Yang Tersisa dari TSI: Menolak Wadah, Berdayakan ASI

-- Isbedy Stiawan Z.S.*

KECENDERUNGAN setiap pertemuan sastrawan akhir-akhir ini di Tanah Air latah menerbitkan rumusan di luar soal (pencapaian) estetika. Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 1 di Jambi (7--10 Juli 2008) seakan pula latah dan "memaksakan" keinginan menelurkan gagasan wadah sastrawan. Padahal banyak komunitas yang mewadahi sastrawan, baik yang dibentuk sekelompok sastrawan atau karena "dipaksa" kelahirannya dari suatu pertemuan, musyawarah, atau kongres.

Saya termasuk yang apriori--bahkan menolak--ketika terendus gagasan akan dibentuk wadah dari TSI 1 Jambi. Ada sesi khusus sengaja ditampilkan sebagai penutup sesi pada hari terakhir, dengan nama "musyawarah sastrawan". Untuk melegitimasi sesi tersebut, sehari sebelumnya penyair Acep Zamzam Noor (Jabar) membincangkan perlu tidaknya wadah bagi sastrawan. Sejatinya Acep menegaskan tidak perlu sastrawan Indonesia membentuk wadah karena tidak efektif. Persoalan estetika diserahkan kepada komunitas-komunitas yang kini tumbuh di setiap kota/provinsi dan dinilainya berhasil.

Bahkan Acep, juga didukung Triyanto Triwikromo (Jateng) dan Tan Lioe Ie (Bali) pada perumusan musyawarah tegas-tegas menolak dibentuknya wadah. Namun, demi demokratisasi, mereka serahkan sepenuhnya pada forum pembahasan.

Begitu pula ihwal penyebutan TSI 1 yang diingini panitia mesti berlanjut di kota lain sebagai bagian rekomendasi, juga ditolak ketiga perumus tersebut. Artinya daerah lain dipersilakan membuat nama lain untuk pertemuan sastrawan atau bisa menggunakan nama TSI tapi bukan kelanjutan (2). Sebab setiap provinsi punya cara dan pandang serta "kepentingan" yang bisa saja berbeda dalam menggagas suatu kegiatan. Sebab itu, menurut Tan Lioe Ie, jangan dibatasi dengan segala rekomendasi dari pertemuan sebelumnya.

Sunlie Thomas Alexander, sastrawan Babel, mengaku sudah ditelepon Kepala Dinas Budaya dan Pariwisata Babel yang menyatakan siap menggelar TSI pada 2009. Anwar Putra Bayu, juga mengatakan telah dihubungi Dinas Budpar Sumsel pada tahun berikutnya. Kesiapan Babel dan Sumsel disambut gembira, karena dengan makin banyaknya pertemuan sastrawan akan semakin bergeliat dunia sastra di Tanah Air.

Tidak Perlu Wadah

Saya apriori, mengingat wadah-wadah (komunitas) yang sudah telanjur tumbuh di kalangan sastrawan tidak efektif bagi kemajuan dan pengembangan bakat sastrawan. Kecuali komunitas-komunitas yang ada hanya membesarkan dan mengkultuskan ketuanya. Contoh paling tidak baik yang terjadi pada KSI (Komunitas Sastra Indonesia) yang mengapungkan Wowok Hesti Prabowo di kancah sastra Indonesia, lalu Komunitas Utan Kayu (KUK) yang membuat Goenawan Mohammad menjadi "dewa" bagi sastrawan yang baru tumbuh di Tanah Air. Terakhir munculnya Boemi Poetra yang membuat nama Wowok dan Saut Situmorang terkenal di ranah sastra Indonesia. Tetapi, komunitas itu tidak pernah mau peduli terhadap kesejahteraan, advokasi, atau pun perlindungan sastrawan.

Baru-baru ini juga, Kongres Cerpen Indonesia (KCI) di Banjarmasin "latah" hanya karena dapat rekomendasi KCI di Pekanbaru sehingga harus membidani Komunitas Cerpenis Indonesia (KCI) yang diketuai Ahmadun Yosi Herfanda yang juga Presiden KSI hasil kongres KSI di Kudus, Januari 2008.

Kecuali KSI, kiranya Komunitas Cerpenis Indonesia tidak berjalan seperti yang diinginkan para cerpenis peserta KCI yang "getol" pada wadah. Memang masih banyak sastrawan Indonesia yang menggilai uniform, yang merasa tercatat ketika telah mengantongi kartu tanda sastrawan (KTS) dan ambisi untuk duduk di komunitas sastra. Itu sebabnya, saya menolak terbentuknya KCI di Banjarmasin dengan cara "menghilang" saat sesi rumusan dan pembentukan KCI.

Sejak dideklarasikan oleh penulis Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari pada Agustus 2007, KCI tenggelam seiring kesibukan masing-masing pengurus: Ahmadun sibuk dengan KSI dan pekerjaannya di Republika, sekretaris KCI Triyanto Triwikromo juga suntuk sebagai kreator sastra, redaktur Suara Merdeka dan traveling ke luar negeri, adalah dasar kevakuman kumunitas tersebut.

ASI yang digelontorkan di Jambi memang perdebatan perlu tidaknya pembentukan wadah sempat hangat. Namun, berlangsung santai dan penuh persaudaraan. Walaupun Sudaryono (ketua pelaksana TSI) tetap menghendaki lahirnya wadah di Jambi karena mungkin sudah titipan penyantun dana (baca: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi), yang kemudian "melemahkan" para perumus, dalam hal ini Triyanto Triwikromo.

Cerpenis Indonesia dan redaktur sastra Suara Merdeka itu ketika ngobrol dengan saya, mengatakan wadah ini harus dilahirkan dari forum TSI. Tetapi, ia tetap tidak setuju wadah. Maka saya usulkan, bentuk saja aliansi. Saya merujuk pada Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Triyanto pun sepakat, akhirnya digulirkan nama ASI (Aliansi Sastra Indonesia).

ASI, dalam benak saya dan Triyanto, ialah sebuah wadah yang bertugas mengadvokasi, melindungi, dan mencari jalan keluar permasalahan dalam sastra dan sastrawan. Sebagai YLKI bagi para konsumen. ASI yang mungkin di dalamnya ada sastrawan, tapi soal advokasi dan sebagainya diserahkan kepada ahlinya. Misalnya untuk urusan hak cipta ditangani mereka yang menguasai masalah hak cipta, soal delik akan diserahkan ahli hukum dan ahli sastra.

ASI memang sekadar alternatif, ketika forum sangat "mengharuskan" lahirnya wadah. Seperti dikatakan Sosiawan Leak (Surakarta), meski sastrawan bukan seperti profesi dokter, tapi wadah yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak sastrawan sangat perlu.

Ia mencontohkan, ketika Munir dilenyapkan banyak lembaga yang membela agar kematian pejuang HAM tersebut diusut. Tetapi, saat penyair Wiji Thukul yang "dihilangkan" dan hingga kini tak tahu rimbanya, tak ada lembaga sastrawan yang memperjuangkan dan membela nasibnya. Hal yang sama dengan "kasus" penyair Saeful Badar (Jabar) karena puisi Malaikat-nya yang dianggap menghina agama, tidak ada yang membela. Kecuali pembelaan dari individu sastrawan, tapi karena tak ada kekuatan akhirnya tak berjalan.

ASI pada akhirnya mesti diberdayakan sebagai aliansi yang berpikiran menyejahterakan, mengadvokasi, dan membela nasib sastra (dan sastrawan) Indonesia. Sebab itu, jika jadi dideklarasikan, pengurusnya haruslah lebih banyak nonsatrawan atau mereka yang peduli pada sastra dan sastrawan, dan bukan kreator sastra, biarkan kreator sastra tetap berurusan pada estetika.

Dan ASI, sebagaimana kesepakatan forum, akhirnya diserahkan pada Jambi untuk membentuknya. Karena tanpa "penekanan", boleh saja kembali dimasukkan ke kotak.

* Isbedy Stiawan Z.S., Sastrawan

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 19 Juli 2008