DALAM salah satu penerbitan majalah Kisah yang dieditori HB Jassin, tahun 1950-an, terceritalah ada seorang editor kenamaan yang pekerjaannya menyeleksi karangan untuk majalahnya. Pada suatu siang, editor ini makan di kantin, dan kebetulan di sana ada temannya. Maka perbualan pun dimulai.
Melengkapi kegiatan Temu Sastra Indonesia III/2010 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, panitia menggelar bengkel sastra penulisan cerpen dan puisi bagi siswa SMP dan SMA Tanjung Pinang. (KOMPAS/KENEDI NURHAN)
”Apa kegiatanmu hari ini?” tanya temannya.
Dengan gaya sembarangan editor ini menjawab, ”Biasalah, menolak karangan.”
Lalu, dalam kolom kisah nyata itu, diceritakan pula bahwa sang editor setiap hari dengan malas membaca-baca semua naskah yang masuk. Dia sangat gembira manakala bisa melemparkan karangan-karangan itu ke tempat sampah. Sebab, itulah kerja dia, sebagaimana yang ia ungkapkan sendiri bahwa pekerjaannya hanyalah ”menolak karangan”.
Tapi, inilah keajaiban sang editor. Tampaknya ia memilih penulis-penulis yang tabah dan tidak pernah menyerah. Begitu banyak penulis yang karangannya ditolah jadi putus asa, dan karena itu tidak mau lagi mengirim karangannya ke majalah ia editori.
Namun, ada juga penulis bermuka badak. Sekali karangannya ditolah dia akan mengirim karangan baru. Terus-menerus! Sampai akhirnya sang editor yang juga adalah seorang kritikus sastra itu jemu. Setelah editor ini jemu, maka setiap kali penulis bermuka badak ini mengirim karangannya pasti dimuat. Bahkan, karangan-karangan yang dulu pernak ditolak pun, kalau dikirim kembali, otomatis akan dimuat.
Saat mengisahkan lelucon yang berangkat dari kisah nyata di majalah Kisah ini, sastrawan Budi Darma tidak sedang melucu. Lewat nukilan kisah nyata tersebut, Budi Darma ingin menggambarkan betapa hebat peran kritikus sastra terhadap ”nasib” sastrawan. Terlebih bila kritikus bersangkutan jadi semacam ”penjaga gawang” suatu media penerbitan.
”Nama sastrawan bisa jatuh karena ulah kritikus, sastrawan bisa naik wibawanya juga karena sikap kritikus. Sastrawan besar bisa pula merasa tidak besar sebelum kritikus menasbihkannya sebagai sastrawan besar,” kata Budi Darma, yang juga adalah guru besar sastra Universitas Negeri Surabaya, mengutip cerpen Isaac Bahhevis Singer mengenai relasi kritikus sastra dan sastrawan.
Akademis vs nonakademis
Meski zaman sudah berubah dan karya-karya terus mengalir, sementara pada saat bersamaan banyak pengarang yang berperan ganda (sastrawan yang merangkap ”kritikus”), rupanya kehadiran kritikus sejati masih diperlukan. Tanpa itu kehidupan sastra Indonesia diyakini berjalan timpang. Tidak sehat!
Hanya saja, meminjam narasi rumusan terkait tema seminar Temu Sastrawan Indonesia (TSI) III/2010 di Tanjung Pinang, tentu saja kritik sastra yang dibutuhkan itu bukan sebagai juru kampanye bagi si pengarang melainkan sebagai lawan tanding baginya dan karyanya. Sebuah kritik yang mampu membicarakan semua fenomena yang melingkupi keberadaan sastra Indonesia mutakhir.
”Syarat minimal yang harus dipenuhi agar sebuah pembahasan dapat disebut kritik sastra mesti ada elaborasi yang menjelaskan mengapa penulisnya sampai pada penilaian tertentu,” kata Katrin Bandel, pengamat sastra Indonesia asal Jerman, yang saat ini tercatat sebagai pengajar di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Artinya, agar sebuah tulisan layak disebut kritik sastra, maka ia tidak boleh berhenti pada asumsi. Ia harus bisa menjelaskan bagaimana dia sampai pada pendapat tersebut. Kalau sebuah karya dinilai bermutu, ujar Katrin Bandel, harus dijelaskan di mana kelebihannya. Kalau dianggap memiliki terobosan baru, juga harus dijelaskan apa terobosan tersebut dan mesti bisa dibuktikan bahwa memang ada sesuatu yang baru di situ.
Prasyarat inilah yang tampaknya masih jadi masalah besar dalam kehidupan kritik sastra di negeri ini. Bila semua telaah dan atau pendapat tentang karya sastra diakui sebagai kritik sastra, sesungguhnya apa yang disebut kritik sastra terus diproduksi dari waktu ke waktu. Baik oleh kalangan kampus maupun dari lingkungan sastrawan itu sendiri.
Teks-teks semacam itu tak pernah surut. Format dan bentuknya pun beragam. Mulai dari esai dan resensi di koran atau majalah, tulisan-tulisan di jurnal kampus, hingga karya-karya ilmiah berupa skripsi, tesis, dan disertasi di perguruan tinggi. Masalahnya, berbagai telaah terhadap karya sastra—secara diametral kerap dibedakan dalam dua kelompok: akademis dan nonakademis—yang ada tersebut pada umumnya belum sampai pada tingkatan yang ideal.
Mayoritas kritik sastra akademis, misalnya, selama ini dinilai lebih mengedepankan teori dan mengabaikan spirit kreatif sastra. Tidak aneh bila cap yang dilekatkan pada telah jenis ini sebagai kritik sastra yang kaku, kering, terlalu formal dan dengan demikian tidak menarik.
”Dengan mengandalkan teori dan menyingkirkan akal sehat (common sense) agar sebuah kritik sastra tampak obyektif, ’diri pribadi’ yang diharapkan hadir akan tergeser oleh formalitas- formalitas. Inilah ciri khas kritik sastra akademis: pribadi kritikus dikerdilkan dan peran teori dibesarkan. Mayoritas kritik sastra akademis hanyalah ada demi untuk kepentingan ada belaka, bukannya ada untuk membawakan pengaruh dan membawa dampak,” kata Budi Darma.
Sebaliknya, telaah sastra nonakademis dikeluhkan sebagai kritik yang dangkal, hadir tanpa melalui penelitian dan tanpa seperangkat teori dalam mendekati sebuah karya, serta terlalu mengedepankan rasa dan akal sehat. Hal itu terjadi karena titik berat kritik sastra nonakademis umumnya adalah produknya dan bukan prosesnya.
Kritik alegoris
Di tengah kerisauan banyak kalangan terkait ketiadaan kritik sastra yang mumpuni, yakni kritik sastra yang mampu membicarakan berbagai fenomena dalam sastra Indonesia mutakhir saat ini, sebuah tawaran model kritik ”baru” datang dari Arif Bagus Prasetyo. Penulis dan kurator sastra ini menyebutnya sebagai kritik sastra alegoris.
Di era ”kamatian” kritikus seperti dikeluhkan saat ini, Arif meyakini amat dimungkinkan kritik seni (termasuk kritik sastra) dilahirkan kembali sebagai seni kritik. Jika dulu kritik sastra bekerja dalam paradigma kaji, yakni pencarian makna, maka kini kritik sastra dapat beroperasi dalam paradigma seni, yakni penciptaan makna. Jika kritik sastra di masa lalu sering serupa pisau bedah yang mengotopsi seonggok ”mayat sastra” untuk menemukan maknanya yang tersembunyi, maka kritik sastra di masa kini bisa lebih menyerupai pisau pahat yang mengolah sepotong ”kayu sastra” demi memberinya makna baru.
”Di era kematian kritikus, dan ketika pembaca (sudah) bisa (merangkap) menjadi kritikus, kritik sastra alegoris tidak berpretensi membangun jembatan antara karya sastra dan khalayak pembaca. Kritik sastra alegoris hanya berminat membangun jembatan antara karya sastra dan sang kritikus sendiri sebagai bagian dari proyek penciptaan arsitektur makna baru,” kata Arif.
Lewat kritik model ini, khalayak pembaca—juga pengarang— dipersilakan mengunjungi jembatan itu, berjalan-jalan dan menikmatinya. ”Syukur-syukur bila ada yang tercerahkan,” kata Arif B Prasetyo. (KEN)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011
No comments:
Post a Comment