Sunday, January 30, 2011

Pameran: Menggambarkan Jiwa Zaman

-- Putu Fajar Arcana

RUMUSAN tentang kecenderungan karya seni dalam periode tertentu bisa terjadi melewati dua hal. Bisa saja rumusan-rumusan itu berupa narasi yang dirancang sebagai strategi membaca zaman atau sebaliknya kecenderungan yang dirumuskan kemudian setelah karya-karya terlahir.

Pengunjung menyaksikan lukisan berjudul "Merapi" karya Rustamadji dalam pameran seni lukis Indonesia periode 1940-1960 di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (28/1). (KOMPAS/PRIYOMBODO)

Meski tidak berasal dari karya-karya terbaik para pelukisnya, pameran ”Koleksi Bentara Budaya Seni Lukis Indonesia Periode 1940-1960” setidaknya ingin menangkap semangat zaman itu. Pameran yang berlangsung 20-30 Januari 2011 itu menampilkan 42 karya yang dikerjakan oleh para pelukis, seperti Affandi, Agus Djaja, Basuki Abdullah, Basuki Resobowo, Rustamadji, Barli, Dullah, Hendra Gunawan, S Soedjojono, Sudarso, serta beberapa pelukis lainnya.

Sebagian dari para pelukis ini berasal dari perkumpulan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) yang dicetuskan oleh S Soedjojono tahun 1937. Kelahiran Persagi inilah yang sampai sekarang dianggap sebagai momentum kelahiran seni lukis Indonesia modern, meskipun pendapat lain bersikukuh menganggap kelahiran Raden Saleh (1807-1880) lebih tepat dipakai sebagai pedoman untuk melihat bentangan seni lukis modern Indonesia.

Namun, satu hal yang terus-menerus dipegang sebagai acuan, kelahiran Persagi menandai perubahan cara pandang para seniman terhadap realitas. Kurator Bentara Budaya, Ipong Purnama Sidhi, mengutip S Soedjojono begini, ”Siapa pelopor seni lukis Indonesia? Saya jawab tegas, tak ada seorang pelukis yang dianggap sebagai perintis seni lukis Indonesia yang menggambarkan pahlawannya ditahan oleh musuh. Lagi pula sosok pahlawan yang digambarkan dengan cara anatomi yang pendek, dengan cara yang jelek.”

Kutipan itu jelas membersitkan betapa jiwa Persagi selaras dengan menggelegaknya semangat nasionalisme yang ingin melihat kenyataan berpihak kepada anak-anak negeri. Ipong bahkan melihat periode ini penuh dengan dinamika, hiruk-pikuk, dan para pelukis ingin mengungkapkan pengalaman hidup manusia secara apa adanya.

Romantisme

Periode sebelumnya, yang sampai sekarang kita belum berhasil menyusun gambaran yang lebih utuh, seni lukis Tanah Air diisi gambar-gambar naturalistis yang memandang realitas secara romantik. Raden Saleh, meski tidak lagi melukis pemandangan (ia banyak melukis potret), tetap dimasukkan sebagai seniman yang banyak dipengaruhi romantisme di dalam mengekspresikan karya-karyanya.

Kehadiran S Soedjono, Affandi, Hendra Gunawan, dan Basuki Abdullah, seolah melenyapkan seluruh kecenderungan membaca realitas sebelumnya. Kalau toh menggambar lanskap, Soedjojono meletakkan gambar-gambarnya sebagai realitas yang keras. Itu misalnya terdapat pada karyanya ”Bukit Gersang”.

Sementara Hendra Gunawan mengangkat kehidupan rakyat jelata sebagai hal yang karikatural. Misalnya terlihat pada karya yang berjudul ”Bakul Wayang” atau ”Topeng”. Affandi bahkan lebih ekstrem dalam berhadapan dengan realitas dan kanvasnya. Ia tidak saja memiliki cara ”unik” dengan pelototan-pelototan cat langsung dari tube yang kemudian disapu dengan jari-jarinya, tetapi juga memandang realitas sebagai hal yang penuh kekerasan.

Bahkan, ketika ia melukis ”Potret Diri” tampak benar bagaimana ia memandang dan kemudian menerjemahkan wajahnya sendiri ke atas kanvas. Goresan-goresan tangannya penuh tenaga dan sangat ekspresif. Berbeda sekali dengan Raden Saleh ketika menggambar potret para penguasa kolonial yang penuh dengan wibawa dan jumawa dengan tanda kepangkatan itu.

Pameran ini boleh dikata telah mencoba mengabarkan kepada kita bahwa kelahiran sebuah kesenian hampir selalu menjadi tanda dari semangat zamannya. Seni lukis tak sekadar kanvas yang digantung, tetapi juga menjadi artefak untuk membaca kecenderungan cara berpikir manusia pada suatu periode tertentu. Di situlah pameran koleksi ini menemukan pemaknaannya...

Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011

No comments: