PAK Guru Jamaluddin menatap langit yang mendung dengan wajah cemas. Ketika hujan mulai merintik, dia masuk ke kelas VI dan berkata, ”Anak-anak yang rumahnya di dalam (hutan) lekas pulang.” Budi Suwarna
Desi (12) yang sedang asyik belajar Matematika dengan alat peraga kartu remi segera mengemasi buku. Sejurus kemudian, dia dan lima murid lainnya dari kelas berbeda setengah berlari pulang menuju dusunnya, Tatibajo, yang berada di tengah hutan.
Setiap hujan turun, hampir semua orang di Sekolah Dasar 27 Tatibajo di Dusun Manyamba, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat, menjadi cemas. Betapa tidak, limpahan air hujan membuat Sungai Manyamba meluap. Saat itulah jalan setapak di sisi sungai sebagian tenggelam. Padahal, itu adalah jalan pergi-pulang satu-satunya bagi sebagian murid yang tinggal di Dusun Tatibajo di tengah hutan.
”Kalau sungai meluap, saya tidak bisa pulang. Jalan setapak tidak kelihatan lagi,” ujar Salim (10), murid kelas IV asal Dusun Tatibajo, yang hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki selama 1-2 jam dari sekolahnya di Manyamba.
Pada musim hujan, kelas pun berubah menjadi sepi. Pasalnya, sebagian besar murid yang tinggal di permukiman di tengah hutan tidak berani datang ke sekolah. Tidak heran angka membolos sekolah pun menjulang tinggi. Pada Kamis (20/1) siang hanya enam dari 13 murid kelas IV yang masuk sekolah. Di kelas VI hanya lima dari 13 siswa yang datang.
”Setahun, rata-rata ketidakhadiran siswa 30 persen. Sebenarnya, seminggu saja tidak masuk tanpa kabar, siswa bisa kami berhentikan. Tapi, kalau aturan itu dipakai, bisa habis murid saya,” ujar Jamaluddin.
Musim hujan juga merepotkan para guru yang tinggal jauh dari sekolah. Jamaluddin yang menjabat Kepala SD 27 menceritakan, setiap hari dia harus melalui jalan tanah berbatu menuju sekolah sejauh 6 kilometer dari rumahnya di daerah pantai. Jalan itu diapit tebing yang mudah longsor dan sungai yang airnya mudah meluap. Jika jalan tenggelam, dia tidak bisa ke sekolah.
Pada musim hujan, jalan menuju tempatnya mengajar menjadi sangat licin. Sebagian bahkan jadi aliran sungai. Batu-batu besar setiap saat menggelinding dari atas bukit. ”Saya jatuh beberapa kali dari motor ketika berangkat kerja. Sekarang saya memilih memarkir motor di pinggir tebing, kemudian saya jalan kaki ke sekolah,” katanya.
Jamaluddin juga pernah tidak bisa pulang ke rumah karena jalan yang biasa dia lalui tersapu banjir. ”Terpaksa saya menginap di rumah warga Dusun Manyamba.”
Kisah seperti itu juga dialami guru-guru lain yang bertugas di daerah-daerah terpencil di Battutala, Passau, dan Lombang. Untunglah, sekarang ada para pengajar muda dari Gerakan Indonesia Mengajar (GIM) yang umumnya tinggal di dekat sekolah. Jika bapak/ibu guru berhalangan hadir, mereka siap menggantikannya.
”Saya pernah jadi satu-satunya guru yang datang ke sekolah. Terpaksa saya mengajar kelas I sampai kelas VI sekaligus,” ujar Soleh Ahmad Nugraha, pengajar muda GIM yang bertugas di SD 25 Lombang, Malunda, Majene.
Murid bisa habis
Alam hanya satu faktor. Ada faktor lain yang membuat murid SD di sana sering membolos, yakni kebiasaan tinggal di ladang ketika panen. Yani, guru SD 25 Passau, mengatakan, warga Passau, misalnya, umumnya memiliki ladang di tengah hutan yang jauh dari dusun. Bahkan, sebagian punya ladang di kabupaten lain, seperti Kabupaten Tolitoli, Sulawesi Tengah, yang ditempuh dalam perjalanan dua hari dua malam dengan kapal laut.
Ketika musim panen atau pembukaan ladang baru tiba, mereka membawa anak-anaknya tinggal di ladang. ”Kalau sudah begitu, mereka bisa bolos dua bulan,” ujar Yani.
Tahun lalu, ujar Yani, ada enam muridnya yang ”menghilang” karena ikut orangtuanya panen cengkeh di Tolitoli.
Yani juga pernah mengalami hal itu ketika duduk di bangku SD. Orangtuanya mengajak Yani tinggal di Tolitoli selama musim panen cengkeh. Di sana Yani tinggal enam bulan. Selama itu dia bolos sekolah.
Bagaimana jadinya dengan proses belajar-mengajar? Pastinya putus-nyambung. ”Tidak heran jika kami masih sering menjumpai murid yang belum lancar membaca meski telah duduk di kelas V,” kata Agung Firmansyah, pengajar muda GIM di SD 27 Tatibajo.
”Mereka juga belum menguasai bahasa Indonesia dengan baik. Akibatnya, proses belajar-mengajar sering enggak nyambung. Saya tanya, sebutkan rumah-rumah adat di Indonesia? Mereka jawab, ’rumah harus rapi dan bersih’. Pusing, kan?” kata Erwin Puspaningtyas Irjayanti, pengajar muda GIM di SD 25 Passau.
Dengan situasi seperti itu, pihak sekolah hanya berani menetapkan angka standar kelulusan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN) rata-rata 2-2,5, atau hanya dua poin lebih besar dari nol!
Begitulah wajah pendidikan dasar di Majene yang bisa jadi mencerminkan situasi pendidikan di daerah terpencil lain di Tanah Air. Barangkali, tidak semua problem itu diketahui para pejabat pemerintah yang beberapa tahun terakhir terlalu sibuk mengotak-atik formula ujian nasional.
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011
No comments:
Post a Comment