-- Yudi Latif*
DEMOKRASI tak bisa berumah di angin. Triliunan uang terkuras, berbilang institusi tiruan dicangkokkan, dan pelbagai prosedur baru digulirkan tak membuat rakyat kian berdaya secara politik. Perangkat keras demokrasi memang berhasil dipoles, tetapi perangkat lunaknya masih berjiwa tirani. Demokrasi berjalan dengan meninggalkan sang ”demos” (rakyat jelata), seperti Malin Kundang yang melupakan ibunya sendiri.
Situasi demikian mengingatkan kembali sisi kegagalan demokrasi Indonesia pada dekade 1950-an. Menurut pandangan Ricklefs, kegagalan tersebut disebabkan oleh lemahnya fondasi demokrasi. ”Di sebuah negara yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf, rendahnya pendidikan, buruknya kondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas otoritarian, wilayah politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok kecil elite politikus.”
Hal ini mengindikasikan, reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya mengandalkan reformasi kelembagaan politik dan ekonomi, melainkan perlu mengakar ke bumi reformasi budaya. Reformasi budaya merupakan fungsi dari perubahan proses belajar sosial secara kolektif, yang membawa transformasi tata nilai, ide, dan jalan hidup. Dalam hal ini, terasa penting untuk memerhatikan jalinan erat antara budaya, politik, dan ekonomi.
Desentralisasi: Keberaksaraan
Budaya demokrasi mengandaikan adanya empati dan partisipasi; yakni kesanggupan untuk memahami dan menempatkan diri dalam situasi orang lain, yang menjadi ajakan bagi kesediaan berperan aktif dalam penyelesaian masalah-masalah kolektif. Kemampuan empati dan partisipasi ini bisa ditumbuhkan oleh kekuatan literasi (Lerner, 1958).
Dunia kelisanan adalah dunia pemusatan yang mengarah pada elitisme. Dalam tradisi kelisanan hanya ada sedikit orang yang memiliki akses terhadap sumber informasi. Kelangkaan ini menganugerahkan privilese khusus kepada sedikit elite yang membuatnya dominan secara politik. Adapun dunia keberaksaraan adalah dunia penyebaran. Perluasan kemampuan literasi dan jumlah bacaan mendorong desentralisasi penguasaan pengetahuan. Desentralisasi ini secara perlahan memerosotkan nilai sakral elitisme seraya memperkuat egalitarianisme.
Elitisme mengandung mentalitas narsistik yang berpusat pada diri sendiri, tanpa empati dan kesungguhan mengajak partisipasi. Egalitarianisme mengandung kepekaan akan kesederajatan hak, oleh karenanya berusaha mencegah timbulnya dominasi dengan menggalakkan partisipasi.
Tak heran, dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah demokrasi bisa tumbuh dengan kuat. Athena (Yunani) sering dirujuk sebagai ”ibu demokrasi” karena berakar pada tradisi literasi yang kuat, berkat penemuan alfabet. Peradaban Yunani dan Romawi adalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas baca-tulis masyarakat.
Merayakan kedangkalan
Kalangan sejarawan mencoba melukiskan secara spesifik tentang relasi antara literasi dan perkembangan sosial di Barat. Cipolla (1969) menemukan bahwa kendatipun pola sejarah tidaklah seragam, tampak jelas bahwa seni menulis berkaitan dengan kondisi urbanisasi dan hubungan komersial.
Tingkat keberaksaraan dan keluasan erudisi masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini mendapatkan ancaman dari berbagai penjuru. Ancaman pertama datang dari ”vokasionalisme baru” (new vocationalism), yakni suatu konsepsi utilitarian dari lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Dalam arus ini, pengajaran bahasa mengabaikan dimensi kesastraan, seraya memberi perhatian yang berlebihan pada pengajaran tata bahasa dalam disiplin keilmuan dan kejuruan yang spesifik.
Fenomena ini melahirkan apa yang disebut Frank Furedi (2006) sebagai the cult of philistinism, pemujaan terhadap budaya kedangkalan oleh perhatian yang berlebihan terhadap interes-interes material dan praktis.
Orang-orang yang membaca kesastraan dan mengobarkan kegairahan intelektual berisiko dicap sebagai ’’elitis’, ’tak membumi’, dan ’marjinal’. Kedalaman ilmu dan wawasan dihindari, kedangkalan dirayakan.
Ancaman kedua berupa terpaan mendalam dan meluas dari multimedia, khususnya televisi.
Tekanan pada utilitarianisme dalam kelemahan tradisi literasi dan erudisi memberi ketimpangan pada kehidupan publik. Jagat politik dibanjiri politisi-tukang, dengan kelangkaan politisi-intelektual. Demokrasi yang mensyaratkan meritokrasi didarahi oleh mediokrasi.
Demokrasi harus berakar di bumi. Demokrasi hanya bisa tumbuh subur jika tersedia basis literasi. Saatnya memuliakan keberaksaraan!
* Yudi Latif, Dewan Ahli Nurcholish Madjid Society
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Juli 2008
No comments:
Post a Comment