-- Ilham Khoiri
@sisogi: DOA. Hanya satu doanya. Tak bertemu siswanya saat jaga parkir.
CERITA ”Doa” karya @sisogi (nama akun milik aktor komedian Sogi Indra Dhuaja) hanya terdiri dari sembilan kata yang bersahaja. Namun, dari sekelumit informasi yang diracik secara jeli itu, kita bisa menangkap unsur-unsur drama yang menegangkan.
Cerita mungil itu, biasa disebut fiksimini, termasuk yang memperoleh penghargaan Fiksimini Award pada Gathering Nasional Fiksimini-Fantasi Digital di Kafe Pondok Penus, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Sabtu (8/1). Fiksimini adalah ruang bersama di Twitter, jejaring sosial di dunia maya, untuk menampung dan memublikasikan cerita-cerita mungil semacam itu. Sejak dibuka Maret 2010 hingga Sabtu (15/1), pesertanya (biasa disebut followers) mencapai 56.448 orang.
Setiap hari, ruang ini dipenuhi berbagai fiksimini. Disebut fiksi karena kisah itu menyuguhkan unsur-unsur cerita, seperti tokoh, karakter, alur, dan konflik. Mini, lantaran disampaikan lewat rangkaian kata-kata tak lebih dari 140 karakter.
Di luar kekuatan materi cerita, pertemuan fiksiminier (julukan bagi penggiat fiksimini) itu juga menarik. Pertukaran cerita di dunia maya ternyata menimbulkan rasa penasaran sehingga mereka merasa perlu ”kopdar” alias bertemu langsung. Setidaknya ada 150-an fiksiminier dari berbagai kota di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, yang berkumpul malam itu.
”Fiksimini akhirnya menjadi semacam taman imajinasi yang merangsang banyak orang untuk memperoleh ide-ide segar,” kata salah satu pendiri dan moderator fiksimini, Agus Noor.
Marak
Selain fiksimini, ada sejumlah ruang pertukaran cerita atau puisi di Twitter yang kian marak belakangan ini. Sebut saja, antara lain, ”anjinggombal” (rayuan gombal), ”sajak_cinta” (sajak-sajak cinta), ”soalBOWBOW” (pertanyaan-pertanyaan dasar yang dijawab secara mengejutkan), atau ”cerfet” (cerita estafet). Jumlah pesertanya kian marak.
Twitter hanya salah satu dari jaringan ruang sosial maya yang getol dimanfaatkan untuk kegiatan sastra. Sebelumnya, kegiatan sastra juga memenuhi berbagai ruang teknologi komunikasi global, seperti e-mail, Facebook, blog, Blogspot, Multiply, Wordpress, atau Friendster. Inilah pergeseran media sastra yang kian menguat di Indonesia beberapa tahun belakangan.
Dengan jaringan yang kian mudah, cepat, dan massal, dunia sastra leluasa dimasuki siapa saja. Elitisme sastra—yang dulu seolah sakral dan hanya digenggam kalangan sastrawan saja—kini kian mencair. Setiap orang bisa ikut ambil bagian, asal rajin menulis dan mengirimnya. Semuanya berlangsung secara bebas, tanpa batas, demokratis, dengan bentuk dan tema beragam.
Para pelaku sastra yang terbiasa dengan teks cetak juga masuk ke ruang ini. Salah satunya, penyair dan Redaktur majalah sastra Horison, Cecep Syamsul Hari. Sejak tahun 2007, dia membuat official website sendiri, yaitu http://cecepsyamsulhari.webs.com/. Dia memublikasikan tiga buku puisi (Efrosina, 21 Love Poems, dan Rimbun Dahan) dan sebuah novel, Soska, yang dibuat digital.
”Ini respons saya terhadap perkembangan teknologi internet dan era digitalisasi yang bisa mendukung aktivitas sastra cetak,” katanya.
Bagi sastrawan dan Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Pusat Agus R Sarjono, perkembangan ini menarik karena mendorong keberanian dan kebiasaan menulis serta berlimpahnya karya sastra.
”Kualitas karya sastra di dunia maya sangat beragam, ada yang buruk, lumayan, dan ada yang sangat baik. Itu hampir sama dengan kualitas sastra di media cetak yang kadang ada yang buruk, lumayan, dan ada yang sangat baik,” katanya.
Fenomena sastra digital ini akan meningkatkan kebiasaan menulis di kalangan masyarakat yang sudah lama diperjuangkan lewat media konvensional. Orang tidak takut lagi menulis sastra, tanpa peduli mereka sastrawan atau bukan. Karya-karya itu dibaca dan direspons secara positif.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment