Saturday, July 26, 2008

Interaksi Simbolik Sinden dan Bajidor

-- Bucky Wikagoe*

KLININGAN Bajidoran adalah bentuk kesenian rakyat yang tumbuh dan berkembang di kawasan pantai utara (Pantura) Jawa Barat, khususnya di daerah Subang dan Karawang. Musik pengiringnya adalah seperangkat gamelan yang pada umumnya menggunakan laras salendro, sering dipentaskan oleh penyelenggara atau biasa disebut pamangku hajat, mengiringi pesta syukuran inisiasi (kelahiran bayi, khitanan, perkawinan), atau acara syukuran lainnya yang berkaitan dengan upacara-upacara ritual (hajat bumi, panen, menyambut datangnya hujan, bersih desa, dan lain-lain).

Daya tarik kesenian ini ada pada sosok sinden atau ronggeng yang digandrungi oleh para bajidor; istilah bagi orang yang gemar menari atau ngibing di pakalangan (arena pertunjukan), memesan lagu, serta memberi uang saweran. Oleh karena itu, keseniannya pun diberi nama Kliningan Bajidoran atau Bajidoran saja; sedangkan kata kerjanya menjadi ngabajidor.

Kata bajidor itu, terutama di daerah Subang, secara sinis populer dengan akronim dari barisan jiwa doraka (barisan jiwa durhaka), menunjuk pada perilaku para penggemar Kliningan Bajidoran yang cenderung menghalalkan segala cara di arena pertunjukan, mulai dari menghamburkan uang saweran, menenggak minuman keras, hingga merayu serta mengekspresikan hasrat seksual kepada sinden atau ronggeng. Konon, istilah bajidor datang dari H. Hilman (alm), mantan Lurah Pagaden, yang pada zamannya terkenal sebagai penggemar fanatik Kliningan Bajidoran dan kemudian mempersunting sinden kenamaan pada zamannya, Cucun Cunayah. Akronim bajidor yang lain dan tak kalah sinisnya adalah abah haji ngador (abah haji keluyuran), karena banyaknya bajidor yang bergelar haji. Sedangkan menurut tokoh rekaman lagu Sunda, Tan Deseng, bajidor itu akronim dari beberapa kesenian rakyat, yaitu banjet, tanji, dan bodor.

Dalam praktiknya, sinden atau ronggeng sangat piawai menggoda dan merayu bajidor agar mau menghamburkan uangnya. Mereka akan merayu dengan cara menyebut-nyebut nama bajidor di sela-sela alunan lagu yang didendangkannya, atau merayu dengan bahasa tubuhnya yang diekspresikan melalui gerakan-gerakan tarian, senyuman, tatapan mata, sentuhan tangan, serta perilaku-perilaku lainnya. Melalui cara-cara itulah seorang bajidor akan terus melakukan saweran hingga uangnya terkuras habis.

Intensitas hadir di panggung pertunjukan dan memberi uang saweran, telah menciptakan pola interaksi yang khas antara bajidor dengan sinden atau ronggeng. Biasanya, bajidor akan memberi uang saweran dengan berbagai motivasi, mulai dari motivasi harga diri karena namanya disebut-sebut oleh sinden, ingin dipandang mampu secara ekonomi, ingin mendapat pujian, hingga orientasi hasrat seksual dan menguasai sinden atau ronggeng. Pada taraf ini, bajidor datang ke arena pertunjukan Kliningan Bajidoran karena ditopang oleh kesetiaan kepada sinden atau ronggeng idolanya yang dalam istilah mereka disebut "langganan". Inilah yang melandasi adanya hubungan yang lebih jauh di antara mereka, dan pada akhirnya tidak sedikit bajidor yang tergila-gila kemudian menikah dengan sinden atau ronggeng, bahkan bisa sampai melupakan anak dan istrinya.

Memerhatikan bagaimana seorang bajidor melakukan saweran kepada sinden yang dipilih melebihi sekadar memberikan lembar demi lembar uang ribuan, ekspresi di wajahnya memancarkan gelombang birahi dan kerinduan yang sangat dalam kepada sinden pujaan. Sementara itu, sang sinden pun membalasnya dengan senyum dan tatapan yang dimaknai secara liar oleh sang bajidor, sehingga menstimulasinya untuk terus merogoh isi kantung. Saweran adalah interaksi sinden atau ronggeng dengan bajidor yang memiliki simbol-simbol makna tertentu yang menunjukkan tingkat kedalaman hubungan antara sinden/ronggeng dengan bajidor.

Eksistensi Kliningan Bajidoran itu sendiri disangga oleh tiga kelompok sosial pendukung, yaitu sinden/ronggeng yang menjadi daya pikat pertunjukan; bajidor sebagai penonton yang akan memberi uang saweran, dan pamangku hajat sebagai penyelenggara pertunjukan yang menfasilitasi adanya interaksi antara sinden/ronggeng dengan bajidor.

**

SECARA umum, seorang sinden di daerah Jawa Barat memiliki julukan atau sandi asma yang dikaitkan dengan warna suara, gerakan, dan postur tubuh, menggunakan nama burung atau hewan lainnya, atau nama-nama benda yang dianggap pas dengan karakternya, seperti Cicih "Cangkurileung", Cicih "Saeran", Aan "Japati", Aan "Poksay", Mamah "Jalak", Mamah "Oon" alias Si "Garuda Ngupluk", Si "Srigunting", Kokom "Walet", Si "Toed", hingga Aan "Manyar".

Sedangkan julukan untuk ronggeng atau penari sering dihubungkan dengan benda-benda atau binatang yang sesuai dengan kepiawaiannya dalam gerakan tarian khasnya, seperti Cucu "Geboy" (ngageboy biasanya ditujukan kepada gerakan atau liukan ikan berekor panjang yang biasa disebut lauk kumpay), atau sinden yang juga pandai menari (sinden ronggeng), Ipah "Gebot" (karena gerakan bagian pinggul atau pantatnya sangat bertenaga). Kemudian, ada julukan Si "Binter" dan Si "GL" (karena bentuk tubuhnya diibaratkan body sepeda motor seri Binter dan GL), Nining "Paser" (sejenis panah), Euis "Oray" (karena liukan tubuhnya menyerupai oray atau ular), Si "Jepret" (ngajepret adalah istilah suara yang dihasilkan dari karet yang ditarik lalu dilepaskan secara tiba-tiba), Aan "Si Baranyay" (karena kecantikannya bagaikan sinar yang menyilaukan), Euis "Dolar", Yayah "Leunyay", hingga Si "Cabe Rawit".

Di Tasikmalaya ada sinden terkenal dengan julukan Si "Mata Roda" karena ketika sedang menari dan menyanyi bola matanya sering berputar-putar seperti roda. Di Karawang ada Kokom "Dongkrak" (gerakan pinggulnya seperti dongkrak mobil), Si "Molen" (gerakannya seperti mesin pengaduk semen), dan Oyah "Undur-undur" (karena gerakan mundurnya sangat khas seperti undur-undur, binatang kecil di tanah yang jalannya mundur).

Ada banyak cara yang dilakukan sinden atau ronggeng agar disukai oleh bajidor, mulai dari merawat diri secara tradisional, hingga ke cara perawatan lebih modern, seperti penggunaan krim pemutih, creambath hingga luluran di salon, fitness, hingga melakukan suntik silikon di bagian tertentu wajahnya, terutama hidung, dagu, dan bibir. Meski demikian, pengolahan daya tarik sinden atau ronggeng juga masih banyak dilakukan dengan cara-cara gaib yang mengandalkan kekuatan supranatural, seperti melakukan puasa, mutih (tidak makan garam), membaca mantera-mantera, hingga memasang susuk.

Kekuatan supranatural yang ada pada diri sinden, akhirnya akan benar-benar teruji di panggung pertunjukan. Percaya atau tidak, pada kenyataannya banyak bajidor yang keranjingan mendatangi arena pertunjukan Kliningan Bajidoran dan tergila-gila kepada sinden atau ronggeng.

Interaksi di antara sinden dan bajidor itu sendiri dibangun melalui tahapan simbol-simbol jaban, egot, dan ceblokan. Jaban adalah memberi uang saweran dalam rangka penjajagan; Egot memberi uang saweran tetapi sudah mengandung unsur ketertarikan bajidor kepada sinden atau ronggeng terpilih, kemudian dalam interaksinya mulai menunjukkan kerja sama, seperti saling memegang dan meremas tangan, saling tersenyum dan menatap; Ceblokan memberi uang saweran secara tetap kepada satu orang sinden atau ronggeng karena telah terjalin hubungan langganan atau kesepakatan dan tidak boleh diganggu oleh bajidor lain.

Hal ini telah menjadi konvensi di antara para pelaku Kliningan Bajidoran, dan apabila dilanggar bisa menimbulkan keributan seperti yang pernah diberitakan Pikiran Rakyat (12 Juni 2008). Gara-gara tak tahan melihat kekasihnya yang berprofesi sebagai sinden disawer orang lain, Pan, Kepala Desa Serang, Kecamatan Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi, harus berurusan dengan pihak berwajib karena memukul Kamaludin, Kepala Desa Tanjungsari, Kecamatan Cikarang Utara, Kabupaten Bekasi, yang menyawer kekasihnya.

Hasil kajian menunjukkan bahwa pertama, Kliningan Bajidoran telah mengalami pergeseran fungsi dari sakral ke profan atau dari alat ritual ke alat hiburan serta alat peningkatan ekonomi, disangga oleh berbagai sistem yang memberi dukungan terhadap eksistensinya, yaitu sistem sosial, sistem adaptasi, sistem kebutuhan, dan sistem perilaku. Kedua, eksistensi Kliningan Bajidoran disangga oleh adanya hubungan peran pamangku hajat, sinden, dan bajidor, yang membentuk struktur ketergantungan atau simbiosis mutualistis. Tanpa kehadiran salah satunya akan menjadi hambatan terhadap keberlangsungan Kliningan Bajidoran.

Ketiga, interaksi sinden dengan bajidor yang terjadi wilayah panggung depan (front region) memiliki tahapan interaksi simbolik jaban (penjajagan), egot (kerja sama), dan ceblokan (kesepakatan); sedangkan di wilayah back stage sebagai kehidupan yang sesungguhnya, menindaklanjuti tahap interaksi ceblokan, bajidor memberikan uang saweran kepada sinden dengan cara lain, seperti memberi uang untuk membangun rumah atau ngarangkai, memberi biaya hidup sinden sebagai istri muda atau wanita simpanan, membiayai sinden melanjutkan sekolah, hingga memberi modal usaha.***

* Bucky Wikagoe, Ketua Sekolah Tinggi Musik Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 26 Juli 2008

No comments: