Friday, April 08, 2011

Refleksi Satu Abad Kelapa Sawit

-- Posman Sibuea

PERAYAAN yang memasang tema ”Sawit Sahabat Rakyat” itu mengingatkan kita bahwa pada usianya yang ke-100 perkebunan kelapa sawit telah membuat Indonesia menjadi penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Dalam sejarah perkembangannya, penanaman kelapa sawit di Indonesia tidak berjalan mulus. Bagi negara-negara Eropa dan Amerika Serikat yang mengembangkan tanaman kedelai sebagai sumber minyak nabati, kelapa sawit dianggap saingan berat.

Asosiasi Minyak Kedelai Amerika Serikat (ASA) membuat kampanye negatif dengan menuduh minyak sawit sebagai pemicu penyakit jantung. Minyak nabati yang kaya asam lemak jenuh ini digambarkan sebagai bom waktu yang bisa mencederai kesehatan orang yang mengonsumsinya.

Belakangan terbukti secara ilmiah bahwa banyaknya kandungan asam lemak jenuh pada minyak sawit justru membuat minyak ini lebih tahan terhadap kerusakan oksidatif dibandingkan dengan minyak sayur seperti minyak kedelai dan jagung.

Yang jadi masalah setelah 100 tahun sawit di Indonesia, peran pemerintah membantu pengembangan perkelapasawitan nasional nyaris tak ada.

Pemerintah hanya mau mendulang madu sumber daya kelapa sawit dengan memungut bea keluar dari minyak sawit mentah (MSM). Padahal, seharusnya sebagian dari bea ekspor itu dikembalikan untuk membantu para petani menanam ulang dan membangun agroindusti kelapa sawit yang berdaya saing tinggi.

Pembangunan pesat

Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet, warga Belgia, pada 1911. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K Schadt, yang menandai kelahiran perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sejak saat itu, perkebunan kelapa sawit mulai berkembang seiring dengan peningkatan permintaan minyak nabati akibat revolusi industri pada pertengahan abad ke-19. Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di pantai timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Saat itu luasnya hanya 5.123 hektar.

Indonesia untuk kali pertama mengekspor 576 ton minyak sawit pada 1919 dan mengekspor 850 ton minyak inti sawit pada 1923.

Pada masa pendudukan Belanda perkebunan kelapa sawit maju pesat sampai bisa menggeser dominasi ekspor negara Afrika waktu itu. Memasuki masa pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami penyusutan lahan hingga 16 persen dari total luas lahan yang ada. Akibatnya, produksi minyak sawit di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton pada tahun 1948-1949. Padahal, tahun 1940 Indonesia telah mengekspor 250.000 ton minyak sawit.

Pada masa pemerintahan Orde Baru pembangunan perkebunan diarahkan untuk menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan petani, dan penghela devisa negara. Pembukaan lahan baru terus didorong dan perkembangannya amat pesat, terutama perkebunan rakyat lewat program Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR-Bun).

Jika pada 1980 luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia baru mencapai 29.560 hektar—area terbatas hanya di Sumatera Utara dan Aceh—dengan tingkat produksi 721.172 ton MSM, tahun 1994 luas perkebunan sawit meningkat menjadi 1.804.150 hektar dengan produksi 4.804.600 ton MSM.

Sembilan tahun kemudian, yakni 2003, perkembangannya amat spektakuler karena sudah mencapai sekitar 3,5 juta hektar. Data tahun 2010 menunjukkan, luas perkebunan meningkat lagi mendekati 8,0 juta hektar, terdiri dari 3,1 juta hektar milik swasta, 1,2 juta hektar milik PTPN, dan 3,7 juta hektar milik rakyat. Dengan area seluas itu, Indonesia mampu memproduksi 22 juta ton MSM setiap tahun.

Tantangan

Pesatnya perkembangan industri perkelapasawitan nasional telah mengantarkan Indonesia menjadi pengekspor MSM terbesar di dunia. Komersialisasi kelapa sawit berkembang ke arah kapitalisasi perkebunan melalui ekspansi yang masif karena dipicu tingginya permintaan pasar global MSM, baik untuk keperluan produk pangan, aneka produk kosmetik, biodiesel, dan oleokimia.

Meski demikian, perlu diingat bahwa ekspansi telah mengakibatkan kerusakan hutan dan hilangnya hak hidup masyarakat sekitar hutan, hancurnya ekosistem, krisis pangan, dan berkurangnya air bersih.

Selain itu, yang paling mengenaskan adalah nasib para pekerjanya. Di sejumlah perkebunan kelapa sawit, praktik kuli kontrak kembali muncul dalam bentuk baru, yaitu buruh harian lepas.

Ada juga buruh berondolan—mengumpulkan buah sawit yang lepas dari tandannya—yang bekerja setiap hari tanpa ikatan kerja sehingga tidak mendapat jaminan sosial. Padahal, kontribusi mereka sangat besar mengefisienkan hasil panen. Dengan demikian, argumentasi ekspansi sawit untuk menyerap tenaga kerja dan mengurangi angka kemiskinan patut dipertanyakan. Inilah tantangan utama perkebunan kelapa sawit saat ini.

Hal sebaliknya dialami oleh pemilik modal. Bisnis komoditas kelapa sawit mampu mengatrol kekayaan sejumlah orang terkaya di Indonesia. Majalah Forbes edisi akhir tahun 2010 menyebutkan, total harta dari 40 orang terkaya di Indonesia meningkat dari 42 miliar dollar AS (tahun 2009) menjadi 71 miliar dollar AS (2010). Sebagian besar di antaranya adalah pemilik perkebunan sawit. Namun, kelimpahan bisnis kelapa sawit ternyata tidak serta-merta mengurangi jumlah orang miskin di Indonesia.

Meski angka kemiskinan menurun 0,82 persen pada 2010, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih besar: 31,02 juta orang atau 13,33 persen (BPS, 2010). Maka, menurunkan angka kemiskinan menjadi 7,5 persen pada 2015 sesuai dengan Tujuan Pembangunan Milenium di Indonesia sulit terealisasi.

Peringatan 100 tahun sawit patut menjadi refleksi untuk membuka mata hati kita bahwa kelapa sawit belum menjadi sahabat rakyat. Maka, ke depan kebijakan pengembangan perkebunan kelapa sawit tidak boleh sekadar pengembangan agroindustri yang berdaya saing tinggi dari hulu hingga hilir, tetapi juga mengatur ketenagakerjaannya sehingga lebih berpihak pada kesejahteraan rakyat miskin.

Posman Sibuea
, Guru Besar pada Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan Unika St Thomas Medan; Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)

Sumber: Kompas, Jumat, 8 April 2011

No comments: