-- Munawir Aziz
NUSANTARA atau Indonesia, bagi rakyat yang berdiam dan merasa memilikinya, hadir secara imajiner berkaitan dengan realitas dan dasar eksistensialnya pada masa silam, masa kini, dan tentu proyeksinya di masa depan. Namun, ia bukan hanya sekadar metamorfosa imajis atau dalam ungkapan Ben Anderson, imagined community dari masyarakat yang ada di dalamnya. Nusantara juga sebuah fakta, sebuah realitas konkret, yang pada masa lalu ditandai kuat—antara lain—oleh keberadaannya yang tangguh dan mendunia sebagai negeri atau bangsa bahari.
Namun dengan berbagai sebab, yang kebanyakan tidak disadari oleh kita sendiri, realitas masa lalu itu kini seperti punah. Ungkapan ”nenek moyangku seorang pelaut”, kini bukan lagi sebuah ekspresi eksistensial, tetapi seakan jadi seruan dengan jarak historis, kultural, dan eksistensial yang hampir juga tak terjembatani.
Identitas sebagai negara maritim telah lenyap tak berbekas, berganti dengan kekuasaan berbasis kekuatan darat, dengan pertanian dan perkebunan sebagai tumpuan. Sementara di laut kita hanya tertegun menyaksikan nelayan Indonesia dan patroli aparatnya bertekuk lutut di hadapan kekuatan negeri lain.
Padahal, jejak kuasa Indonesia sebagai negeri maritim— yang mengandalkan kekuatan laut sebagai perisai utama—terlacak dari pelbagai sumber yang memberi gambaran nyata.
Arysio Santos (2009) yang melacak jejak negeri Atlantis—merujuk dari teks Plato—meyakini Indonesia adalah negeri mitologis itu, di mana peradaban tinggi, teknologi maju, hingga sumber daya manusia unggul menjadi ciri kemajuan kebudayaan maritimnya.
Imaji Nusantara
Riset Santos mencoba membuka singkap misteri konsep negeri Atlantis yang sering dinukil Plato dalam beberapa risalahnya, terutama Republic.
Penjelasan Santos tentang Indonesia sebagai Atlantis menghadirkan banyak fakta tentang potensi kekuatan laut yang dilupakan manusia Indonesia. Begitupun Pramoedya Ananta Toer dalam bukunya, Arus Balik, menulis tentang pengaruh kekuatan armada laut Nusantara di hadapan kapal-kapal kolonialis asing.
Bernard HM Vlekke (1961) menggambarkan keunggulan angkatan perang laut Nusantara, seperti Sriwijaya dan Majapahit, saat berhadapan dengan kekuatan-kekuatan laut dari negeri-negeri luar.
Robert Dick-Read di sisi lain melacak jejak armada laut Nusantara bahkan hingga Madagaskar. Dalam karya The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times (2005), Dick-Read melakukan riset mendalam tentang jejak peradaban bahari nenek moyang manusia Indonesia.
Data arkeologis dan historis yang menjadi catatan Dick-Read: di perairan sekitar Kalimantan dan di selat antara Singapura dan Sumatera terdapat sejumlah besar orang laut, alias suku bangsa yang hidup dan kulturnya sangat dekat dengan laut, seperti orang Tambus, orang Mantang, orang Barok, orang Galang, orang Sekanak, orang Posik, orang Moro, dan orang Sogi.
Dick-Read menulis, di antara Sulawesi dan Mindanao, terdapat suku Somal yang gemar berperang yang memiliki perahu jenis kora-kora. Pada 1847, kapal uap Inggris, Nemesis, berjumpa dengan armada yang terdiri dari 40-60 kapal perompak berjenis itu. Kapal tersebut digambarkan memiliki panjang 24, 384 meter dengan awak berjumlah 80 orang, sedangkan yang lain memiliki panjang sekitar 21,336 meter, lebar 3,657 meter, dengan awak hingga 40 orang. Kemudian, terdapat orang Bajo yang terkenal, yang sangat mungkin menjadi angkatan laut Sriwijaya.
Kekuatan bahari
Riset Dick-Read di atas menunjukkan secara faktual-historis bagaimana manusia Indonesia pada masa lalu membangun kekuatan, negara, dan kebudayaannya berdasarkan pada kemampuannya menguasai lautan. Namun entah kenapa, potensi luar biasa itu seolah terlupakan.
Sebuah usaha atau perjuangan baru perlu dilakukan untuk mengenal dan mengidentifikasi kembali kekuatan dan kelebihan-kelebihan yang sesungguhnya dimiliki oleh ”nenek moyangku seorang pelaut” itu.
Konflik kepentingan mungkin saja terjadi. Namun, itu tak perlu dikhawatirkan bila kita mampu memilin konflik tersebut menjadi semacam dialektika positif dan konstruktif yang mengintegrasikan kedua kekuatan peradaban itu: darat dan laut. Jika dapat itu terjadi, siapa bisa menghalangi bangsa ini untuk maju? Untuk menjadi kekuatan dunia baru? Tak ada. Kecuali kepicikan diri sendiri.
Munawir Aziz, Peneliti di CRCS; Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Januari 2011
No comments:
Post a Comment