-- Wicaksono Adi
BEBERAPA tahun silam, dalam satu diskusi, perupa Dadang Christanto curhat: pendorong utama dalam berseni rupa adalah kebutuhan untuk membongkar sejarah kelam kekerasan guna mengikis trauma panjang yang ia alami sejak ayahnya lenyap tanpa jejak saat huru-hara 1965. Maka hingga kini karya-karyanya takkan jauh dari tema kekerasan. Tapi anak-anaknya yang mulai tumbuh dewasa justru ketakutan ketika menyaksikan karya-karya ciptaan si bapak.
Maksud hati membongkar sejarah kelam kekerasan, tapi bisa- bisa justru menularkan trauma baru, bahkan reproduksi kekerasan baru. Dan jika hal itu berlangsung terus, maka tidak mustahil seni akan jadi agen pengganda kekerasan.
Itu perkara pelik. Akhir-akhir ini seni rupa sering hadir sebagai serpihan, fragmen dan representasi tanpa konteks, saling berkelindan, menimbun ruang, tubuh, serta pikiran. Bentuk-bentuk representasi tanpa konteks dapat menjadi reproduksi (dan pengganda kekerasan). Tempat penyusunan konteks itu mestinya ada pada pameran, buku, dan diskusi-diskusi mendalam.
Ditekuk
Tapi di katalogus, buku dan majalah, kurator-penulis lebih giat memaparkan pikirannya belaka berikut akrobat teori ini-itu yang kadang tak berkaitan dengan karya seni yang dibahas. Mereka sibuk membuat kurungan, tapi ketika kurungan itu tak cocok, maka si ayam ditekuk-tekuk dipaksa masuk ke dalamnya. Maka tak banyak yang dapat dijadikan bahan penyusunan konteks agar si anak tidak memahami karya-karya si Bapak sebagai bentuk reproduksi melainkan representasi kekerasan: si ayam menjadi pengurai rantai trauma.
Sekarang memang bukan era kritik seni sebagai hermeneutika: menebak maksud Tuhan penyabda Kitab Suci, mendedah teka-teki si pencipta karya. Kritik seni bukan kerja mutilasi di atas meja bedah, tapi kegiatan dekonstruksi guna menciptakan surplus makna di ruang tak terbatas: sebuah upacara membangkitkan mayat dari peti mati bahasa. Dalam upacara itu hermeneutika ekstrem akan meringkus kritik seni pada ruang gelap misteri karya, dan dekonstruksi dapat berujung pada omong kosong karena semua hal absah.
Agar memiliki pijakan, maka setiap diskursus harus memilih posisi. Mau tak mau ia harus membatasi dirinya sendiri, bahkan kadang perlu mengisolasi diri agar cara pandangnya mencapai kedalaman. Tapi selalu muncul simtom dan semacam rasa bersalah ketika suatu diskursus dianggap tidak nyambung dengan bahasa orang banyak. Esoterisme dipandang sebagai dosa karena kurang toleran terhadap kehendak orang lain.
Esai
Saya pernah bertanya kepada seorang teman: kenapa tak pernah menulis esai sastra? Dia jawab: belum muncul karya yang menantang. Artinya, kian sedikit karya sastra di Indonesia yang menyeretnya ke area pelik di mana ia dapat bergerak mencapai batas terjauh antara hermeneutika atau dekonstruksi. Ia sebenarnya hendak berkata bahwa tak banyak karya sastra kita yang layak dikritik.
Saya duga bahwa ia membutuhkan karya sastra esoterik karena karya semacam itu dapat membawanya ke medan penjelajahan intelektual (plus teka-teki hermeneutik) sekaligus sebagai lahan konfrontasi antara kekhususan diskursus seni dan kelaziman produksi makna bahasa umum. Tapi kenapa kian sedikit karya semacam itu? Kenapa ada ketakutan untuk menjadi esoterik?
Barangkali hasrat berlebihan untuk berbicara kepada semua orang merupakan konsekuensi dari industrialisasi sastra sebagai produksi massal. Sementara si produsen karya mengidap ilusi romantik sehingga tetap berpegang pada keyakinan terhadap keunikan dan totalitas karya genius dan tak tergantikan. Sementara industrialisasi massal membuat diskursus mengenai suatu karya dapat diproduksi oleh pembaca-konsumen dalam perluasan jejaring pembaca-konsumen yang lain. Kritik sastra dapat berlangsung dalam lingkaran- lingkaran pembaca-konsumen tertentu, di ruang akademi, kumpulan pengasuh bayi atau anak gaul berikut pendekatan yang hanya dipahami oleh para anggotanya.
Keragaman jenis media membuat semua orang dapat terlibat dengan caranya sendiri, semua bisa jadi novelis atau penyair. Semua dapat menciptakan diskursus, menulis tentang novel dan puisi lalu memublikasikannya dengan mudah. Keragaman lingkaran pembaca membuka kemungkinan untuk memproduksi kritik dalam lingkup khusus dan terbatas, tapi perluasan ruang publikasi itu membuat orang lain di luar lingkaran ikut ambil bagian dan menuntut agar diskursus khusus dan terbatas tersebut membuka diri terhadap kaidah- kaidah umum. Maka muncul kerawanan: suatu diskursus esoterik yang tak mungkin diukur dengan kaidah-kaidah umum dipaksa membongkar dirinya agar dapat dipahami semua orang. Lenyaplah isolasi yang jadi kekuatan utamanya.
Ya, lazimnya kritik seni memang bekerja di lingkaran terbatas. Dan agar menjadi tajam (hermeneutika maupun dekonstruksi) mau tak mau harus esoterik. Keumuman akan berujung pada kekaburan. Diskursus antara si Dadang dan anaknya yang membutuhkan penyerapan karya seni sebagai wahana pembebasan dari trauma tentu posisinya berbeda dengan diskursus di lingkaran spesialis seni rupa yang sangat khusus. Pada saat tertentu dua posisi tersebut dapat saling berinterferensi ketika diskursus khusus si seniman dihadirkan di gedung pameran dan publikasi yang lain.
Dan karena masing-masing diskursus bekerja secara simultan, maka mustahil membayangkan kegiatan kritik seni dengan posisi dan fungsi tunggal. Kritik seni adalah mendedah sekali-gus memproduksi makna. Dekonstruksi memungkinkan lingkup penciptaan diskursus menjadi cair dan lentur sementara hermeneutika mencegah si kritikus membuat kurungan ayam semau-maunya. Kritik seni, menurut Umberto Eco, akan selalu berurusan dengan the limits of interpretation. Itulah lingkup kerja yang paling masuk akal.
Tentu, ribut-ribut perkara krisis kritik sastra kita hari ini adalah urusan kaum spesialis: kritikus, peneliti, dan penggiat sastra. Bukan urusan ibu-ibu pengasuh bayi. Dan tak perlu jauh-jauh mencari penyebabnya sampai ke ranah filsafat dan teori ini-itu (mana yang lebih afdal: hermeneutika atau dekonstruksi). Soalnya jelas, di kalangan spesialis kian sedikit yang mau bertekun dengan esoterisme. Semua ingin jadi seleb. Itu tak hanya berlaku dalam dunia seni, tapi juga pada bidang-bidang yang lain.
Sumber: Kompas, Minggu, 16 Januari 2011
No comments:
Post a Comment