang merupakan potret kehidupan-dapat dilihat dari sisi lain bergantung pendekatan dari disiplin lain. Dari cara pandang tersebut, manusia akan melihat perbedaan-perbedaan secara wajar, sehingga akan timbul toleransi terhadap perbedaan-perbedaan tersebut.

Keempat, bagi para pakar dari disiplin lain, studi sastra interdisipliner akan memperkaya pengetahuan mereka tentang manusia yang meliputi keinginan-keinginannya, normalitas dan abnormalitasnya, penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan, kekecewaan-kekecewaannya sehingga para pakar tersebut lebih mempertimbangkan sisi-sisi kemanusiaan semacam itu dalam pembuatan keputusan yang berkaitan dengan disiplin-disiplin mereka.

Kelima, dalam jangka panjang, akan terjadi perubahan pandangan di dalam masyarakat bahwa studi sastra yang mulanya hanya dapat dilakukan oleh para ilmuwan sastra, akan dapat dilakukan oleh ilmuwan dari disiplin lain, dan bahkan, orang biasa bisa melakukannya. Pendek kata, perspektif interdisipliner selain mendekatkan sastra dengan disiplin-disiplin ilmu sosial lainnya, juga dapat mengembangkan cara pandang yang lebih utuh dan lebih luas terhadap realitas.

Alternatif Sastra Banding

Persoalannya kemudian, untuk mewujudkan kajian sastra interdispliner, cara pandang serta pendekatan apa yang bisa digunakan? S Bassnett dalam Comparative Literature: A Critical Introduction (1995) menunjukkan ada satu pendekatan alternatif yang dapat digunakan dalam hal ini, yakni yang disebut dengan Sastra Banding. Istilah Sastra Banding (Comparative Literature), pertama kali muncul di Perancis tahun 1816, yang diambil dari rangkaian antologi pengajaran sastra yang berjudul Cours de litterature comparee.

Di Jerman, istilah tersebut dipadankan dengan vergleichende literaturgeschichte yang muncul pada tahun 1854. Sementara itu, istilah comparative literature muncul di Inggris pada tahun 1848. Sementara di Eropa, sastra banding pada awalnya digunakan sebagai perspektif untuk melacak "pengaruh" seorang penulis dari suatu negara atau budaya lain. Namun, dalam perkembangan selanjutnya terdapat kesulitan dalam mencari pengaruh tersebut, karena pikiran dan perasaan yang diungkapkan oleh suatu bahasa berbeda dengan pikiran dan perasaan yang dinyatakan dengan bahasa lain.

Sastra Banding merupakan studi sastra yang melewati batas-batas sebuah negara tertentu dan studi tentang hubungan antara kesusastraan di satu pihak dan bidang lain dari pengetahuan, seperti seni, filsafat, sejarah, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu alam, agama, dan sebagainya di lain pihak. Pendeknya, Sastra Banding merupakan perbandingan satu karya sastra dengan karya lain dan perbandingan antara karya sastra dan lingkup ekspresi manusia yang lain (Bassnett, 1995:20).

Di barat, praktik-praktik Sastra Banding sudah banyak dilaksanakan. Jurnal-jurnal ilmiah yang menggunakan pendekatan tersebut, misalnya: Mosaic (Kanada), Literature and Theology (Inggris), Law and Literature: Possibilities and Perspectives (Ward, 1995), Psychoanalytic Criticism (Wright, 1998), Political Shakespeare: Essays in Cultural Materialism (Dollimore and Sinfield, 1994). Sementara, di Indonesia Sastra Banding baru dikenal sekitar tahun 2000 yang dipelapori oleh Forum Sastra Banding Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta.

Forum Sastra Banding di UGM tersebut, secara intens dan berkala mengadakan seminar-seminar, serta berbagai sosialisasi Sastra Banding, baik kepada kalangan akademik maupun masyarakat pada umumnya. Usaha serupa juga mulai dikembangkan di Institut Teknologi Bandung (ITB), dengan memasukkan mata kuliah sastra di jurusan-jurusan teknik.

Pada akhirnya, perspektif sastra interdisipliner dengan pendekatan sastra bandingnya (Comparative Literature), sangat perlu merangkul disiplin ilmu lain, seperti sejarah, sosiologi, antropologi, dan ilmu komunikasi untuk membaca karya sastra. Dengan cara itu karya sastra selalu dapat ditelisik sebagai teks yang tidak terpisah dari realitas sosial, konteks sejarah, dan disiplin ilmu lain.

Selain itu, sastra interdisipliner juga diharapkan mampu menjalin kelindankan kajian-kajian sastra dan ilmu sosial untuk membuka arah baru ilmu-ilmu kemanusiaan. Alhasil, sastra akhirnya bisa diandalkan sebagai pisau analisis dan alat sintesis untuk memahami dan membebaskan masyarakat. ***

* Agus Wibowo, Mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 12 Juli 2008

1 comment:

Unknown said...

Secara umum, artikel ini hampir sama dengan tulisan aslinya di buku yang saya tulis dan saya edit. Selain itu, mohon dicek apakah benar ada matakuliah sastra di ITB. Saya sudah cek ternyata statemen di artikel tersebut tidak ada dasarnya. Meskipun demikian, saya ucapkan terima kasih bahwa ide-ide saya sudah ditulis ulang di koran. Jika tertarik sastra in[ter]disipliner, bisa gabung di facebook: sastrabanding