Judul Buku: The White Masai
Penulis: Corrine Hofmann
Penerjemah: Lulu Fitri Rahman
Penerbit: Alvabet
Cetakan: I, November 2010
Tebal: 477 Halaman
INILAH kekutan cinta. Ia tak perduli jarak ribuan kilo yang harus dilalui tetap ditempuh. Ia mampu mengubah situasi pilu menjelma menjadi sebuah lagu merdu atau buku. Ia membuat manusia bak terpengaruh candu, apapun yang terjadi ngotot agar mendapatkan yang diinginkan. Sehingga tidak mengherankan jika para pujangga bersabda bahwa cinta membuat manusia buta. Cinta memang bisa membuat airmata terurai atau dunia menjadi indah, tapi tak jarang pula mencipta sejarah menjadi banjir darah bila dipahami dengan cara yang salah.
Itulah kesan yang didapatkan sekaligus perasaan apresiatif atas buku The White Masai. Kisah karya Corrine Hofmann, penulis kelahiran Swiss, ini menceritakan pengalamannya ketika melancong ke benua Afrika tepatnya Kenya, sebuah negara yang ternyata ditakdirkan menjadi bagian dalam hidupnya. Tak disangka ia jatuh cinta pada pandangan pertama terhadap Lketinga, seorang lelaki pedalaman prajurit suku Masai.
Ketika perempuan lain yang sebaya dengannya di Eropa berburu pria-pria berdompet tebal berwajah tampan dan berkulit putih, ia lebih memilih memperjuangkan dan mempertahankan cintanya tersebut. Keterbatasan bahasa, keterasingan budaya, dan perbedaan pendidikan dihadapinya dengan tegar. Ia bahkan rela menghuni Manyatta, sebuah gubuk kecil tempat Lketinga dan suku Masai bertempat tinggal di belantara semak.
Entah kekuatan apa yang merasukinya hingga ia mampu meninggalkan kekasih Eropa-nya, usahanya di Swiss yang tengah menanjak bahkan seluruh propertinya dilelang, keluarga dan teman-temannya yang sejenis, sebangsa dan setanah air. Ia sendiri tidak tahu jawabannya, bahkan untuk dirinya sendiri. Ia tidak tahu keajaiban misterius apa yang ada pada lelaki Masai itu hingga mampu menjungkirbalikan tatanan hidupnya juga cara berpikirnya, seluruh dunianya seolah terpusat pada sosok tinggi hitam itu.
Bukan hanya jomplangnya peradaban yang harus dihadapi Corrine untuk merengkuh kebahagiaan cinta. Ia juga berhadapan dengan sistem birokrasi Kenya yang berbelit. Berulangkali masalah ini menjadi kendala yang hanya bisa diatasi dengan suapan, khas negara miskin dan berkembang, seperti di Indonesia barangkali. Bukan karena peraturannya yang rumit tetapi aparatnya yang sengaja mencari uang dengan menjual kebingungan masyarakat, apalagi Corrine berkulit putih yang identik tajir.
Berkat kegigihannya, Corrine akhirnya berhasil bersanding dengan pria idamannya. Namun lagi-lagi perbedaan kultur membuatnya shock. Betapa tidak, mimpi untuk selalu bersama dengan Lketinga termasuk dalam hal makan layaknya dalam sebuah rumah tangga sirna. Hal ini disebabkan dalam tradisi Masai, istri tinggal bersama anak-anak, sementara suami berkumpul dengan pria lain yang berstatus sama, prajurit, setidaknya dengan salah satu yang harus menemaninya makan. Tidak ada prajurit Masai yang makan apa pun yang telah disentuh atau bahkan dipandangi perempuan. Mereka tidak diizinkan makan di depan perempuan, termasuk isterinya, kecuali hanya minum teh.
Deraan cobaan seakan tak pernah habis menghampiri bahkan menghantam nyaris membuat karam rumah tangga Corrine justru ketika kehidupannya di Barsaloi, perkampungan tempat Corrine tinggal, menunjukkan tanda-tanda perbaikan baik secara finansial maupun dengan kelahiran Napirai, anak semata wayang buah cinta mereka. Penyebabnya adalah sikap Lketinga yang sering menunjukkan ketidakpercayaan terhadap Corrine, bahkan tanpa sebab yang jelas ia sering marah-marah yang belakangan baru diketahui disebabkan suatu hal.
Membaca The White Masai ibarat membaca perpaduan antara kisah cinta romantis yang tragis, kisah petualangan yang begitu memikat, sekaligus hasil pengamatan seorang antropolog sosial yang sangat cermat dan menjiwai. Buku ini merupakan cerita wajib baca bagi para penggemar kisah petualangan, travel writing, dan kisah percintaan. Selain itu, penulisnya seolah hendak mengajarkan kepada kita tentang cinta seorang wanita, yang tak bersyarat dan mengenal warna (ras).
Buku setebal empat ratus tujuh puluh tujuh halaman ini telah mendapat apresiasi luas dari pembaca. Terbukti buku ini telah terjual sebanyak empat juta ekspemplar lebih. Hal ini juga menempatkan Hofmann sebagai salah satu penulis papan atas dunia mengingat buku-buku berikutnya seperti Zuruck aus Afrika (kembali dari Afrika), yang terbit di Jerman juga menjadi best seller internasional, demikian pula dengan buku Wiedersehen in Barsaloi (Reuni di Barsaloi).
Kuat dugaan bahwa cerita yang dibangun dalam buku ini merupakan berdasarkan kisah nyata yang dialami penulisnya secara langsung. Mengingat di dalamnya terdapat beberapa foto yang membuktikan eksistensi karakter-karakter yang terdapat di dalam buku ini, terlebih nama yang digunakan identik dengan nama asli si penulis “Corinne”, dan hal ini diperkuat pula oleh catatan biografi penulisnya.
Alur cerita yang mengalir dan gaya bahasa yang sederhana membuat buku ini enak dibaca, sehingga emosi yang dialami tokoh di dalamnya dapat nyambung dengan pembaca. Membaca buku ini tidak akan membuat kita berkerut kening, namun meresapi dengan penuh pengalaman si penulis mengingat penuturan yang digunakan menggunakan kata “aku”. Hingga tidak heran suatu saat kita ikut trenyuh terharu dengan kisah hidupnya, di saat lain tersenyum seolah ikut menyaksikan peristiwa-peristiwa mengundang tawa yang disaksikan si penutur.
Noval Maliki, penggiat Demi Buku Institute, Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 16 Januari 2011
No comments:
Post a Comment