Jakarta, Kompas - Di tengah suasana suwung (kosong, hampa) yang banyak dirasakan bangsa Indonesia, yang diperlukan adalah penyegaran pola pikir dan sikap hidup. Untuk itu, unsur budaya besar peranannya. Sayang, hal-hal tentang budaya sejauh ini tidak tertangani dengan baik karena itu butuh upaya lebih serius untuk mengelolanya.
Wacana di atas muncul dalam Sarasehan Budaya untuk memperingati Kongres Kebudayaan Pertama di Sala, 5 Juli 1918, yang diselenggarakan Paguyuban Puspo Budoyo dan Sekar Budaya Nusantara bekerja sama dengan RRI di Studio B RRI Jakarta, Sabtu (5/7).
Sejumlah pembicara dari berbagai latar belakang mengangkat seriusnya kemunduran atau kekurangan yang dialami bangsa Indonesia. Ketua Lembaga Studi Kapasitas Nasional Hartojo Wignjowijoto mencetuskan istilah ”suasana suwung” yang menyiratkan tiadanya nyawa atau perasaan di tengah bangsa ini.
Dalam sarasehan yang dipandu Kepala RRI Parni Hadi ini, ikut pula menyampaikan pandangan Menneg PAN Taufiq Effendi, yang menyebutkan pentingnya pembangunan karakter bangsa. Menurut Menneg PAN, kalau karakter, yang menjadi modal dasar, itu buruk, ibaratnya membuat hidangan, sulit membuat kue yang enak karena tepungnya apek dan santannya basi. Ia menyebut budaya (kebiasaan) buruk seperti suka menyalahkan pihak lain dan susah melihat orang lain senang.
Namun, mantan Dirjen Kebudayaan Edi Sedyawati berharap, meski diliputi berbagai kekurangan, bangsa Indonesia tetap bisa berpikir positif. Riwayat perjalanan Nusantara memang banyak ditandai dengan kehancuran akibat problem internal dari bangsa- bangsa itu. Namun, perlu dilihat, bagaimana keberhasilan mereka membangun kerajaan hingga menjadi besar.
Forum kebudayaan
Mengingat banyaknya persoalan sekitar budaya yang perlu dibicarakan, Pembina Paguyuban Puspo Budoyo Luluk Sumiarso mencetuskan ide pembentukan Forum Kebudayaan Indonesia.
”Forum ini semacam KONI di olahraga, tidak partisan, nirlaba, swadaya masyarakat, tetapi menjadi mitra pemerintah untuk menyinergikan potensi dan aktivitas budaya yang ada di masyarakat tanpa menghilangkan identitas atau keberadaan organisasi budaya yang bersangkutan,” katanya.
Meski sempat dipertanyakan efektivitasnya oleh tokoh budaya Betawi, Ridwan Saidi, rancangan deklarasi pendirian forum ini ditandatangani sebagian peserta.
Peserta sarasehan, seperti Dirjen Potensi Pertahanan Dephan Budi Susilo Supanji, melihat ide sarasehan menggalang sinergi budaya sebagai hal positif, bahkan dari segi pertahanan pun kontributif, karena strategi yang diterapkan oleh RI adalah pertahanan semesta, tidak terbatas pada militer, tetapi juga termasuk budaya. (nin)
Sumber: Kompas, Senin, 7 Juli 2008
No comments:
Post a Comment