-- G Magnus Finesso dan Jannes Eudes Wawa
AKHIR Maret 2011, tiga lelaki setengah baya tampak sibuk memanen beberapa ton wortel dan kol pada salah satu lahan di wilayah Kertasari, lereng Gunung Wayang, hulu Sungai Citarum, Jawa Barat. Sayuran itu ditanam secara tumpang sari oleh petani setempat pada lahan perkebunan kina yang dikelola PT Perkebunan Nusantara VIII.
Sejumlah warga mencari rumput di sekitar lahan yang masih menyisakan bekas pemangkasan pohon kina di lahan Perkebunan Kina, Kertasari, Bandung, Jawa Barat, awal Maret. Keberlangsungan lahan perkebunan warisan Priangan Stelsel ini mengambang. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Sayuran yang dipanen langsung dibeli tengkulak yang kemudian dipasarkan ke Bandung, Jakarta, dan kota-kota sekitarnya. Harga yang ditawarkan selalu fluktuatif, tetapi petani setempat tetap menekuni usaha tersebut sebagai pilihan hidup utama.
Sistem tumpang sari dalam perkebunan kina itu dilakukan atas inisiatif warga setempat sejak 1998 setelah hak guna usaha (HGU) yang dikantongi PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII habis masa berlakunya pada 31 Desember 1997. Masyarakat setempat kemudian menyerobot dan menguasai lahan perkebunan kina.
Lahan tersebut ditanami sayur-sayuran, seperti wortel, bawang daun, dan kol. Bahkan, pohon kina yang ada pun ditebang sebab dinilai mengganggu tanaman semusim tersebut.
”Sekitar 1.000 hektar (ha) lahan perkebunan kina di Kertasari sudah ditanami sayuran. Akibatnya, jumlah pohon kina pun menyusut tajam. Kondisi ini dipicu keterbatasan lahan dan sumber pendapatan sehingga mendorong warga merangsek dan menyerobot lahan milik negara,” kata Agus Derajat, Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Tarumajaya.
Kondisi itu diakui Direktur Komoditas Non Teh PTPN VIII Endang Rahmat. Hingga kini, sebagian besar areal kebun kina ludes berganti dengan kebun sayur. ”PTPN tidak mampu berbuat banyak karena pengurusan perpanjangan HGU di Badan Pertanahan Nasional sempat macet,” jelas Endang.
Data Dinas Perkebunan Jabar menyebutkan, perkebunan kina di provinsi itu tersebar di Kabupaten Bandung, Sukabumi, Cianjur, Subang, dan sisanya tersebar di Sumedang, Bogor, Garut, dan Majalengka. Namun, luas dan produksinya cenderung turun. Jika pada 2005 luas kebun kina mencapai 4.149 ha dengan produksi 820 ton, pada 2009 cuma tersisa 3.379 ha yang menghasilkan 352 ton. Sekitar 86,9 persen dikelola negara melalui PTPN VIII.
Endang menjelaskan, perkebunan kina direncanakan bakal difokuskan di Bukit Tunggul, Kecamatan Cilengkrang, Kabupaten Bandung. Areal di sana merupakan gabungan seluruh areal komoditas kina yang dikelola PTPN VIII. Lahan itu tersebar di lima kebun, masing-masing Kebun Kertamanah, Puncak Gedeh, Cikembang, Bungamelur, dan Cibitu.
”Tanaman kina memang semakin menyusut karena lemahnya daya saing. Walau begitu, kami tetap mempertahankan kina sebagai salah satu kekhasan produk kebun di Jabar,” papar Endang yang menyebutkan harga kina dunia saat ini justru sedang menanjak, yakni Rp 29.000 per kilogram bubuk kulit kina kering.
Kina di Jabar
Hingga akhir abad XX, komoditas kina (Chincona) telah melambunngkan nama Bumi Priangan ke seantero jagat. Bahkan, pada 1939 lebih dari 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia dipasok dari berbagai perkebunan di dataran tinggi Bandung. Ironis, tumbuhan ajaib pembasmi malaria itu kini kian diabaikan di tengah ragam komoditas yang lebih bernilai ekonomi.
Masuknya tumbuhan endemik dataran tinggi Amerika Selatan itu ke Indonesia tak lepas dari periode kelam agrikultur di bumi Nusantara ini saat penerapan sistem tanam paksa atau cultuur stelsel oleh perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) pada tahun 1830.
Khusus tanah di wilayah Jabar karena lebih spesifik pada komoditas perkebunan, sistemnya diatur sendiri dan dinamakan Priangan Stelsel.
Sedikit berbeda dari motif penanaman kopi dan teh yang harganya di dunia saat itu sangat tinggi, kina ditanam di Priangan pada awalnya untuk menjaga agar tumbuhan jenis itu tidak punah. Pasalnya, saat itu, kina terbukti menjadi obat yang sangat penting. Setelah permintaan dunia kedokteran meningkat dan harganya menjadi tinggi, Pemerintah Belanda melihatnya sebagai peluang bisnis.
Industri kina di Priangan yang tersebar di Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat tak lepas dari peran Franz Wilhelm Junghuhn (1809-1864) yang dikenal sebagai tokoh usaha penanaman dan industri kina di Indonesia (dahulu Hindia Belanda). Ilmuwan sekaligus pencinta alam berkebangsaan Jerman yang lahir di Mansfeld tahun 1809 itulah yang meminta pemindahan pembibitan kina dari Kebun Raya Bogor ke Pangalengan pada tahun 1855.
Haryoto Kunto, dalam ”Semerbak Bunga di Bandung Raya” (1986), menyebutkan, saat Junghuhn menangani pembibitan kina di Pangalengan, jumlah pohon kina di Pulau Jawa 167 batang. Namun, 6,5 tahun kemudian, jumlah pohon kina pun bertambah menjadi 1.359.877 batang dan 70 persen di antaranya berjenis Cinchona pahudiana.
Kendati kondisinya jauh menurun dibandingkan dengan puluhan tahun lalu, Jabar hingga kini masih menjadi produsen utama kina nasional, di samping sebagian kecil ditanam pula di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sumatera Barat.
Tanaman kina dimanfaatkan dengan terlebih dulu mengupas kulit kayunya. Kemudian diproses sesuai keperluan, mulai pil kina (penyembuh malaria), garam kina, minuman ringan, hingga kosmetik.
Puncak kejayaan kina Indonesia dialami hingga pecah Perang Dunia II. Lebih dari 90 persen kebutuhan bubuk kina dunia bersumber dari wilayah Priangan dengan volume 11.000-12.400 ton kulit kina kering per tahun.
Pascakemerdekaan (1945), jumlah perkebunan kina di Jabar menurun drastis. Penyebabnya, antara lain rusak karena perang, hubungan Indonesia dan negara pengimpor terputus sehingga ”kehilangan” pasar. Sebab lain, banyak perkebunan mengonversi kina ke tanaman lain yang dinilai lebih menguntungkan.
Seusai reformasi 1998, perkebunan kina semakin merana. Ada niat PTPN VIII untuk mempertahankan industri kina sebagai komoditas khas wilayah Jabar selain teh dan kopi. Namun, luas lahan terus menyusut dari tahun ke tahun karena dirambah warga.
Padahal, dari aspek ekologis, kina punya keunggulan. Sebagai tanaman berakar kuat, sebanyak 6.000 pohon kina yang pernah tertanam di Hulu Citarum itu mampu menjadi areal tangkapan resapan air yang mencegah banjir dan erosi. Kini, ketika memandangi hulu Sungai Citarum, tak tampak satu pun pohon kina tersisa. Semuanya gundul, rata dengan kebun sayur.
PTPN VIII sendiri dalam rencana kerja perusahaannya akan mengurangi areal kina yang kini masih sekitar 2.339 ha menjadi 1.470 ha saja. PTPN VIII juga secara simultan berencana menambah luasan areal komoditas prospektif, seperti teh dan kelapa sawit. Produksi kina pada 2011 juga hanya ditarget 96 ton bubuk kulit kina kering atau jauh menyusut dari realisasi 2010 sebanyak 178,8 ton.
Dilihat dari neraca perusahaan, pengabaian kina dianggap cukup beralasan. ”Hasil penjualan bubuk kina pada 2010 hanya Rp 5,1 miliar, atau hanya setengah persen dari total nilai penjualan seluruh komoditas PTPN VIII,” ujar Endang.
Nasib areal kebun kina di Hulu Citarum boleh jadi mewakili nasib legenda tumbuhan obat penyelamat ratusan juta nyawa umat manusia ini.... (Mukhamad Kurniawan)
Sumber: Kompas, Minggu, 24 April 2011
No comments:
Post a Comment