Tuesday, July 08, 2008

Belum Ada Mainstream yang Kuat pada Capaian Estetik Puisi

Laporan Wartawan Kompas, Yurnaldi

JAMBI, SELASA -- Kemeriahan dan kegairahan menulis puisi akhir-akhir ini, intensitasnya jauh melebihi masa-masa sebelumnya. Berat dugaan bahwa hal ini terjadi berkat maraknya kegiatan komunitas-komunitas sastra yang berkembang di awal abad ini.

Namun, kemeriahan publikasi saat ini, tidaklah dengan sendirinya merupakan indikator bahwa tingkat kematangan dan kekuatan visi penulis (penyair) sekaligus tercapai dengan sempurna.

Masing-masing berada dalam proses mengeksplorasi bakat dan kadar intelektualitas, walaupun tingkat kematangan puisi tidak harus tunduk pada kemudaan usia. Hal itu telah dibuktikan oleh Chairil Anwar pada zamannya.

Demikian pokok-pokok pikiran yang dikemukakan sastrawan yang juga ahli sastra dari Universitas Negeri Padang Dr Haris Effendi Thahar, pada Temu Sastrawan Indonesia I, Selasa (8/7) di Kota Jambi, Provinsi Jambi.

"Angkatan muda usia yang sedang produktif menulis dan memublikasi puisi saat ini, merupakan kelanjutan dari generasi sebelumnya yang telah menghindari tradisi sajak-sajak lirik yang memaksakan bunyi. Akan tetapi, lirik-lirik panjang maupun pendek tetap saja berusaha membangun narasi-narasi profan yang tampaknya berusaha lebih bebas dalam mencapai kesan estetik," katanya.

Menurut Harris yang terkenal dengan cerpen Si Padang itu, capaian estetik puisi-puisi Indonesia mutakhir belumlah memperlihatkan perubahan yang besar atau suatu mainsteam yang kuat seperti kuatnya Chairil Anwar pada masa kehadirannya sebagai penyair modern Indonesia. "Kuantitas dan keseragaman pengucapan bahasa lebih menonjol ketimbang pencapaian estetik puisi," tandasnya.

Haris sempat menggambarkan bagaimana pada generasi-generasi terdahulu ada perubahan-perubahan besar. Misalnya bagaimana Chairil Anwar memelopori puisi modern Indonesia dengan gaya pengucapan yang bebas. Bebas dalam artian tidak lagi terpengaruh terhadap puisi-puisi yang ditulis oleh penyair Indonesia sebelumnya seperti M Yamin, Amir Hamzah.

Walaupun penyair-penyair baru bermunculan setelah itu, namun tidak banyak yang dikenal, kecuali Sutardji Calzoum Bachri, yang dikenal dengan puisi-puisinya yang berangkat dari tradisi pengucapan matra.

Kepenyairannya kemudian diperkukuh dengan Kredo Puisinya yang terkenal (1973). Setelah itu pada tahun 1980-an, tersebutlah Afrizal Malna, yang sajak-sajaknya bertolak belakang dengan pengucapan akar tradisi (mantra dan pantun).

Tahun 1990-an sempat muncul gaya Afrizalian yang nyaris menjadi mainstream dunia perpuisian Indonesia pada masa itu. "Menjelang berakhirnya abad ke-20, dunia perpuisian Indonesia dikejutkan oleh sajak-sajak Joko Pinurbo, yang selalu tak terduga dan membalikkan logika biasa. Begitu juga dengan Acep Zamzam Noor yang buku puisinya menjadi pemenang Khatulistiwa Award 2007," paparnya.

Yurnaldi

Sumber: Kompas Entertainment, Selasa, 8 Juli 2008

No comments: