Saturday, July 12, 2008

Opini: Tentang Tan Malaka

-- Sabam Siagian*

TULISAN Prof Zulhasrul Nasir, ”Tan Malaka dan Kebangkitan Nasional” (Kompas, 7/7/2008) merupakan sumbangan menarik untuk memperkaya pengetahuan kita dalam rangka ”100 Tahun Kebangkitan Nasional”.

Namun, ada dua catatan serius yang perlu dikemukakan guna menghindari kesalahpahaman. Pertama, kutipan berikut mencerminkan bias penulis dan juga kurang menguasai fakta. Tulisnya, ”Dia (Tan Malaka) dan pasukannya tetap berperang menghadapi agresi Belanda. Maka, sangat disayangkan TKR waktu itu kemudian membunuhnya di sebuah desa di Kediri (1949) dan menghilangkan jejaknya.”

Kegiatan politik Tan Malaka

Sejarawan Belanda, Dr Harry A Poeze, dalam biografi Tan Malaka, jilid 3–hal 1442 (judul, Verguisd en Vergeten–Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie, 1945-1949) secara rinci mengurai kegiatan politik Tan Malaka pada awal 1949 di daerah Kediri setelah tentara Belanda (KL/KNIL) melancarkan Serangan Umum ke-2 pada 19 Desember 1948. Pasukan TNI—Tentara Nasional Indonesia (TKR, Tentara Keselamatan Rakyat sudah ganti nama)—yang diandalkan Tan Malaka adalah batalion Sabarudin yang bertindak independen dan lebih sibuk mendukung dan mengamankan agitasi Tan Malaka ketimbang menghadapi pasukan Belanda.

Tan Malaka mengaitkan diri dengan Gabungan Pemuda Proklamasi (GPP), Rakyat Murba Terpendam, dan menyebarkan pamflet-pamflet dengan mencantumkan sebagai sumbernya: Markas Murba Terpendam.

Baik dalam pamflet-pamflet itu maupun dalam berbagai pidato, Tan Malaka beragitasi: (a) Presiden Soekarno dan Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta setelah ditawan militer Belanda pada 19 Desember 1948 dan dalam tahanan Belanda sudah hilang keabsahannya sebagai pemimpin-pemimpin Revolusi Indonesia. Dialah yang kini berhak sebagai Pemimpin Revolusi Indonesia berdasarkan Testamen Politik yang ditandatangani Soekarno–Hatta di Jakarta, Oktober 1945; (b) tidak mengakui pemerintahan darurat yang dipimpin Sjafrudin Prawiranegara di Sumatera; (c) suatu tentara gerilya rakyat perlu dibentuk yang menolak politik perundingan.

Dalam pertemuan di Desa Prambon (sebelah Utara Kediri) 9 Februari 1949 malam, Tan Malaka dalam suatu pidato panjang menandaskan, peran Soekarno- Hatta telah selesai. Dan, suatu pemerintahan rakyat yang kuat harus segera dibentuk. Sementara itu, mayor Sabarudin dalam berbagai pamflet mengumumkan, presiden Indonesia bukan lagi Soekarno tetapi Tan Malaka.

Kolonel Sungkono, panglima dan gubernur militer Jawa Timur yang memikul wibawa penuh setelah Panglima Besar Letjen Sudirman, menyatakan dalam pidato 19 Desember 1948, hukum darurat perang diberlakukan. Dia menerima laporan dari Surachmad, komandan brigade Kediri, tentang agitasi Tan Malaka berdasar laporan pandangan mata mayor Yonosewojo yang hadir dalam pertemuan di Desa Prambon. Sungkono menugaskan Surachmad untuk menyelesaikan persoalannya.

Penting mengutip butir pertimbangan dalam perintah Mayor Surachmad sebagai komandan Wehrkreisse (Zona Pertahanan) dikeluarkan pada 13 Februari 1949 pukul 10:00 pagi. ”Memerhatikan gerakan yang dipimpin Tan Malaka cs yang telah membahayakan perjuangan Republik Indonesia di bidang politik dan militer, baik di dalam maupun di luar negeri.” Patut diingat, TNI dan rakyat sedang menghadapi agresi umum Belanda yang mendesak ke wilayah Selatan Jawa Timur.

Perintah dasar ini lalu dilaksanakan berdasarkan hukum darurat perang untuk mengeksekusi Tan Malaka. Menurut penelitian Dr Poeze, Tan Malaka dieksekusi pada malam 21 Februari 1948 di desa Selopanggung (dekat desa Madjo), sebelah Tenggara Kediri oleh letnan dua Sukotjo.

Dalam konteks uraian historis ini, kalimat ”... Maka amat disayangkan TKR saat itu lalu membunuhnya
(!? SSg) di sebuah desa di Kediri...” amat tendensius.


Kombinasi diplomasi

Catatan kedua tentang kutipan, ”Tan Malaka konsekuen dengan sikapnya yang tidak memercayai politik kompromi (diplomasi) yang dijalankan Hatta dan Sjahrir yang hanya menguntungkan Belanda....”

Agaknya penulis mendukung sikap politik demikian tanpa meneliti lebih dulu pemikiran geopolitik Sutan Sjahrir maupun situasi kondisi yang mendorong Wapres/PM Moh Hatta setuju menghadiri Konferensi Meja Bundar di Den Haag (Agustus-November 1949).

Sebelum Sjahrir menjadi PM pertama RI (November 1945), ia menulis brosur Perjuangan Kita. Di dalamnya Sjahrir menekankan, (a) bentuk geografis RI sebagai negara kepulauan yang amat luas, tetapi Jawa dan Sumatera berdasar demografi dan sumber ekonomi merupakan wilayah jantung; (b) Indonesia berada dalam radius pengaruh Inggris dan Amerika Serikat.

Bung Sjahrir berunding dengan Belanda berdasarkan pandangan geopolitik yang realistik. Perjanjian Linggajati (diparaf November 1946, ditandatangani Maret 1947) mencantumkan Kerajaan Belanda mengakui eksistensi de facto RI di Pulau Jawa, Madura, dan Sumatera (Pasal I). Delegasi RI berhasil memasukkan kemungkinan ”Arbitrase” kalau dua belah pihak tidak mampu menyelesaikan perselisihan yang timbul (Pasal XVII).

Dua pasal itulah yang menyudutkan Belanda di panggung internasional, saat Belanda melancarkan Serangan Umum Juli 1947 dan melanggar Perjanjian Linggajati. Akibatnya, konflik RI-Belanda diagendakan di Dewan Keamanan PBB. Utusan khusus RI, Sutan Sjahrir, diberi kesempatan bicara di Sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success pada 14 Agustus 1947. Dan, dalil Belanda bahwa konflik RI-Belanda adalah ”masalah dalam negeri” melalui diplomasi Bung Sjahrir yang efektif berhasil dinetralisasi.

Memang dapat dikatakan, Moh Hatta sebagai Ketua Delegasi RI ke KMB di Den Haag seperti memberi konsesi terlalu besar: beban utang yang diwarisi, status quo tentang Irian Barat selama satu tahun. Namun, di sisi positifnya harus dicantumkan: Belanda mengakui eksistensi Indonesia Merdeka yang berdaulat yang meliputi wilayah eks Hindia Belanda. Dan, yang amat penting: utusan RI di Komisi Militer, Dokter Johanes Leimena dan Kol TB Simatupang, berhasil memperjuangkan TNI diakui sebagai satu-satunya organisasi militer dalam Republik Indonesia Serikat.

Dengan demikian, tiap masalah dengan Belanda adalah sengketa antardua negara berdaulat yang jika terpaksa, diselesaikan dengan cara militer. Itulah yang hampir terjadi secara terbuka tahun 1962. Ternyata, kombinasi diplomasi dan perjuangan akhirnya melahirkan Indonesia Merdeka.

* Sabam Siagian, Redaktur Senior The Jakarta Post

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juli 2008

No comments: