-- Ilham Khoiri
Dulu, para seniman itu bak seorang empu yang gemar menyepi demi mencari inspirasi, kemudian menempa karya di sanggar yang hening. Kini, perupa generasi baru melebur dalam geliat kehidupan kota. Mereka menggiatkan kerja kesenian sebagai praksis sosial.
Warga melintas di dekat mural bertema antikorupsi di Jalan Gerbang Pemuda, Senayan, Jakarta, Jumat (14/1). Tembok-tembok kota kini berubah menjadi ruang penyampai pesan melalui karya seni. (K O M PA S / P R I YO M B O D O)
Halaman samping belakang Galeri Nasional Indonesia di Jakarta cukup riuh suatu sore pertengahan Januari lalu. Puluhan orang berkerumun di bawah tenda sederhana. Sambil membawa kaus putih, mereka antre di salah satu sudut untuk dapat giliran kausnya disablon secara gratis.
Beberapa seniman menyablon kaus itu dengan gambar pilihan pengunjung. Salah satu gambar yang laris adalah karya Popo (28), seniman jalanan dari kelompok Kampung Segart di Lenteng Agung. Gambar itu berupa sosok naif yang menuliskan teks ”Fun Fine Art”. Tetapi, kata ”fine-”nya disilang.
”Semoga seni itu bisa lebih menyenangkan (fun) sehingga semua orang bisa menikmati, bahkan ikut terlibat. Seni bukan untuk dimurnikan (fine art) karena akan menjadi elitis,” kata seniman lulusan Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Ada 36 seniman yang terlibat dalam proyek ”Hanya Memberi Tak Harap Kembali” itu. Mereka menawarkan master karya yang bisa direproduksi, seperti dengan sablon, stiker, fotokopi, kartu pos, selebaran, emblem, dan stiker. Pengunjung bisa memperoleh reproduksi karya itu secara gratis dengan membawa kaus, kertas, tas, atau flashdisk.
Lewat cara ini, masyarakat luas mudah menikmati karya-karya seni. Karya seni tak lagi dipingit di studio pribadi atau ruang galeri dan museum, melainkan disebar ke tengah masyarakat, kalau perlu secara gratis. Seni pun bakal dinikmati khalayak luas.
Karya-karya itu pun tak sepenuhnya murni olahan seniman sebagai otoritas tunggal. Sebagian seniman justru mereproduksi seni pop yang beredar di tengah masyarakat. Contohnya, foto-foto penyanyi dangdut di kawasan pantura, gambar-gambar di bak truk, atau stiker yang populer di bus-bus kota.
Kegiatan ini merupakan rangkaian pameran ”Decompression #10: Expanding The Space and Public”, puncak perhelatan ulang tahun ke-10 Ruangrupa. Komunitas di Jakarta ini termasuk salah satu kelompok muda yang mengusung modus baru dalam berkesenian.
Generasi baru
Kenapa disebut mengusung modus baru? Karena mereka tumbuh di habitat kota, menggalang diri dalam komunitas, menggarap karya berbasis urban, dan menyajikannya di ruang publik kota. Cara seperti ini tak dilakukan para seniman zaman dulu yang cenderung berkarya secara individual dan berjarak dari masyarakat.
Komunitas dengan spirit serupa tumbuh di beberapa kota di Indonesia. Sebut saja, antara lain, Serrum, Atap Alis, Kampung Segart, Akademi Samali, Forum Lenteng, dan Tembok Bomber di Jakarta. Di Bandung, ada Common Room dan Asbestos Art Space. Juga Ruang Mess 56 atau House of Natural Fiber (HONF) di Yogyakarta.
Karya mereka tergolong street art lantaran memanfaatkan ruang jalanan, seperti lukisan dinding (mural), corat-coret (grafiti), stensil, striker, poster, komik, bahkan membuat karya seni pada website di internet. Bisa dibilang, mereka mempraktikkan seni sebagai aktivisme sosial karena karya seni tak lagi digumuli sebagai perkara artistik, tetapi menjadi media untuk mendorong perubahan.
Di tangan mereka, seni menjadi media yang luwes untuk memperjuangkan terwujudnya kehidupan kota yang lebih baik. ”Karena kami tinggal di kota, kami ikut berusaha menjadikan kota lebih manusiawi dan demokratis, dengan publik lebih kritis,” kata Ade Darmawan, salah satu pendiri Ruangrupa.
Gustaff H Iskandar, salah satu pendiri dan Direktur Common Room, menyebut generasinya sebagai seniman organik. ”Karena kami hidup di tengah kehidupan kota, menyerap kegelisahan warga, lalu menyajikannya sebagai karya di ruang publik,” katanya.
Pergeseran
Karakteristik generasi baru ini memang berbeda dari apa yang dijalankan para seniman dekade-dekade sebelumnya. Tahun 1930-an hingga 1960-an, misalnya, seni rupa Indonesia banyak didorong sanggar-sanggar, seperti Persagi (Persatuan Ahli Gambar) atau SIM (Seniman Indonesia Muda), atau Sanggar Bambu. Meski berkelompok, para seniman tetap bekerja dengan orientasi memperkuat dirinya sebagai seniman dan karyanya secara individual, seperti pelukis Affandi atau S Sudjojono.
Tahun 1980-an, cara berkesenian bergeser. Lewat perupa asal Tulungagung, Moelyono, kita mengenal apa yang disebut ”seni rupa penyadaran”. Dia bergerilya menggalang aktivitas seni rakyat di desa. Tahun 1990-an, sejumlah seniman berkelompok untuk membumikan seni di tengah publik. Semangat ini antara lain diwakili Apotik Komik dan Taring Padi di Yogyakarta, yang aktif membuat mural, poster, atau grafiti.
Reformasi 1998 mengubah banyak hal. Seiring runtuhnya rezim Orde Baru dan kian terbukanya pintu demokrasi serta didukung teknologi informasi canggih, bermunculan komunitas seni baru yang disebut tadi. Mereka berkesenian secara lebih santai dan terbuka.
Pengamat seni rupa, Hendro Wiyanto, menilai, generasi baru seni rupa itu memang lahir dan tumbuh besar di kehidupan urban. Mereka berinteraksi dengan teman-temannya dan kemudian menemukan keajaiban dan masalah di lingkup urban. Spirit itu pula yang diangkat dan memengaruhi cara kerja keseniannya.
”Mereka adalah produk dari demokratisasi dan ikut menciptakan demokratisasi seni. Dengan metode partisipatif, mereka masuk dalam denyut nadi masyarakat dan mendorong semua orang untuk mengalami seni secara bersama, tanpa hierarki atas-bawah. Yang dipentingkan adalah proses dan pengalaman bersama,” katanya.
Setidaknya generasi baru ini memang berkesenian secara fun alias menyenangkan. Bukan kesenian yang dipandang sebagai ritual yang sakral.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment