Judul Buku : Menggambar Impian
Penulis : Pay Jarot Sujarwo
Penerbit : Borneo Tribune Press dan Pijar Publishing
Cetakan : Pertama, Januari 2011
Tebal Buku : ix+164 Halaman
DALAM kurun waktu sekitar 3 tahun terakhir, dunia perbukuan Indonesia cukup semarak dengan kehadiran buku-buku berjenis kisah sukses. Buku-buku inspiratif yang memang mampu menggedor semangat, memompa motivasi setiap orang untuk terus tumbuh dan berkembang seiring zaman yang semakin kompetitif di segala bidang.
Salah satu buku berjenis kisah sukses dan amat inspiratif tersebut menurut saya adalah buku berjudul Menggambar Impian ini. Buku ini merupakan kisah sukses pelukis cilik Bryan Jevoncia, siswa SD Suster, Pontianak, Kalimantan Barat, yang menggenggam penghargaan prestisius dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia muncul sebagai salah satu pemenang dalam ajang International Children Art Competition 2007. Yang menarik lagi, ia meraih penghargaan setingkat PBB tersebut di saat usianya menginjak 6,5 tahun.
Bagi anak seusia itu, meraih penghargaan selevel PBB adalah bagaikan pembuktian kemampuan personalitas yang baik. Bagai memancarkan kilau emas yang terpendam. Apalagi, kilau emas itu ternyata ada di bumi Borneo, Kalbar. Tentu saja, untuk meraih penghargaan seprestisius itu, tak mudah proses kreatif yang dijalani Bryan.
Dikisahkan di dalam buku ini, Bryan misalnya pernah bersitegang dengan pihak keluarganya, terutama mamanya, karena kesukaannya menggambar di dinding rumah. Kebiasaan yang pastilah membikin gerah orang rumah ini rupanya memang susah dikendalikan. Dalam banyak hal, orang rumah Bryan pun membaca kecenderungan kreatif yang dijalani Bryan membutuhkan semacam penanganan khusus.
Akhirnya, salah satu bentuk "penanganan khusus" itu adalah diikutkannya Bryan dalam berbagai lomba menggambar, terutama yang diselenggarakan di Kota Pontianak sebagai ibu kota Kalbar. Dari event-event lomba semacam inilah, yang tidak semuanya memunculkan Bryan sebagai pemenang, kemampuan menggambar Bryan semakin terasah. Terhitung, semenjak kecil ia rajin menggambar, barulah pada 24 Juli 2005, Bryan membawa pulang piala. Artinya, itulah piala pertama kali yang ia bawa pulang sepanjang mengikuti berbagai lomba menggambar.
Dengan piala itu, Bryan semakin termotivasi. Ketika berada di depan televisi, piala itu ditaruhnya di atas televisi. Begitu pula ketika pindah ke tempat tidur, piala itu ia bawa. Bahkan ketika makan di meja makan, nongkrong pula piala itu (hlm. 51).
Tersebab ketekunan Bryan dalam mengasah kreasi, tidak pandang bulu mengikuti event lomba yang diselenggarakan siapa pun di Pontianak, akhirnya suatu hari di tahun 2007, Rosina, Mama Bryan, mengirimkan karya Bryan dan anak-anak lainnya di Pontianak melalui internet untuk ikut serta ajang Children Art Competition yang diselenggarakan PBB itu. Peserta yang dijaring adalah berusia 6 sampai 15 tahun di seluruh dunia. Temanya Kita dapat memberantas kemiskinan. Kelak, enam karya pemenang yang muncul menjadi perangko resmi yang dikeluarkan PBB untuk tahun 2008.
Lantas, apakah penafsiran Bryan terhadap kemiskinan?
Ternyata, gambar yang diikutsertakan Bryan ke PBB adalah gambar yang tak jauh dari memori masa kecilnya. Mama Bryan adalah mantan tukang jahit. Maka, Bryan kecil suka melihat ibunya menjahit, tak jauh dari posisi ibunya menjahit, sejumlah anak (saudara dan teman-teman Bryan, mungkin?) sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang bermain boneka, membantu ibunya mengukur kain, dan sebagainya. Rupanya, tafsir visual Bryan ini cukup menggelitik para juri lomba melukis internasional itu.
Jadilah Bryan dihubungi pihak Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang mendapatkan surat bahwa salah satu karya warga negara Indonesia bernama Bryan Jevoncia memenangkan lomba menggambar PBB. Karya Bryan muncul bersama sejumlah nama pemenang lain, di antaranya Elisabeth Elaine Chun Ning Au dari Hong Kong, Rufaro Duri dari Zimbabwe, Mariam Marukian dari Armenia, Grace Tsang Ji Yan dari Hong Kong, dan Ranajoy Benerjee dari India. Tentu, proses pemberangkatan ke Amerika Serikat pun kemudian direncanakan. Sampai akhirnya, sepulang dari Amerika, Bryan dapat bertemu dengan Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono.
Boleh jadi, kisah sukses perihal Bryan ini penting disimak oleh siapa pun orang tua. Talenta anak memang perlu dikawal dengan perhatian dan kasih sayang yang cukup, diarahkan untuk mencapai hasil yang maksimal. Bryan adalah contoh kegigihan di tengah kultur negara berkembang yang tetap dihuni oleh kemiskinan begitu mendera, dan akhirnya ia bisa memberikan kontribusi untuk membebaskan kemiskinan itu sendiri dengan kemandirian yang berakar dari keluarga. Kini, karya Bryan memang sudah dicetak dan beredar secara internasional. Persoalannya, apakah di Indonesia yang notabene merupakan negara miskin pula, kontribusi pikiran Bryan ini akan berpengaruh atau direalisasi oleh masyarakat dan didukung pemerintah? ***
Satmoko Budi Santoso, sastrawan, tinggal di Yogyakarta
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 dan 30 Januari 2011
No comments:
Post a Comment