Monday, July 07, 2008

Pandu "Winnetou" Ganesa: Pembuktian Tanggung Jawab

-- Anung Wendyartaka

BAGI pencinta buku petualangan karya penulis legendaris Jerman, Karl May, di Indonesia saat ini, sebagian besar pasti mengenal sosok pria tinggi besar, berbadan tegap, dan sekilas mirip orang Indian, yaitu Pandu Ganesa atau dalam surat elektronik ia sering memakai nama Gono.

Tak diragukan lagi, munculnya kembali Karl May di negeri ini, seperti kata sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam buku Menjelajah Negeri Karl May, tak terlepas dari usaha dan sepak terjang tak kenal lelah dari pengusaha kelahiran Kota Kediri 55 tahun silam ini.

Karya-karya Karl May yang sudah banyak dikenal sejak zaman Hindia Belanda, dan edisi bahasa Indonesianya pernah digandrungi masyarakat Indonesia sekitar tahun 1950 hingga tahun 1970-an, beberapa tahun lalu sempat menghilang. ”Dari riset saya di berbagai media di sini, selama tahun 1980 hingga tahun 2000-an memang hampir enggak ada orang yang pernah menyentuh Karl May. Satu-satunya orang Indonesia yang menyentuh hanya Seno (Gumira Ajidarma) tok. Itu tahun 1992,” ungkap Pandu Ganesa.

Menurut Pandu, selain artikel Seno di harian ini yang ditulis dalam rangka memperingati 150 tahun kelahiran Karl May atau Carl Friedrich May tahun 1992 tersebut, publisitas Karl May lain yang ada dalam kurun waktu lebih kurang 20 tahun sejak tahun 1980-an hanyalah sebuah artikel ringan di majalah bulanan Intisari. ”Satu-satunya artikel serius yang ada hanyalah tulisan Seno di Kompas," kata Pandu menambahkan.

Buku cerita karya Karl May sudah banyak digemari di negeri ini sejak zaman Hindia Belanda atau awal abad ke-20, seperti pernah diungkap Drs Mohammad Hatta atau Bung Hatta dalam Memoir (Menjelajah Negeri Karl May, 2004). Bahkan, nama Karl May masuk dalam dua versi ensiklopedia Indonesia dan buku-bukunya sangat populer di tahun 1960-an. Meski demikian, ternyata dalam kurun waktu 1980-2000 namanya hampir ditelan bumi dan hampir-hampir tidak ada yang membicarakan lagi di sini.

Telanjur basah

Apabila dirunut kembali usaha Pandu Ganesa untuk mengangkat kembali Karl May di negeri ini, sehingga beberapa tahun belakangan ini terbit kembali karya-karya Karl May dalam bahasa Indonesia, seperti Dan Damai di Bumi, serial Winnetou, hingga komik atau cerita bergambar seri Winnetou-Old Shatterhand, ternyata tidaklah disengaja atau direncanakan sebelumnya.

”Waktu itu saya iseng-iseng mengirimkan tulisan mengenai Karl May di sebuah milis yang orang-orangnya enggak ada hubungannya dengan buku, milis penggemar musik rock klasik milik sebuah radio rock. Dari situ saya tanya soal Karl May. Yang membuat saya sangat kaget adalah kok masih pada baca atau paling tidak kenal,” tutur Pandu. Namun, menurut Pandu, umumnya mereka kesulitan untuk mendapatkan buku-buku Karl May.

Melihat antusiasme para anggota milis rock itu terhadap buku-buku Karl May, Pandu kemudian mendatangi penerbit Pradnya Paramita, penerbit yang menerbitkan buku-buku Karl May dalam bahasa Indonesia. Namun, penerbit tersebut ternyata sudah dalam kondisi kolaps dan mereka sudah angkat tangan untuk bisa kembali menerbitkan buku-buku Karl May. Pihak Pradnya Paramita hanya bisa menyarankan kepada Pandu untuk membentuk komunitas penggemar Karl May.

”Padahal waktu itu saya hanya berniat untuk menjadi semacam konsultan gratis buat Pradnya Paramita apabila mereka mau menerbitkan buku Karl May, karena saya sudah punya kontak dengan Jerman yang punya naskah asli Karl May dalam bahasa aslinya Jerman,” papar Pandu. Akan tetapi, apa mau dikata, karena situasi yang tidak memungkinkan, Pradnya Paramita tetap tidak sanggup untuk menerbitkan buku Karl May.

Hal inilah yang kemudian mendorong Pandu untuk membentuk situs penggemar Karl May di internet yang diberi nama www.indokarlmay.com sekitar bulan September 2000. Untuk menjalin komunikasi dengan sesama penggemar Karl May, lebih kurang sebulan kemudian ia pun membuat milis di jaringan internet yang anggotanya kebanyakan juga berasal dari anggota milis penggemar musik rock klasik. Terbentuknya situs penggemar Karl May ini kemudian dianggap sebagai hari lahir Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI).

Ibarat bola salju yang menggelinding dan terus membesar, usaha Pandu membentuk komunitas Karl May itu ternyata mengundang minat penerbit KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) untuk menerbitkan buku karya Karl May. ”Saya diundang ke KPG. Untungnya saya sudah siap. Karena apa? karena waktu mempersiapkan situs, saya sudah banyak bikin riset sendiri,” ungkap Pandu.

Akhirnya, dipilihlah buku Dan Damai di Bumi untuk diterbitkan oleh KPG dari naskah asli yang berbahasa Jerman dengan penerjemah Hendarto Setiadi. Sebelumnya, buku-buku Karl May berbahasa Indonesia, termasuk 25 judul yang diterbitkan Pradnya Paramita, merupakan terjemahan dari bahasa Belanda. Alasannya, selain buku ini belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bercerita mengenai petualangan Karl May di Asia termasuk Indonesia, juga isinya sangat berkaitan dengan situasi Indonesia waktu itu yang penuh dengan gejolak dan pertikaian antarkelompok, suku, ras, maupun agama (SARA).

Tidak berhenti di situ. Terdorong untuk kembali menerbitkan buku-buku Karl May versi asli (Jerman) dan buku-buku Karl May lain yang belum pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Pandu bersama beberapa rekannya di PKMI sepakat untuk menerbitkan sendiri atas nama PKMI. Dengan modal lebih kurang Rp 27 juta hasil patungan 5 penggemar Karl May, akhirnya terbitlah buku-buku Karl May dengan bendera Pustaka Primatama, seperti serial Winnetou I-IV, Menjelajah Negeri Karl May, serial Kara Ben Nemsi. Di sinilah tonggak awal Pandu terjun ke dunia penerbitan buku.

”Saya hanya tenaga. Mereka naruh Rp 27 juta lebih. Saya akan kembalikan plus uang sebesar bunga deposito. Mereka setuju. Saya kembalikan tepat waktu, pakai bunga, selesai,” kata Pandu.

Tapi apa yang terjadi? Ternyata buku laku dan terus berkembang. Uang yang berputar hingga ratusan juta rupiah.

Persoalannya, siapa yang kemudian harus memegang. Bagaimana kalau rugi? ”Akhirnya, ya sudahlah saya pegang dulu. Ini, kan, sebuah tanggung jawab moral dan harus jalan. Jadi, tiga sampai empat tahun pertama, saya enggak bisa ke mana-mana, terjun penuh di buku. Telanjur basah. Kebetulan tahun 2003 bisnis kayu yang saya jalani juga situasinya sedang enggak baik,” tutur Pandu.

Saat ini Pustaka Primatama sudah bisa bergulir dengan baik dengan empat karyawan tetap. Selain menerbitkan buku Karl May, penerbit yang berlokasi di kawasan Bintaro, Jakarta Selatan, ini juga menerbitkan buku terjemahan lain, seperti 9/11, Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Rampokan Java. ”Sekarang saya sudah mundur. Artinya operasi sehari-hari sudah tidak ikut. Cari tempat yang lain,” kata Pandu menambahkan.

Bukan maniak

Saat ini PKMI memiliki lebih dari 800 anggota dan tersebar di beberapa kota. Berbagai acara seperti pameran, pemutaran film, dan diskusi sudah sering dilakukan di kampus-kampus hingga ke tempat-tempat seperti Teater Utan Kayu atau Bentara Budaya Jakarta.

Setelah sekian tahun tenggelam di bumi Indonesia, Karl May sedikit demi sedikit mulai dikenal kembali, bahkan mulai dikenal di kalangan remaja dan anak-anak. Hal ini tak lepas dari berbagai upaya yang dilakukan Pandu Ganesa bersama PKMI-nya.

Namun, Pandu mengelak apabila kembalinya Karl May di negeri ini semata-mata karena usahanya. ”Saya ini bukan siapa-siapa. Ketika saya mengerjakan Karl May, saya banyak dibantu oleh media mempromosikan produk itu. Saya sangat berterima kasih. Saya merasa bertanggung jawab. Saya memulai sesuatu dan sudah banyak dibantu media sehingga Karl May bisa dikenal di seluruh Indonesia. Apa balas budi saya? Ya, saya harus profesional,” ujar Pandu.

Sikap profesional ini diwujudkan dengan mempelajari dunia Karl May tidak dengan setengah-setengah. ”Ilmu per-Karl May-an saya harus tahu, setahu-tahunya. Ibarat mulai dari lahir ceprot sampai mati, saya harus tahu sebabnya dan segala macamnya,” papar Pandu.

Tanggung jawab profesional Pandu juga diwujudkan dalam bentuk ucapan terima kasih kepada media luar negeri yang selama ini membantu memberikan data dan berbagai informasi seputar Karl May. ”Mereka, kan, kolektor juga. Jadi awalnya saya kirim buku-buku Karl May terbitan Pradnya Paramita ke Jerman dan Belanda. Akibatnya, terjadilah suatu pertukaran, korespondensi. Mereka mengirim buku, kita ngasih buku kembali. Orang Belanda ke sini bawa kaus Karl May Belanda, saya bawa kaus Karl May Indonesia dan seterusnya,” papar Pandu.

Hasil dari pertukaran itu membuat PKMI memiliki ratusan buku dan ensiklopedia tentang Karl May dari beberapa bahasa dan negara. Ratusan buku berbahasa Jerman kebanyakan berasal dari klub pencinta Karl May dari Swiss dan Jerman. Ada juga buku-buku berbahasa Belanda dari klub pencinta Karl May di negeri Belanda, buku berbahasa Inggris dari klub penggemar Karl May Amerika dan Inggris, buku Karl May berbahasa Italia, hingga buku berbahasa Ceko sumbangan seseorang dari Indonesia yang tinggal di sana.

”Apabila kita mengerjakan sesuatu dengan serius dan tidak setengah-setengah, percayalah kita tidak sendiri. Dunia pasti akan mendukung,” kata Pandu yang merupakan pencinta buku-buku petualangan ini.

Bagi Pandu sendiri, kendati mengaku bukan maniak Karl May, ada satu hal yang membuatnya semakin hari semakin bersemangat mempelajari Karl May, yakni relevansinya dengan kondisi Indonesia hari ini.

”Itulah yang bikin saya semangat betul. Isu-isu soal pertentangan ras, agama, lingkungan hidup, human rights, sangat penuh berimpit-impitan di buku Karl May. Sangat cocok dengan kondisi Indonesia sekarang ini,” kata Pandu. Howgh! (Anung Wendyartaka/Litbang Kompas)

Sumber: Kompas, Senin, 7 Juli 2008

No comments: