-- Rijal Firdaos
DI tengah kegelisahan masyarakat terhadap bangsa yang sedang (sakit) ini, tentunya selalu ada jawaban positif, dalam upaya meminimalisasi setiap persoalan yang muncul. Kritikan kelompok tokoh lintas agama terhadap kinerja pemerintahan, misalanya, sejatinya harus dipahami secara proporsional sebagai langkah perbaikan (islah) bagi kemaslahatan rakyat secara menyeluruh. Bukan ditanggapi secara frontal hingga membuat perpecahan.
Tindakan negatif yang terus bergulir menimpa negeri ini, pada dasarnya sangat bisa diatasi, jika setiap pribadi/individu, mampu menjadikan dirinya sebagai subjek perubahan ke arah yang lebih baik. Sebab, fitrah manusia secara hakiki, sangat cenderung menyukai pada hal-hal positif. Seperti; penyayang, sabar, ulet, bertanggung jawab, punya rasa malu, bertindak adil, dsb. Akan tetapi, kriteria positif tersebut mendadak berubah negatif, lantaran terkontaminasi oleh iklim lingkungan, yang konon bisa memengaruhi 60% lebih terhadap perubahan dirinya.
Adalah pendidikan karakter, sebagai obat mujarab dalam mengatasi sejuta penyakit yang menggejala akibat pemahaman dan pendidikan moral yang sangat rendah. Menggejalanya penyakit tersebut ternyata telah berimplikasi negatif kepada laju roda pemerintahanan, yang kini sedang dilanda badai kritik dari setiap lini.
Kasus maraknya korupsi dan mafia hukum menjadi bukti autentik telah hilangnya pendidikan karakter yang ada dalam diri pelakunya. Mereka mengabaikan nilai-nilai tinggi yang sudah jelas telah melanggar hukum kodrati (agama) dan hukum positif. Padahal, setiap warga negara Indonesia, secara mayoritas, telah mengenyam pendidikan dasar minimal sembilan tahun, yang di dalamnya terdapat pendidikan agama dan pendidikan moral. Lantas, di manakah nilai mulia itu sesungguhnya? Atau, ke manakah muara arah sistem pendidikan kita yang selama ini berjalan?
Berdasar Undang-Undang Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 Bab I, bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pernyataan undang-undang di atas merupakan satu kunci bagaimana seharusnya sistem pendidikan kita mampu melahirkan peserta didik yang tidak saja berkompeten dalam bidang ilmu dan teknologi, juga tetap mengacu pada pentingnya keimanan dan ketakwaan, yang mencakup spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, dan akhlak mulia, sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Namun tak bisa disangkal, inilah praktek sistem pendidikan kita, yang selama ini belum mengalami perubahan signifikan, bagi terciptanya proses pembelajaran yang relevan, yakni tuntutan ke arah pendidikan berbasis moral, sehingga menjadikan pendidikan kita secara benar, memberikan pengaruh positif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara?
Mengenai kebenaran hal tersebut di atas, Ali Ibrahim Akbar (2009), menyatakan praktek pendidikan di Indonesia cenderung lebih berorientasi pada pendidikan berbasis hard skill (keterampilan teknis) yang lebih bersifat mengembangkan intelligence quotient (IQ), tapi kurang mengembangkan kemampuan soft skill yang tertuang dalam emotional intelligence (EQ), dan spiritual intelligence (SQ). Pembelajaran di berbagai sekolah bahkan perguruan tinggi lebih menekankan pada perolehan nilai hasil ulangan, maupun nilai ujian. Banyak guru yang memiliki persepsi bahwa peserta didik yang memiliki kompetensi yang baik adalah memiliki nilai hasil ulangan/ujian yang tinggi.
Sementara itu, menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya membentuk pribadi anak supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Oleh sebab itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Sebab, secara teoritik, karakter dikembangkan melalui tiga tahap, yaitu pengetahuan (knowing), pelaksanaan (acting), dan kebiasaan (habit). Karakter tidak terbatas pada pengetahuan saja. Seseorang yang memiliki pengetahuan kebaikan, belum tentu mampu bertindak sesuai dengan pengetahuannya, jika tidak terlatih (menjadi kebiasaan) untuk melakukan kebaikan tersebut.
Karakter juga menjangkau wilayah emosi dan kebiasaan diri. Dengan demikian diperlukan tiga komponen karakter yang baik (components of good character) yaitu moral knowing (pengetahuan tentang moral), moral feeling atau perasaan (penguatan emosi) tentang moral, dan moral action atau perbuatan bermoral. Hal ini diperlukan agar peserta didik, dan atau warga sekolah lain yang terlibat dalam sistem pendidikan tersebut sekaligus dapat memahami, merasakan, menghayati, dan mengamalkan (mengerjakan) nilai-nilai kebajikan (moral).
Sebagai obat mujarab dalam mengatasi setiap problematika, pendidikan karakter harus dijadikan sebagai panduan suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah, yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, serta tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Karena, individu yang berkarakter baik, adalah seseorang yang berusaha melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan YME, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara, serta dunia internasional pada umumnya, dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya, disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya. Bukan pribadi yang mudah tergiur dengan kenikmatan sesaat. Wallahualam.
Rijal Firdaos, Dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Raden Intan, Lampung, Mahasiswa S-3 UNJ
Sumber: Lampung Post, Rabu, 26 Januari 2011
No comments:
Post a Comment