-- Susi Ivvaty & Dahono Fitrianto
BERAPA banyak festival dihelat di republik ini dalam setahun, mulai dari musik hingga soal lingkungan? Belum ada catatannya memang, tapi mestinya sangat banyak. Di jagat konsumsi, festival—yang bermakna pesta rakyat—bisa menjadi semacam ”dagangan”.
Sebuah festival musik rock, Jakarta Rock Parade, belum lama berlalu. Festival tanggal 11-13 Juli 2008 itu akan segera disusul festival lain, juga mengusung rock dan juga berlangsung di Tennis Indoor Senayan, Jakarta. Tepatnya, tanggal 31 Juli dan 1 Agustus 2008 akan berlangsung festival itu, yang diberi nama LA Lights Concert Jakarta Jam. Festival ini digagas promotor dari PT Java Musikindo, Adrie Subono.
Jakarta Rock Parade yang mematok tiket Rp 200.000 per hari selama tiga hari gagal mendatangkan penonton dalam jumlah besar. Namun, Jakarta Jam malah berani menjual tiket seharga Rp 650.000 per lembar untuk dua hari perhelatan. Adrie berani mematok tarif itu lantaran Jakarta Jam menghadirkan band-band luar negeri yang menjadi magnet, seperti New Found Glory, Simple Plan, dan One Republic. Ada pula Andra and the Backbone dan Melanie Subono dari Indonesia. Alasan lain, karena ada sponsor.
Gagasan awal Adrie soal festival ini sederhana. Ia melihat hampir semua negara di dunia mempunyai agenda tetap festival musik internasional setiap tahun. Australia mempunyai Big Day Out, di Singapura ada SingFest, dan Jepang mempunyai Fuji Rock. ”Aku ingin nanti Indonesia dikenal dengan Jakarta Jam-nya,” kata Adrie.
Saat ini masih berlangsung pula LA Lights Indiefest 2008. Ini semacam festival bagi band indie (independen, tidak terikat label besar) agar bisa terangkat ke permukaan. Di dalamnya ada kompetisi sehingga pada November mendatang akan dipilih siapa yang terbaik.
”Industri musik indie mempunyai banyak persepsi dan definisi, namun di balik itu semua yang paling menarik adalah semangatnya,” ucap Irwan Edianto, Online Event Director Payu/Vertigo, rumah produksi yang menggelar LA Lights Indiefest 2008.
Fenomena komunitas band indie yang jumlahnya makin menjamur itu pun ditangkap oleh penyelenggara UrbanFest, yakni PT Pembangunan Jaya Ancol-radio Prambors-harian Kompas. UrbanFest tahun kedua pada 27-28 Juni 2008 yang diselenggarakan di Pantai Carnaval, Ancol, merangkul berbagai komunitas indie, baik di musik maupun seni rupa. Lebih dari 10 jenis kegiatan dilangsungkan selama dua hari itu.
UrbanFest meraup lebih dari 50.000 pengunjung, dan jika digabung dengan pengunjung Ancol lain, jumlahnya menjadi lebih dari 100.000 orang. Jika tiket masuk ke Ancol Rp 10.000 per orang, belum termasuk mobil dan sepeda motor, uang dari tiket terkumpul Rp 1 miliar dalam waktu dua hari.
”Creative economy jadi ujung tombak. Dan, Ancol ingin memberi ruang semai buat komunitas indie untuk berkembang. Musik mereka orisinal, mural- muralnya sangat indah. Orisinalitas indie-indie itu bisa menjadi trendsetter bagi generasi mendatang,” papar Direktur Utama PT Pembangunan Jaya Ancol Budi Karya.
Dengan UrbanFest, citra Ancol diperluas, tidak lagi melulu sebagai tempat hiburan rakyat untuk keluarga. ”Anak-anak muda harus diwadahi. Sekarang Dunia Fantasi justru 50 persen dikunjungi teenagers,” ujar Budi.
Beragam isu
Selain musik dan performance arts, film adalah tontonan yang paling kerap dibikin festival. Jika dulu Indonesia hanya kenal Festival Film Indonesia (FFI), kini sangat beragam. Sebut saja mulai dari Jakarta International Film Festival (JIFFest), Jogya-Netpac Asian Film Festival (JAFF), Festival Film Bandung, Festival Film Eropa, hingga Screamfest, festival khusus film bergenre fantasi.
Kini ada Green Festival, festival yang mengusung isu lingkungan hidup. Festival yang dipelopori oleh Unilever-harian Kompas-Metro TV-Female Radio-Pertamina ini dikemas dengan konsep green lifestyle. Pengunjung yang datang ke acara ini tidak akan dijejali dengan ceramah mengenai lingkungan, namun disuguhi berbagai demonstrasi dan informasi dengan bahasa yang mudah dimengerti. Di festival ini, misalnya, ada demonstrasi pembuatan pengolah sampah.
Di sini pengunjung juga bisa berbelanja dan menonton pertunjukan musik. ”Idenya karena kami melihat kok isu global warming ternyata tidak membumi. Padahal, global warming itu ada di depan mata kita,” kata Manajer Program Lingkungan Unilever Peduli Silvy Tirawati.
Selama tiga hari festival, 18-20 April 2008, pengunjung yang datang mencapai 50.000 orang. ”Sampai penuh sesak. Festival ini seharusnya lebih dari tiga hari,” kata Silvy, yang menyebut festival ini juga bagian dari program corporate social responsibility PT Unilever Indonesia Tbk.
”One stop shopping”
Jika dibilang ajang hiburan dengan format festival ini mirip konsep sebuah mal, mungkin benar. Seperti dikatakan penggagas Java Jazz Festival, Peter F Gontha, kelebihan festival dibandingkan dengan perhelatan musik biasa adalah banyaknya pilihan yang diperoleh penonton atau pembeli tiket. Festival bagaikan toserba, toko serba ada, yang konsepnya one stop shopping.
Untuk acara semacam Java Jazz Festival, yang telah digelar empat kali setiap Maret sejak 2005, Peter tidak hanya mengundang musisi dan artis. Ia bersama tim juga merangkul pembuat suvenir serta menawari penjual makanan untuk membuka gerai.
Dengan acara berbentuk festival yang biasanya digelar dalam waktu beberapa hari, pasar yang disasar bisa terangkul lebih luas. Setelah itu, gaungnya pun terasa.
Lebih jauh, misi Java Jazz Festival untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dunia terhadap Indonesia juga berhasil. Festival ini telah diakui sebagai salah satu festival jazz terbesar dunia, bersanding dengan North Sea Jazz Festival, Montreux, dan Newport Festival.
”Sudah banyak e-mail menanyakan line up pengisi acara Java Jazz 2009. Bahkan, Thailand, Filipina, dan Malaysia sudah mengajukan membeli hak siaran langsung,” papar Peter.
Becermin pada Java Jazz, Peter saat ini sedang merencanakan membuat festival khusus rock, seperti Woodstock di AS atau Glastonbury di Inggris. Rencananya, diadakan di Sirkuit Sentul. ”Kalau mau buat festival rock, jangan tanggung-tanggung. Jangan cuma mulai jam 4 sore sampai 12 malam. Kalau perlu, dari jam 11 hari Sabtu sampai jam 12 malam Minggu berikutnya, nonstop. Sambil dengerin musik, juga ada balap mobilnya,” kata Peter.
Festival, merujuk Tesaurus Bahasa Indonesia (2006), adalah sebuah pesta rakyat. Bisa dikatakan, festival adalah pestanya pengunjung festival, pestanya pengisi acara, pestanya penyelenggara, hingga pestanya sponsor....
Sumber: Kompas, Minggu, 20 Juli 2008
No comments:
Post a Comment