-- Bambang K Prihandono
PESTA bola Euro 2008 telah berlalu. Spanyol menjadi champeon. Penggibol (penggila bola) di berbagai belahan bumi pun puas dengan suguhan hajatan bola itu. Kini, kita menyaksikan, bola telah menggelinding jauh ke wilayah budaya, politik, dan bisnis. Sebuah pertanyaan yang tersisa, transformasi kultural apakah yang terjadi pada sepak bola sehingga miliaran penggibol yang memiliki jarak geografis, kultural, dan politik dari Eropa juga memiliki hak dan emosi sama dengan para warga Eropa dalam menonton dan mendukung kesebelasan?
Hiperkomodifikasi sepak bola
Jikalau kita sekarang bisa menonton dan omong soal sepak bola internasional, tak ada yang lebih berjasa ketimbang media. Kapitalisme media tak hanya merepresentasikan peristiwa olahraga, tetapi mendorong pula transformasi olahraga menjadi komoditas bisnis. Jejak sejarah menunjukkan, revolusi televisi yang dimulai sejak era 1950-an telah menggeser peran radio dan pada saat sama memunculkan peluang bisnis berkat kekuatan jangkauan siaran. Televisi dan olahraga pun membangun simbiosis mutualisme untuk mengeruk keuntungan. Demikianlah, sepak bola dalam televisi mampu mengubah esensi ”peristiwa sepak bola” menjadi ”sepak bola televisi” yang meluluhlantakkan perbedaan batas negara bangsa.
Bisnis bola via media pun melesat menjadi proses ”hiperkomodifikasi” yang oleh Lash dan Urry (1987) diungkap sebagai terbentuknya ”ekonomi tanda”. Proses ekonomi yang dibentuk berkat dialektika antara produksi dan konsumsi tanda.
Lalu, apa yang dicari penonton bola? Emosi dan kenikmatan dalam permainan! Legenda pemain Jerman, Sepp Herberger, pernah menyatakan pertanyaan retorik, ”warum die Zuschauer zum Fussball gehen, als Anwort die Kurzformel gepraegt: weil sie nicht wissen, wie’s ausgeht—mengapa pergi nonton sepak bola, jawabnya pendek: karena mereka tidak tahu, bagaimana permainan sepak bola berjalan. Persis ketegangan macam itulah yang mencipta kenikmatan tiada henti. Baudrillard menggambarkan situasi tersebut sebagai atmosfer yang semakin intens untuk mencipta ruang-ruang sosio-psikis penuh kehangatan sekaligus berjarak. Sebuah proses psikologis yang mencampur impian dan imaji akan keindahan, kemenangan, dan kesenangan.
Maka, menonton bola pun semakna dengan aktivitas pelesiran, orang menemukan kenikmatan tatkala melakukan piknik. Orang datang ke stadion atau memelototi televisi di rumah dan kafe adalah pelesir. Pertandingan bola, lalu, menyediakan ruang bagi penonton untuk aktif merayakan karnaval dan mengalami liminalitas seperti dikonsepkan antropolog Victor Turner.
Kultur ”Flâneur”
Jika menonton bola sama dengan pelesir, penggibol itu suporter atau bukan? Transformasi sepak bola televisi telah mengubah relasi antara tim kesebelasan dan penonton dan mendorong beragamnya identitas penonton bola. Penonton disebut suporter bila memiliki relasi penuh emosional dengan tim.
Penonton suporter adalah pendukung fanatik yang tak goyah oleh kekalahan atau permainan buruk, dan tak silau akan kebintangan pemain. Pendek kata, apa pun yang terjadi, mereka tetaplah pendukung setia kesebelasan.
Contoh klasik tipe suporter adalah Manolo El Bombo, suporter kesebelasan Spanyol legendaris. Ke mana pun Spanyol bertanding, Manolo senantiasa hadir dengan genderangnya.
Berbeda dengan Manolo adalah Julia Perez, model, presenter, dan artis sinetron. Ketika diwawancarai stasiun televisi menjelang pertandingan Perancis lawan Italia, Julia mendukung kesebelasan Perancis karena pemainnya ganteng-ganteng. Tetapi, apa lacur, kesebelasan Perancis dilumat Italia.
Selang beberapa hari, ia pun dengan enteng mendukung kesebelasan Belanda. Nah, tipe penonton Julia Perez inilah yang sering kita temui dalam jagat konsumsi sepak bola internasional. Mereka tak pernah terikat kesebelasan. Dukungan lebih ditentukan kebintangan pemain dan permainan menawan. Maka, begitu tim jagoan kalah, tak ada beban kesedihan.
Tatkala penonton bola tak memiliki relasi intim dengan kesebelasan dan cenderung menikmati bola belaka, pada titik inilah sebuah identitas Flâneur terbangun. Flâneur adalah konsep yang dirintis Baudelaire pada pertengahan abad ke-19, dikembangkan oleh Georg Simmel dan Walter Benjamin untuk memotret kultur metropolitan, di mana orang suka berjalan-jalan mencari kenikmatan (Giulianotti, Supporters, Followers, Fans and Flâneur, 2002).
Dus, penonton bola dalam era ”ekonomi tanda” adalah pelancong yang berjalan-jalan mencari nikmat via televisi, internet, atau audiovisual. Ruang dan kewarganegaraan pun tiba-tiba mengerut garing tatkala sepak bola direpresentasikan televisi.
Segalanya tak lebih sebagai komoditas tanda yang dikonsumsi siapa pun, tanpa pandang kelas sosial, agama, gender, usia, dan etnik. Akhirnya, jika Anda nonton bola, itu adalah upaya membangun identitas diri sebagai kosmopolit yang suka akan konsumsi. Maka, nikmatilah sepak bola sepuas-puasnya!
* Bambang K Prihandono, Sosiolog Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Peneliti Institute for Football and Urban Society Studies-InFUSS, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Minggu, 6 Juli 2008
No comments:
Post a Comment