Sunday, January 09, 2011

Gesticulation, Ihwal Merangkai

-- Wayan Kun Adnyana

KETIKA sebagian besar generasi perupa Bali pulang kampung setelah menamatkan studi di ISI Yogyakarta, Putu Sutawijaya malah memilih menetap. Sementara saat eksplorasi seni patung dan karya obyek perupa kontemporer kita begitu banyak terpikat langgam seni patung China yang halus, Putu berkelindan dengan barang rongsok dan pelat logam penuh karat.

Pameran "G e s t i c u l a t i o n" Putu Sutawijaya. (EMA SUKARELAWANTO)

Begitu juga selagi karya-karya seni lukisnya diburu, perupa yang merintis pendirian Sangkring Art Space di Yogyakarta ini malah memamerkan secara khusus karya-karya tiga dimensi dalam pameran bertajuk ”Gesticulation”, 28 Desember 2010-10 Januari 2011 di Bentara Budaya Bali. Boleh dikata, pameran ini seri kedua dari pameran sebelumnya yang bertajuk sama di Bentara Budaya Jakarta beberapa bulan lalu.

Diakui atau tidak, kesadaran untuk berjarak dari kutub kemapanan tertentu sepertinya menjadi pendulum keseimbangan kreatif seorang Putu. Bahkan, dalam membeli barang rongsok pun, Putu mengaku menyamar bak seorang pengepul barang rongsok dengan kopiah madura bersepeda ontel; dari perupa populer menjadi sosok anonim. Apakah keberjarakan itu dilakoni begitu saja tanpa tendensi berteori? Atau malah ada garis denom manusia Bali soal kerangka laku tersebut?

Berjarak

Berjarak tentu saja bertaut dengan hal-hal yang bersifat rekognisi. Di dalamnya mengandung pengertian-pengertian tentang kecakapan menyerap, identifikasi, pemetaan, sekaligus pemertanyaan. Dalam tradisi kosmografi di Bali, konsep tentang keberjarakan menempati posisi penting. Istilah: panelokan (melihat), paninjoan (memandang), apaneleng (sejauh mata memandang), apanimpug (sejauh lemparan tangan), dan lain sebagainya mengidentifikasi hal-hal berkait dengan jarak pandang, ruang jeda, dan juga batas limit.

Sebagai catatan, sekiranya penting menyodorkan bahwa ”berjarak” oleh tradisi tetua Bali sesungguhnya ikhtiar untuk memahami sesuatu, bukan menafikan sesuatu. Tentu saya tidak sepenuhnya berkehendak mengatakan logika berjarak dari kutub kemapanan tertentu yang dilakukan Putu total berkorelasi dengan tradisi kosmografis tadi. Tetapi, tidak dapat disangkal pula bahwa ada genom kecerdasan seperti itu yang tertanam di bawah sadar seorang Putu.

Akhirnya memang Putu menemukan dimensi-dimensi lain dari langkah mengambil jarak itu. Karya tiga dimensi bersubyek sosok-sosok manusia dengan gestur: bergerak, beranjak, lari, lompat, dan lain-lain yang dapat disimplifikasi menjadi representasi atas keberjarakan adalah bukti betapa ”berjarak” telah merasuk menjadi penalaran estetika. Penalaran yang bermuara pada ihwal ”merangkai”; menyusun-sambung entitas persepsi dan juga keyakinan-keyakinan.

Sekali lagi seperti terlihat dalam karya tiga dimensi, Putu mengeksplorasi kutub-kutub paling comberan dari pelat besi. Dia mengangkat kasta besi bekas dan benda-benda rongsok menjadi media ungkap tematis; ihwal gestural tubuh. Ia merangkai elemen pelat yang berkarat dengan temali kawat. Ia mengelas bilah-bilah besi yang masif dengan lentur pelat bersubyek manusia penuh gerak. Media pelat dan benda rongsok diposisikan tidak sebagai medium yang akan menghilang oleh gagasan, sebaliknya karakter pelat dan besi bekas dihargai sebagai citra seni rupa itu sendiri. Proses ”merangkai” yang saya anggap merupakan muara dari perilaku berjarak boleh juga diyakini sebagai sintesis atas proses panjang identifikasi dan penemuan jawaban-jawaban.

Merespons dan menguatkan

Sesi pembukaan pameran menghadirkan perupa Nyoman Erawan sebagai tokoh yang didaulat untuk membuka. Erawan berdiri di depan, tiba-tiba menyatakan diri tidak cakap berpidato. Kontan mengundang tanya para tetamu. Apa gerangan yang akan dilakukan perupa plontos yang sarat penghargaan seni rupa ini? Tidak dinyana, awalnya ia berdialog dengan Putu, tiba-tiba berjalan sambil meracau sendirian. Kata-kata yang di awal sangat benderang sebagai kalimat percakapan, pelan-pelan menghilang, tinggal buraian kata-kata tanpa pernah kita bisa mengerti arti dan maksudnya. Semua bahasa igauan. Erawan seperti memasuki kenduri bunyi yang penuh desah.

Erawan berjalan menuju sebuah karya Putu bersubyek sosok manusia melayang meniti bilah besi bergerigi. Pada gilirannya karya itu diraba dengan perangkat audio akustik yang menempel di kaus tangan Erawan. Ketika diraba, dicubit, digesek, disentuh tiap lekuk tubuh benda logam itu berbunyi. Rabaan, cubitan yang menimbulkan bebunyian menyayat, terkadang seperti meraung pedih. Mulut Erawan pun tak henti-henti meraung-raung sahut-menyahut. Cukup lama meliuk-liuk, bergumul dengan rangkaian kawat dan pelat logam, berpesta dengan bebunyian yang menyayat, tiba-tiba Erawan beranjak dalam sepi, mulut menganga tanpa bunyi, berjalan pelan menuju pintu ruang pamer. Pameran pun dibuka.

Dalam merespons karya Putu, Erawan mengambil jalan untuk menguatkan keberadaan karya-karya bermedia pelat dan besi rongsok itu dari sosoknya yang bisu tanpa bunyi untuk berbunyi. Sosok subyek pada karya Putu yang seakan bergerak dan beranjak menuju kebebasan gestural murni sangat korelatif dengan penafsiran Erawan lewat penjalinan kode-kode akustik yang dimuarakan oleh aksi tubuh dalam merespons subyek karya tiga dimensi itu.

Hadirnya seseorang yang dianggap tokoh dalam membuka sebuah pameran memang seharusnya mampu menguatkan sekaligus mengungkap sisi otentik dari karya seni rupa yang dipamerkan. Sudah saatnya pula mentradisikan gaya pidato yang murni dari diri, bukan kosmetika citra yang akhirnya akan terlupakan.

Wayan Kun Adnyana, Penulis Seni Rupa, Tinggal di Denpasar

Sumber: Kompas, Minggu, 9 Januari 2011

No comments: