Saturday, January 08, 2011

[Tanah Air] Desa Kemiren yang Kental Osingnya

-- Nasru Alam Aziz

AKHIR November lalu, satu bus berpenumpang turis dari Belanda menyambangi Desa Kemiren, antara lain ke Sanggar Pelangi Sutera yang dipimpin Uripno. Saat itu kebetulan ada 25 remaja putri tengah mengikuti pelatihan tari gandrung profesional atau gandrung terop.

Tradisi mocoan, salah satu kekhasan budaya yang masih bertahan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, Rabu (24/11). (KOMPAS/SYAMSUL HADI)


Beberapa bule lelaki-perempuan turut berjoget dengan gerak tubuh seadanya, mengikuti gerakan piawai para calon penari gandrung itu.

”Wisatawan mancanegara yang ke Banyuwangi (Jawa Timur) mesti singgah di Kemiren. Karena, kedatangan mereka ke Banyuwangi terasa lengkap apabila datang ke sini,” ujar Uripno, warga Dusun Krajan, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah.

Warga desa yang berpenduduk 2.430 jiwa itu umumnya keturunan suku Osing. Ini menjadi tempat tujuan wisatawan karena satu dari beberapa desa di Kecamatan Glagah nuansa osingnya masih sangat kental.

”Desa ini diposisikan sebagai desa wisata juga karena warganya masih memegang teguh adat dan kebiasaan leluhurnya,” kata Ayu Sutarto, guru besar Fakultas Sastra Universitas Jember.

Ibarat metafora mur dan baut, Kemiren dengan nuansa osingnya sebagai baut, lalu dipasangi mur pariwisata, sehingga kian mengeratkan pertautan antarkeduanya. Ini diperkuat dengan masih banyaknya rumah tradisional di antara rumah permanen penduduk yang di sana, yang sebagian besar bekerja sebagai petani.

Emperan atau teras di depan rumah penduduk, kerocogan dan baresan, yaitu atap rumah yang jika dilihat dari bagian sampingnya masing-masing berbentuk segitiga dan topi peci, ditambah konstruksi berupa kayu, tanpa paku dan tak beralaskan semen, semuanya mengukuhkan keunikan suku etnis Nusantara yang menjadi salah satu ranah yang dirambah program pariwisata.

Sedikitnya ada 32 acara budaya—yang 18 di antaranya berupa kesenian—masih dijalankan penduduk desa seluas 177.052 hektar itu. Sebutlah acara daur hidup macam Pitonan atau bulan ketujuh kehamilan, kemudian yang bersangkutan dengan tata cara pernikahan berupa ngeleboni (keluarga calon pengantin lelaki mendatangi keluarga calon pengantin perempuan), angkat- angkatan, sebuah proses pertunangan calon pengantin.

Hari besar keagamaan berkaitan dengan tradisi warga pun rutin dilaksanakan tiap tahun. Misalnya, Ndog-ndogan atau Maulidan, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Telur yang dihiasi bendera, nasi lengkap dengan sayur, lauk, dan kue yang disimpan dalam ancak sebagai wadah, dibawa ke tempat acara di masjid.

Ada Penampan, acara menyambut puasa Ramadhan yang diselenggarakan sehari sebelum tibanya hari pertama puasa. ”Saat ini warga saling kunjung untuk mengadakan dzikiran atau yasinan, dilanjutkan dengan makan bersama. Kalau ada sepuluh rumah yang dikunjungi dan harus makan (di setiap rumah tersebut), hanya kerupuk yang mampu dikunyah,” ujar Adi Purwadi, Ketua Adat Osing, warga Desa Kemiren.

Kemudian Ider Bumi, acara yang digelar hari kedua setelah Lebaran pada pukul 14.00. ”Angka dua di sini mengingatkan kebesaran Ilahi yang telah menciptakan manusia laki-perempuan, terjadinya siang-malam,” katanya seraya menambahkan, pesan yang sama diindikasikan pada acara jemur kasur tiap tanggal 1 Zulhijah.

Kasur itu sisinya berwarna merah dan bagian atasnya berwarna hitam. Merah melambangkan semangat, hitam menyimbolkan kebenaran. ”Arti simboliknya boleh jadi, ’orang harus mengatur ritme hidupnya yang dilandasi semangat dan optimisme, antara aspek materi dan spiritual harus seimbang, ada batasnya. Karenanya, kalau malam, ya, istirahatlah yang benar sehingga esoknya badan sehat, segar-bugar, dan bersemangat mencari rezeki buat keluarga,” kata Adi menjelaskan.

Darah-daging

Berkesenian telah mendarah- daging dalam kehidupan warga desa ini. Seni baca mocoan, misalnya, masih dipertahankan. Ini melibatkan kalangan tua, dewasa, dan anak-anak.

Saat Kompas ke Desa Kemiren, Selasa (23/11) malam, tengah berlangsung mocoan di salah satu rumah warga. Suara para jemaah saling bersahutan, menyenandungkan syair Kisah Nabi Yusuf.

Naskah mocoan ini beraksara Arab dan berbahasa Jawa Kuno. Mocoan dilaksanakan sekali sepekan, digelar pada Selasa malam atau reboan bagi anak muda, dan Rabu malam atau kemisan bagi kelompok dewasa.

Yang paling gres adalah seni tari gandrung, dan dari desa inilah antara lain lahir seniman tari gandrung yang dijadikan ikon Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Sebutlah Mbok Temu (65), warga Dusun Kedaleman, Desa Kemiren.

Temu mencapai masa keemasan pada 1970-1980. Hingga kini ia aktif memenuhi undangan pentas, dan masih digandrungi masyarakat. Ia juga aktif menurunkan keterampilan kepada calon penari gandrung.

Hanya saja, mengandalkan hidup dari hasil berkesenian mungkin terlalu muluk. Mbok Temu, contohnya, sekali pentas dibayar Rp 1 juta. Uang ini pembagiannya: 40 persen untuk penari, sedangkan sisanya 60 persen untuk kelompok musik pengiring. Artinya, Temu hanya mendapat Rp 400.000 selama menari dari pukul 19.30 hingga pukul 03.00-04.00 hari berikutnya.

Untunglah ketika dalam puncak kepopulerannya, Mbok Temu bisa menyisihkan upah ngegandrungnya sehingga ia memiliki rumah di atas lahan seluas empat are, yang dindingnya kini belum bisa diplester, sedangkan plafonnya sudah dimakan usia.

”Dulu kami sering kedatangan turis asal Eropa dan Amerika,” kata Uripno, yang ketiban turis secara rutin berkat temannya yang punya akses ke biro perjalanan wisata di Sanur, Bali.

Uripno mendapat bayaran Rp 4,5 juta; meliputi acara penyambutan hingga biaya makan rombongan tamu ke sanggarnya. Cuma, sejak peristiwa Bom Bali, tamu jarang datang. Hubungan Uripno dengan teman dan biro perjalanan di Bali terputus hingga sekarang.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Banyuwangi Suprayogi mengatakan, Desa Kemiren merupakan manifestasi dari budaya Osing. ”Meski di desa lain juga ada yang mempertahankan kebudayaan sama, tetapi tidak selengkap di desa ini,” katanya, setengah mengingatkan, ini merupakan salah satu pertimbangan Desa Kemiren dijadikan Desa Wisata.

Artinya, Desa Kemiren dengan keunikan budaya bendawi dan nonbendawinya bisa dirasakan manfaatnya oleh penduduk. Selain itu, juga telah memberi sosok nyata guna mengeratkan rasa keindonesiaan.

(Syamsul hadi/khaerul anwar)

Sumber: Kompas, Sabtu, 8 Januari 2011

No comments: