AJAHN Brahm dilahirkan sebagai bungsu dari dua bersaudara dari keluarga sederhana. Nama kecilnya, Peter Betts. Semasa kecil ia bercita-cita menjadi masinis, lalu berambisi menjadi astronot Inggris pertama, pemain sepak bola profesional, gitaris grup band rock, kekasih terhebat di universitas, dan lain-lain.
Ajahn Brahm (KOMPAS/LASTI KURNIA)
Ia mengenal Buddhisme pertama kali pada usia 16 tahun dari buku-buku yang ia beli dengan uang hadiah karena prestasinya di sekolah. Ia memilih wihara Theravada karena bhikku-bhikku Thai lebih banyak senyum dan terlihat bahagia.
Setelah lulus kuliah, dan kebetulan sedang putus cinta, ia memutuskan menjadi bhikku di Thailand selama satu-dua tahun. Ia menganggap itu kesempatan emas sebelum nantinya menikah, meniti karier, membina keluarga, seperti orang pada umumnya.
Tak ingin pergi
Namun, ternyata kehidupan monastik yang damai dan bersahaja membuatnya betah. Ia menemukan kejernihan dan kebahagiaan setelah sembilan tahun berada di hutan Thailand, di bawah di bawah bimbingan (alm) Ajahn Chah, master Buddhis Thai, sosok yang sangat berpengaruh dan mentor bagi satu generasi guru-guru Buddhis Dunia.
Ia pernah merasakan kebahagiaan dan kejernihan melimpah ruah dari pelepasan melalui meditasi dengan kesadaran yang sempurna. Namun, kehidupan di wihara hutan membuat dia mengalami ketersedakan spiritual karena kesukaran menyerap ajaran (Dharma).
Di negeri yang sangat asing itu, ia kerap makan ikan busuk, bergulat dengan udara panas dan lembab, menahan serangan nyamuk. Ia terus berlatih menemukan pandangan cerah yang sederhana, tanpa keriuhan, tanpa ambisi menjadi tercerahkan.
Kehidupan sebagai petapa membuat dia sangat paham bagaimana ego bekerja. Ia memahami bahwa ”menjadi” adalah kulit yang melekat bersama gelembung diri, yang menciptakan ilusi tentang identitas. Melepas juga berarti bebas dari keinginan ”menjadi”.
Sebagai bhikku ia menerima seluruh syaratnya. Suatu saat ketika berkunjung ke satu wihara baru di Singapura, ia harus mengisi buku tamu yang di dalamnya tertera besaran dana yang akan diberikan.
”Saya bingung, karena tak punya uang sepeser pun, tetapi saya tak bisa berhenti karena sudah telanjur mengisi. Jadi di bagian dana itu saya tulis saja, ’hidup saya’....” (MH)
Sumber: Kompas, Minggu, 10 April 2011
No comments:
Post a Comment