-- Mochtar Buchori
SALAH satu watak pendidikan nasional kita adalah peka terhadap setiap perjalanan politik. Setiap perjalanan politik bangsa yang cukup berarti selalu melahirkan jejak mendalam pada diri generasi muda. Jejak ini ditandai dengan lahirnya suatu angkatan.
Pada pergolakan tahun 1965, pengalaman politik yang begitu liat membekas dalam diri para pemuda sehingga melahirkan Angkatan ’66. Tokoh angkatan ini sekarang banyak menduduki tempat penting di Indonesia.
Namun, tak semua pengalaman politik bangsa yang meninggalkan jejak mendalam pada diri pemuda Indonesia berhasil mengkristalkan sebuah angkatan. Sebagai contoh, heboh politik tahun 1974—berupa demonstrasi massa mencela hegemoni Jepang di Indonesia—meninggalkan bekas yang cukup dalam. Namun, pemerintah Soeharto waktu itu berhasil mencegah demonstrasi itu melahirkan suatu angkatan politik mahasiswa baru yang dapat berkembang secara berarti.
Dalam konteks demikian, pengalaman reformasi politik yang dimulai tahun 1997-1998 juga meninggalkan bekas. Pada hemat saya, bekas atau jejak ini juga tak berkembang menjadi angkatan yang berarti dalam kehidupan politik bangsa.
Penghayatan yang kuat
Apa faktor penentu terbentuknya suatu angkatan dalam generasi muda? Pertama-tama, penghayatan cukup kuat atas nilai kultural yang membangkitkan gerakan politik di kalangan generasi tua. Dengan penghayatan semacam itu, generasi muda merasakan apa yang diinginkan generasi tua. Melalui perasaan itu, mereka otomatis menyatu dengan generasi tua tersebut. Ketika generasi tua mulai kendor dalam tuntutan politiknya, generasi muda mengambil alih tugas sejarah. Lahirlah generasi muda.
Lalu, apa yang terjadi dengan gerakan reformasi sehingga tak lahir Angkatan ’98 secara jelas? Dugaan saya, ini karena yang kita sebut gerakan reformasi yang diprakarsai generasi tua bukan suatu ekspresi utuh dari aspirasi tentang reformasi. Ketika datang sedikit peluang untuk betul- betul melakukan reformasi, generasi tua tak tahu dari dan di mana harus memulai: reformasi ekonomi, reformasi politik, atau reformasi birokrasi. Tak banyak, bahkan tak terlihat seorang pun, dari generasi tua yang dapat tegas menjawab ini.
Dampaknya, generasi muda tak merasakan bahwa generasi tua memiliki getaran kuat atau keinginan serius mereformasi diri dan bangsa ini. Padahal sebaliknya, keinginan itu sangat kuat dirasakan generasi muda, khususnya oleh (beberapa) tokoh generasi muda dari Angkatan ’98. Mereka berusaha melaksanakan cita-cita reformasi. Sayangnya, mereka yang bergabung dengan arus besar politik tak mampu memberi warna berarti, bahkan tenggelam.
Sementara itu, jumlah tokoh muda yang berusaha mewujudkan cita-cita reformasi di luar sistem itu terlalu kecil. Jumlah pengikut mereka pun demikian. Mereka lalu tampak sebagai anomali sejarah. Sebagian orang bahkan memandang usaha generasi muda semacam ini sebagai suatu usaha yang mengada-ada. Timbullah keretakan antara generasi tua dan generasi muda yang sama-sama mendaku ingin mewujudkan cita-cita reformasi.
Mungkin berguna menyampaikan kembali sebuah cerita kecil tentang percakapan almarhum Nurcholish Madjid dan Soeharto mengenai perbedaan makna reformasi. Ketika Soeharto menyatakan akan membentuk Kabinet Reformasi, Nurcholish Madjid langsung menyahut, ”Yang dimaksudkan rakyat dengan reformasi itu, ya Bapak itu.”
Kita lihat dari cerita kecil itu betapa tak bulat konsep reformasi pada tahap awal, bahkan hingga tahap akhir perkembangannya. Reformasi pun berjalan pincang, tertatih-tatih di antara konsep yang berbeda tentang reformasi. Terjadilah apa yang kita alami sekarang. Seorang teman secara sinis menyebut keadaan kita sekarang sebagai reformasi abortif.
Dalam keadaan seperti ini, cita-cita semula tentang reformasi yang didambakan pelaku-pelaku politik sejak 1994 tak tertangkap generasi-generasi muda. Maka, gagasan tentang reformasi tumbuh dalam bentuk yang kurang sempurna.
Inti pendidikan
Kembali ke pertanyaan pokok. Apa sebenarnya inti dari pendidikan untuk membina suatu kesadaran politik yang dapat diwariskan kepada atau diwarisi generasi muda?
Ada dua hal yang perlu kita pahami. Pertama, gerakan politik selalu mengarah ke perubahan sosial. Kedua, pendidikan untuk membentuk pemahaman dan kepekaan terhadap norma-norma sosial tak hanya ditentukan di sekolah, melainkan oleh seluruh kekuatan sosial-edukatif yang ada di dalam masyarakat. Keluarga, lingkungan sosial masyarakat, dan kelompok politik turut menentukan apa yang akan dipahami serta dihayati anak.
Berdasarkan pemahaman ini, apakah suatu program pendidikan akan berhasil menghidupkan kepekaan dan kesadaran anak terhadap aspirasi sosial yang dicanangkan lembaga politik sangat bergantung pada keeratan hubungan kelembagaan di antara berbagai lingkungan sosial-edukatif di dalam masyarakat.
Dalam kasus gerakan reformasi, situasi semacam ini tak ada. Maka, tak mengherankan jika gejolak batin yang mula-mula dinyatakan para pendahulu gerakan reformasi tak tertangkap, kurang dipahami, dan tak dihayati generasi lebih muda. Saya memandang: gerakan reformasi mati suri.
Dapat kita katakan, jika mau jadi lembaga pendidikan yang efektif menimbulkan pemahaman dan penghayatan terhadap norma kultural baru di dalam masyarakat, sekolah harus merupakan bagian dari jaringan kultural di dalam masyarakat. Sekolah tak bisa bekerja terisolasi dari lembaga sosial-edukatif lain.
Pada saat ini kita merasakan adanya kejenuhan masyarakat terhadap budaya korupsi yang merajalela di berbagai lembaga. Berbagai upaya telah dicoba untuk menghilangkan budaya korupsi dan menggantikannya dengan budaya kejujuran. Hasilnya tak memuaskan.
Apa yang harus kita lakukan untuk menjaga agar harapan datangnya masyarakat yang jujur dan bersih tetap hidup di dalam hati bangsa, terutama di dalam hati generasi muda? Saya tak tahu. Dengan sistem pendidikan kita sekarang dan hubungan disfungsional antara sekolah dan lembaga sosial-edukatif lain, sulit diharapkan cita-cita mulia ini akan maksimal terlaksana. Perlu ada perubahan sikap dan perubahan berpikir yang radikal di dalam diri kita semua mengenai masyarakat yang kita dambakan dan cara-cara mencapainya.
Mochtar Buchori, Pengamat Pendidikan
Sumber: Kompas, Kamis, 13 Januari 2011
1 comment:
melek politik itu harus
tapi daku aja yg S1 nda ngerti apa2 tentang politik kecuali tentang adu kepentingan
Post a Comment