Saturday, July 26, 2008

Sastra: Menyelami Dunia Batin Epri Tsakib

RUANG Sangrini atau biasa disebut Rumah Kayu yang terletak di kawasan Bulungan, Jakarta Selatan, pada Jumat (25/7) masih sunyi. Padahal malam itu sudah pukul tujuh lewat. Itu artinya, sejam lebih dari rencana acara launching buku Kumpulan Puisi Epri Tsakib "Ruang Lengang" terbitan Pustaka Jamil.

Dua seniwati duduk bersimpuh menghadap tetamu. Yang seorang memainkan kecapi, sementara yang lainnya menyanyi. Bu Suparmi yang bertugas sebagai pemetik kecapi, menawarkan nada-nada yang ngelangut, sementara Bu Hartini yang kebagian menyanyi, melantunkan suaranya yang empuk.

Sayang, saya cuma kebagian dua lagu. Tapi lumayanlah, setidaknya bisa mengobati kekangenan saya pada nuansa pedesaan di Jawa yang lama tidak saya jumpai. Perasaan saya terasa nyes saat Bu Hartini mengalunkan lagu Yen Ing Tawang Ana Lintang.

Yen ing tawang ono lintang cah "ayu"
Aku ngenteni teka mu
Marang mego ing angkoso
Sung takok-ke pawartamu

(bila di langit ada bintang, dinda
aku menunggu kedatanganmu
pada mega di angkasa
aku bertanya kabarmu)

Usai lagu berbahasa Jawa ini dibawakan, Bu Hartini pun menawarkan, apakah para tamu masih ingin menikmati musiknya? Serempak para tamu pun mengiyakan. Lalu..., Bu Hartini pun membawa lagu ciptaan Gesang, Bengawan Solo.

Dua seniwati paroh baya itu pun pamitan, acara selanjutnya adalah membedah buku Kumpulan Puisi Epri Tsakib oleh Jamal D Rahman (Pemred Majalah Sastra Horizon).

Jamal pun mulai mengupas puisi-puisi Epri. Dalam bahasa Jamal, puisi-puisi Epri memberikan ruang untuk keluar dari situasi yang sibuk. Lanjut Jamal, puisi-puisi Epri juga banyak menampilkan ruang lengang. "Hampir semua puisi Epri menampilkan ruang kosong. Epri tidak melihat dunia luar, tapi dunianya sendiri. Kedalaman dunia batin, dunia kemanusiaan kita. Puisi-puisinya sunyi, serupa bisikan, menyelami dirinya sendiri, Ia melihat keluasan dunia batin yang tanpa tepi," ungkap Jamal.

Bagi saya, membaca puisi-puisi karya Epri Tsakib yang terangkum dalam "Ruang Lengang", saya merasa mendapatkan keteduhan sekaligus kesejukan. Saya lalu ingat embun, terkenang pelangi, kangen pada hutan, rindu pada hujan, yang senantiasa menawarkan suasana puitik.

Membaca puisi-puisi Epri, saya seperti berhadapan langsung dengannya tanpa sekat. Pilihan kata-katanya yang liris, membuat pembacanya seperti dibuai dalam ayunan. Epri memang tak bermain dengan bunyi dan rima dalam puisi-puisinya seperti galibnya dalam puisi liris, tapi ia pintar membangun tata kata dan irama. Bacalah dalam puisi Kematian berikut:

Tuhan membuat pelangi
sebagai jembatan

dan Izrail membekaliku sayap
menitinya sampai ke rumahMU

tapi ia segera pamit
di depan jalan tusuk sate

Simaklah, bagaimana cara Epri membuat tata kata dan irama tentang proses kematian, saat Tuhan membuat "jembatan pelangi" bagi ruh pada bait pertama, dan malaikat pencabut nyawa memberinya "sayap" (bait kedua), dan Eri pun mendadak memberi sebuah irama yang memberi efek kejut penuh tanda tanya saat ruh tiba di jalan "tusuk sate", jalan yang tertumbuk pada sesuatu.

Epri rasanya memang memilih jalan yanag ditempuh oleh Sapardi Djoko Damono, Abdullah Abdul Kadir Munsyi, Sanusi Pane, Goenawan Muhammad, Acep Zamzam Noer, jalan liris yang penuh keteduhan dan kelembutan. Ini terasa betul pada puisi Gerimis (1):

mungkin setiap tetesmu
adalah puisi

katakata ritmis
yang berjatuhan dari langit

membawa pesan rindu

Hanya dihadiri oleh beberapa undangan, tapi rasanya malam itu memberikan kebahagiaan kepada Epri. Selain dihadiri oleh kerabat yang sudah dikenal dengan baik oleh Epri, yang hadir juga dengan tulus turut meramaikan acara dengan membaca atau menyanyikan puisi-puisi karya Epri.

"Saya tetap bahagia kendati ruangan ini lengang, seperti dalam puisi saya," ujar Epri di ujung acara.

JY

Sumber: Kompas Entertainment, Sabtu, 26 Juli 2008

No comments: