Friday, July 11, 2008

Kepemimpinan: Soekarno Menghadapi Krisis Pangan

SEJARAH kepemimpinan di negeri ini bisa memberi banyak inspirasi. Kisah hidup dan juga perjuangan seseorang ketika menghadapi masalah bisa menjadi cermin bagi kita. Di antara rentang waktu hidupnya, pengalaman saat-saat menghadapi krisis mungkin yang paling banyak dicari untuk diambil hikmahnya.

Keputusan-keputusan dan pandangan hidup presiden RI pertama, Soekarno, telah banyak digali. Salah satu yang belum banyak digali adalah pandangan dan keputusan Soekarno ketika menghadapi krisis pangan. Hal ini menjadi aktual ketika dunia (dan juga Indonesia) tengah menghadapi krisis pangan.

Setidaknya ada tiga babak yang bisa dipelajari dari Soekarno ketika menghadapi krisis pangan, mulai dari Soekarno muda hingga diturunkan sebagai presiden pada tahun 1967.

Babak pertama

Babak pertama ketika Soekarno menjadi aktivis politik selepas mahasiswa. Sejumlah tulisannya, yang diterbitkan menjadi buku berjudul Di Bawah Bendera Revolusi, menyiratkan kegelisahannya terhadap rakyat yang kesulitan pangan pada tahun 1932-1933.

Soekarno membaca penderitaan rakyat melalui sejumlah media, seperti Darmokondo, Pertja Selatan, Aksi, Siang Po, Pewarta Deli, dan Sin Po.

Ia juga mengutip beberapa berita surat kabar dan majalah itu dalam beberapa tulisannya. Kutipan-kutipan itu memperlihatkan betapa rakyat menderita karena kekurangan pangan. Ia mengutip Pewarta Deli (7 Desember 1932), ”Di kota sering ada orang jang menjamperi pintu bui, minta dirawat dibui sadja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenjang makan, sedang di luar belum tentu sekali sehari….” Sementara dari Sin Po (27 Maret 1933) ia mengutip, ”Menjuri ajam sebab lapar. Dihukum djuga sembilan bulan.”

Dalam babak ini Soekarno tidak banyak melakukan aksi. Ia lebih banyak memotret penderitaan masyarakat yang sejak awal memang tertancap dalam batinnya. Keprihatinan seperti ini muncul yang di banyak buku diakuinya karena latar belakang keluarganya yang diakui miskin.

Cerita mengenai pertemuannya dengan petani bernama Kang Marhaen di Bandung selatan makin menunjukkan keberpihakannya. Nama Marhaen sendiri akhirnya dipakai oleh Soekarno untuk mencirikan petani Indonesia yang miskin tanpa tanah.

Di samping itu, di antara berbagai diskusi yang dilakukan setiap malam Minggu dalam pengasingan di Bengkulu (1938-1942), Soekarno memunculkan topik persoalan pangan. Salah satu topik yang sempat diperdebatkan adalah, ”Mana jang lebih baik, beras atau djagung, dan mengapa?”

Babak kedua Soekarno menghadapi krisis pangan adalah ketika ia ”bekerja sama” dengan Jepang menghadapi masalah ekonomi. ”Kerja sama” yang acap kali dituduh oleh banyak kalangan sebagai berkolaborasi dan tidak nasionalis itu mengharuskan Soekarno mencari akal di tengah upaya Jepang untuk mengambil beras milik rakyat sebagai logistik perang.

Masalah pertama

Masalah pertama yang muncul tak lama setelah Jepang mendarat adalah pasokan pangan bagi mereka. Ketika itu Soekarno berada di Padang, seperti dalam Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat. Pasukan Jepang mengaku menghadapi persoalan beras yang rumit. Jepang meminta bantuan Soekarno sehingga bukan jalan kekerasan yang ditempuh.

Soekarno berpikir, lebih baik menyediakan beras itu dibanding menolaknya. Ia beralasan, bila permintaan itu ditolak, siksa akan menimpa rakyat. Ia kemudian meminta para saudagar beras agar menyediakan beras itu. Dalam waktu singkat, beras bisa didapat dan ia mengatakan, Jepang tidak kelaparan dan rakyat terhindar dari siksa.

Saat itu kesulitan pangan muncul di mana-mana. Jepang berusaha merampas beras milik rakyat. Akibatnya, hanya segelintir orang yang bisa memiliki beras. Setiap kali ada rakyat yang menyimpan beras, Jepang berusaha merampasnya.

Ketika di Jakarta, Soekarno yang telah menjadi Ketua Pusat Tenaga Rakyat (Putera) terdorong untuk meringankan penderitaan rakyat. Mengetahui masalah itu, Soekarno berpikir keras untuk mencari cara meringankan penderitaan rakyat.

”Aku berhasil mengumpulkan sedjumlah besar biji papaja dan membagikannja kepada setiap orang masing-masing dua butir. Buah-buahan jang enak ini kemudian tumbuh di setiap pendjuru pulau,” katanya menyebut salah satu upaya mengurangi penderitaan rakyat.

Melalui radio yang dilengkapi dengan pengeras suara (yang sengaja dibuat Jepang agar rakyat mendengarkan seruan Soekarno) di berbagai desa, Soekarno mengimbau rakyat agar memproduksi pangan selain beras.

”Saudara-saudara kaum wanita, dalam waktu saudara jang terluang, kerdjakanlah seperti jang dikerdjakan oleh Ibu Inggit dan saja sendiri. Tanamlah djagung. Di halaman muka saudara sendiri saudara dapat menanamnya tjukup untuk menambah kebutuhan keluarga saudara,” katanya. Menurut Soekarno, imbauannya ini manjur. ”Dan di setiap halaman bertunaslah buah djagung. Usaha ini ada ketolongannya,” katanya.

Pada masa menjelang akhir kepemimpinan Soekarno, 1960-an, ia juga menghadapi krisis pangan yang berat. Babak ketiga ini memperlihatkan Soekarno gagal menangani krisis pangan yang terjadi pada masa itu.

Dalam buku Bung Karno Penjambung Lidah Rakjat dikisahkan, di antara kesibukan-kesibukannya pada masa itu, Soekarno juga mempelajari angka- angka terakhir produksi beras.

Mengenai masalah pangan yang muncul saat itu, Soekarno beralasan, ”Dalam peperangan melawan kelaparan, produksi beras kami meningkat dua kali lipat, tetapi di samping itu pemerintah harus mengimpor lebih dari sejuta ton beras seharga hampir 1 juta dollar AS setahun. Ini akibat dari meningkatnya jumlah penduduk yang tidak seimbang dengan pertambahan produksi beras.”

Ia juga beralasan, pada zaman Belanda penduduk makan nasi sehari, tetapi setelah penjajahan, penduduk memerlukan makan tiga kali sehari. ”Setiap kemajuan menciptakan lebih banyak persoalan yang memusingkan kepala,” katanya.

Soekarno juga mulai menghadapi para spekulan. Saat itu Soekarno pun tak segan untuk menghadapi mereka. Ia mengatakan, ”Baru-baru ini aku mengeluarkan ancaman hukuman mati terhadap pengacau ekonomi. Seorang pemilik penggilingan padi menaikkan harga beras hingga membubung tinggi dengan melakukan penumpukan sebanyak enam ribu ton. Apabila nanti ternyata bersalah, maka aku, aku sendiri, akan menandatangani hukuman matinya.”

Krisis pangan yang melanda tidak mendorong Soekarno membuat program bantuan. Ia tetap berpendapat, ”menderita adalah memperkuat diri”. Ia menambahkan, ”Aku harus memberi makanan jiwa rakyatku, tidak saja memberi makan perutnya. Kalau aku menggunakan semua uang untuk membeli beras, mungkin aku dapat memerangi kelaparan mereka. Tapi, tidak. Apabila aku memperoleh uang lima dollar AS, aku harus mengeluarkan 2,5 dollar AS untuk tulang punggungnya. Dan mendidik suatu bangsa adalah sangat kompleks.”

Kemerosotan

Menurut Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Ichwan Azhari, awal dari krisis pangan saat itu adalah involusi atau kemerosotan pertanian yang telah terjadi sejak 1950-an, tetapi tidak ditangani pemerintah. Fragmentasi lahan mulai terjadi hingga produktivitas lahan merosot. Krisis pangan dinilai sebagai akibat dari masalah itu.

Masalah itu memuncak pada tahun 1960-an. Ichwan mengatakan, Soekarno tidak mengambil langkah strategis, tetapi malah terjebak pada berbagai retorika politik untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, energi yang ada bukan untuk mencari cara menyelamatkan tekanan pertanian, tetapi malah membuat retorika politik.

”Retorika tidak mengimpor beras memang memperlihatkan sebuah upaya untuk kemandirian pangan. Semangat tidak mengimpor memang tinggi, tetapi tidak ada upaya untuk menyelamatkan lumbung padi. Dari sisi strategi, relatif tak ada penanganan yang memadai terhadap krisis pangan,” katanya.

Di luar berbagai spekulasi soal penyebab peristiwa G30S tanggal 30 September 1965 hingga kemudian Soekarno diturunkan dari kekuasaannya 1967, masalah pangan (khususnya beras) saat itu memang sangat berat. Inflasi kelompok makanan mencapai 685,36 persen. Harga beras naik 900 persen.

Soekarno terkesan sangat percaya diri dengan kebijakannya di tengah antrean-antrean rakyat yang menanti jatah beras. Soekarno sempat memarahi wartawan ketika ia melihat foto yang memperlihatkan rakyat tengah berebut beras. Soekarno diturunkan di tengah krisis pangan yang berat. (ANDREAS MARYOTO)

Sumber: Kompas, Jumat, 11 Juli 2008

No comments: