Sunday, January 30, 2011

Fotografi: Cerita Su Ai Ying

-- Ilham Khoiri

BETAPA segarnya gadis berusia belasan tahun itu. Kulit wajahnya kencang, bahkan agak merona. Rambut hitam-tebalnya dikepang dua. Senyum lebar memamerkan gigi-geliginya yang rapi.

Pameran fotografi "Memoar Orang-orang Singkawang" di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta Pusat. (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Kontras dengan kemudaan itu, ada wajah perempuan tua, mungkin berusia 70-an tahun. Kulit mukanya kendur dan keriput. Rambut menipis. Dua potret itu sama-sama merekam wajah Su Ai Ying, seorang perempuan berdarah China. Gambar pertama diambil saat dia masih gadis. Foto kedua dijepret ketika dia sudah tua.

Gadis Su masih menjadi warga negara Indonesia dan tinggal di Singkawang, kawasan pecinan di Kalimantan Barat. Tahun 1953, dia bersama banyak keluarga China lain harus hijrah ke negeri asalnya. Saat foto kedua dibuat akhir tahun 2010 lalu, perempuan itu sudah menjadi warga negara China.

Reproduksi foto lama Su Ai Ying saat gadis dan potret masa tuanya itu hasil karya John Suryaadmadja, seorang fotografer lepas (freelance). Ini salah satu karya menarik dalam pameran ”Memoar Orang-orang Singkawang” di Galeri Foto Jurnalistik Antara, Pasar Baru, Jakarta Pusat, 22-31 Januari. Pergelaran diikuti sejumlah fotografer, yakni John Suryaadmadja, Oscar Motuloh, Jay Subyakto, Yori Antar, Syaiful Boen, Enrico Soekarno, Astafarinal St. Rumah Gadang, dan Julian Sihombing. Mereka tergabung dalam Liga Merah Putih, kelompok forum fotografi nirlaba untuk kebudayaan terbuka Indonesia.

Pameran dibagi dalam dua ruangan. Satu ruangan diisi sekitar 42 foto karya John dan Syaiful saat mengunjungi warga asal Singkawang yang tinggal di pinggiran Guangdong, China, dan Hongkong, November 2010 lalu. Ruang lain dipenuhi karya semua fotografer yang membidik saat perayaan Cap Go Meh dan kehidupan warga keturunan China di Singkawang tahun 2009.

Apa menariknya pameran ini? Coba kita kembali pada kisah Su Ai Ying tadi. Dua potretnya, baik saat gadis maupun saat tua, menandai dua babak penting dalam sejarah hidupnya. Di antara dua babak itu, terbentang drama yang panjang.

Drama itu terekam dengan baik lewat foto-foto lama koleksi Su—yang juga dipajang melengkapi dua potretnya. Ada foto kapal laut yang melayarkannya dari Singkawang menuju China, foto saat dia menikah, ketika mengunjungi Beijing, juga foto kupon-kupon kebutuhan pokok di China pada masa Revolusi Kebudayaan.

Semua itu mengisahkan betapa Su menempatkan penggalan kehidupannya sebagai warga negara Indonesia di Singkawang sebagai sejarah penting. Kenangan itu disimpan baik. Begitu pula ketika dia harus pulang kembali ke China tahun 1953 karena alasan-alasan politik di negeri ini.

Kembali ke China tak serta- merta memberi dia kehidupan nyaman. China di bawah rezim komunisme Mao Zedong kala itu tengah menerapkan politik tertutup yang mencengkeram semua sendi kehidupan warga. Nasib orang-orang pelarian dari Singkawang itu juga tergantung pada negara, bahkan kebutuhan sehari-hari harus ditentukan oleh bermacam kupon.

Selaras dengan kisah Su Ai Ying, manis-pahit-getir kehidupan juga terbaca dari foto-foto warga China asal Singkawang lain yang kini menetap di China dan Hongkong. Ada Tsu Suk Fa (81 tahun), perempuan yang hidup sendiri di Lufeng. Sie Mei Cay yang masih fasih berbahasa Indonesia. Hong Nan Zong (93) yang membangun Stadion Kridasana di Singkawang dan pulang ke China tahun 1956.

Semua itu adalah narasi kecil dari pengalaman orang per orang. Namun, ketika dijejerkan bersama, terajutlah narasi besar tentang bagaimana rumitnya membangun masyarakat dari berbagai etnis. Warga China yang sudah menetap selama beberapa generasi di Singkawang terpaksa hengkang pada dekade 1950 dan 1960-an karena masalah politik.

Begitu tiba di negeri asalnya, mereka harus berjibaku lagi untuk membangun kehidupan baru, sebagian dari nol. Meski minim penjelasan (dan ini menjadi kekurangan utama pameran ini), foto-foto John Suryaadmadja dan Syaiful Boen bicara cukup kuat soal itu.

Kebhinekaan

Di ruangan lain, foto-foto perayaan Cap Go Meh dan kehidupan warga keturunan China di Singkawang menyodorkan kehidupan lebih riang. Dengan ceria, warga menikmati kebebasan menghidupkan kembali tradisi China. Berbagai bentuk seni yang berakar dari Negeri Tirai Bambu leluasa bersanding dengan tradisi etnis lain.

Singkawang yang berada di Pulau Kalimantan itu menjelma bak sebuah kota di China. Ada lampion besar yang berdiri gagah di tengah kota. Kelenteng dengan jurai atap melengkung. Konvoi para tatung berbalut busana gemerlap. Tentu saja, terpampang wajah-wajah berkulit kuning langsat dan bermata sipit yang bebas berekspresi.

Lebih dari itu, sebagian foto bisa mengabadikan spirit kebhinekaan yang membumi. Salah satunya, foto Oscar Motuloh berjudul ”Bhineka Indonesia”, tergambar ada puluhan lampion berwarna merah menyala yang tergantung di dekat kubah dan menara masjid. Indah sekali bukan?

Pameran ini menjadi penting karena bisa memotret harapan akan tumbuhnya masyarakat yang majemuk, beragam, dan toleran di Nusantara. Proses demokratisasi pasca-Reformasi 1998, terutama setelah Presiden KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, mendorong politik keterbukaan terus berjalan. Pengotakngotakan masyarakat berdasar suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA ala rezim Orde Baru sudah diterabas.

Semoga semangat kebersamaan dan saling menghargai ini tak berhenti sebagai foto kenangan, melainkan terus mengalir dalam denyut kehidupan nyata sehari-hari bangsa Indonesia.

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

No comments: