Data Buku
Judul: d.I.a., cinta dan presiden
Penerbit: PT Rajagrafindo Persada
Penulis: Noorca M Massardi
SEPERTI juga novel sebelumnya, yang berjudul September (2007), novel Noorca M Massardi yang berjudul d.I.a., cinta dan presiden (2008) pun mengisahkan kejadian yang diambil dari rangkaian kisah politik yang benar-benar terjadi.
Hanya saja, pada novel September, setting politiknya diambil dari kejadian nyata pada tahun 1965 dan tahun-tahun sesudahnya, sedangkan pada novel d.I.a., cinta dan presiden, setting politiknya diambil dari kejadian nyata pada tahun 1998 dan tahun-tahun sesudahnya.
Namun, Noorca meramu rangkaian peristiwa politik di tahun 1998 itu secara menarik, dan dengan gayanya yang khas, ia mencampurkan rangkaian peristiwa itu dengan peristiwa politik yang terjadi pada tahun-tahun sesudahnya sehingga menjadi satu kesatuan yang enak dibaca.
Misalnya pada Bab 9. Kutukan Firaun, di halaman 214-215, dikisahkan, Panglima TNI menanggapi surat pernyataan pimpinan DPR/MPR yang intinya meminta ”agar presiden secara arif dan bijaksana sebaiknya mengundurkan diri” dengan mengatakan, ”Saudara-saudara sekalian. Terhadap pernyataan pimpinan DPR RI yang baru saja kita dengarkan bersama, maka TNI berpendapat dan memahami bahwa pernyataan pimpinan DPR RI agar Presiden Soekarto Boedhiono mengundurkan diri adalah sikap dan pendapat individual, meskipun disampaikan secara kolektif. Sesuai dengan konstitusi, pendapat seperti itu tidak memiliki ketetapan hukum. Pendapat DPR harus diambil oleh seluruh anggota Dewan melalui Sidang Paripurna DPR.”
Walaupun dalam novel itu Noorca tidak menyebutkan nama Panglima TNI itu, pernyataan Panglima TNI itu sama persis dengan pernyataan Panglima ABRI Jenderal Wiranto yang dilontarkan di Markas Besar ABRI, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, 18 Mei 1998, atau tiga hari sebelum Presiden Soeharto mundur.
Presiden Soekarto Boedhiono (Presiden SBD) adalah tokoh rekaan dari Presiden Soeharto. Meskipun demikian, tidak jarang Noorca pun menggunakan Presiden SBD sebagai rekaan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Misalnya pada halaman 91, di mana disebutkan, Presiden yang sangat lamban. Presiden yang menyia-nyiakan mandat langsung dari rakyat, atau yang suka tebar pesona.
Dalam novelnya, Noorca bercerita tentang Wahid Pratama, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Mandat Nasional (PMN). Jika diikuti kisahnya secara saksama, orang-orang yang mengamati perpolitikan nasional akan tahu bahwa tokoh rekaan itu aslinya adalah Djoko Edhi Soetjipto Abdurrahman, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN). Namun, dalam novel itu, Wahid dipindahtempatkan ke masa akhir pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun 1998-an. Bahkan, Wahid kemudian menjadi presiden menggantikan Presiden SBD yang memutuskan untuk mundur.
Yang paling menarik untuk diikuti adalah kisah kehidupan tokoh utamanya, yakni Anggara Sutomo dan Kartika. Anggara adalah pewarta dan putra sulung Sutomo Parastho, pemilik surat kabar Koran, yang tergabung dalam Koran Media Group (KMG), sedangkan Kartika adalah aktivis kelompok antiglobalisasi internasional yang mengadakan aksi unjuk rasa di depan hotel tempat Pertemuan Kelompok 8 (G-8) diselenggarakan, yakni The Kempinski Grand Hotel, Heiligendamm, Mecklenburg, Jerman, yang terletak di tepi pantai Laut Baltik.
Cerita mengenai perjalanan Anggara ke Jerman dan pertemuannya dengan Kartika di gedung Opera Muenchen saat menonton pertunjukan perdana opera The Flying Dutchman karya Richard Wagner sangat menarik untuk diikuti. Demikian juga kisah perjalanan Anggara ke Berlin, termasuk Checkpoint Charlie—yang sebelum penyatuan Jerman, 3 Oktober 1990, merupakan salah satu pintu perlintasan ke Berlin Timur (Jerman Timur)—dan Gerbang Brandenburg, serta saat Anggara berada di Paris, Perancis.
Latar belakang Noorca sebagai eks pewarta menjadikan cerita tentang Anggara, yang juga berprofesi sebagai pewarta, mengalir dengan lancar dan sangat hidup. Penggambaran akan tempat-tempat yang dikunjungi Anggara di Jerman, Paris, dan Singapura demikian rinci sehingga sebagai pembaca kita seakan berjalan-jalan bersama Anggara di sana.
Belum lagi kejadian di Salon Les Ambassadeurs, di Hotel de Crillon yang mewah dan bersejarah di depan Place de la Concorde, kemudian di stasiun metro La Defense, di Esplanade de la Defense, bekas rumah kediaman Duta Besar Republik Indonesia untuk Perancis di Neuilly, Arc de Triomphe, dan ngopi di Avenues des Champs Elysees. Penggambaran suasana dan semua kejadian sedemikian mendetail sehingga sulit melepaskan mata dari novel tersebut.
Satu-satunya tokoh hidup dalam novel itu, dalam arti bukan tokoh rekaan, adalah Lucky (Hermanto) local staff di Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia. Lucky bertindak sebagai dirinya sendiri saat mengurus persiapan keberangkatan pewarta Indonesia ke Jerman untuk melihat kemajuan ekonomi Jerman setelah reunifikasi.
Pengalaman yang diperolehnya saat menulis novel politik atau roman sejarah September (2007), Noorca dapat dengan lincah meramu kisah romantika Anggara dan Kartika dengan situasi politik pada tahun 1998 dan beberapa tahun sesudahnya. Karena itu, novel politik yang secara relatif sangat tebal ini—sebanyak 892 halaman—tetap enak dibaca.
Dan, kata d.I.a. di awal judul novel Noorca itu, yang berkonotasi seperti CIA, badan intelijen Amerika Serikat, walaupun sempat disebut logo d.I.a. terlihat di puncak salah satu gedung tinggi di kota Frankfurt modern (halaman 119), tetapi baru di akhir novel dijelaskan artinya dan cara kerjanya.
Secara umum dapat dikatakan novel ini menarik dan asyik untuk dibaca. Suspense dan romance yang pas menjadi salah satu kekuatan novel. (JAMES LUHULIMA)
Sumber: Kompas, Senin, 7 Juli 2008
No comments:
Post a Comment