-- Andi Suruji
BERBAGAI kalangan, terutama pemerintah dan organ-organnya, pada pengujung tahun lalu, menatap tahun 2011 dengan cerah, optimistis. Begitulah prediksi atau analisisnya. Terutama menyangkut perekonomian. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan masih berlanjut, bahkan bisa mencapai angka yang lebih tinggi dibandingkan dengan pencapaian tahun 2010.
Kita lantas bagai ”terhipnotis” dengan angka- angka yang disodorkan itu. Namun, kita pun bertanya, bagaimana bisa mencapainya. Lalu secara kritis kita juga menggugat, apalah arti angka-angka semacam itu?
Sejatinya, pertumbuhan ekonomi bukanlah semata-mata soal peningkatan angka total output perekonomian nasional. Jauh lebih substansial adalah bagaimana tingkat pengangguran bisa ditekan secara signifikan dan kemiskinan diturunkan secara dramatis.
Pengangguran dan kemiskinan pasti ada di mana pun. Di Indonesia, secara kuantitatif bisa jadi pengangguran dan kemiskinan terus menurun, sesuai dengan versi pemerintah. Akan tetapi, ketika kita lebih cermat mengamati sekeliling, mungkin cerita di kepala kita mengatakan lain.
Di setiap sudut jalan, misalnya, sangat mudah kita temukan orang-orang usia produktif bergerombol bersama sepeda motor mereka. Mereka itu adalah para tukang ojek. Ya, ngojek itulah pekerjaan yang paling mudah dimasuki setiap orang untuk mendapatkan uang. Hanya bermodal uang muka Rp 300.000, semua orang sudah bisa memiliki sebuah sepeda motor untuk menjadi tukang ojek.
Jika sekiranya ada lapangan pekerjaan yang lebih baik, tentu mereka tidak memilih ngojek dengan hasil yang tidak seberapa. Dan, tidak menentu pula. Kemiskinanlah yang menyeret mereka ke sudut-sudut jalan kota-kota besar itu.
Di pedesaan, yang berbasis pertanian, ceritanya lain lagi. Masyarakat menghadapi kenyataan sulitnya mencari nafkah untuk hidup sehari-hari. Masyarakat terimpit beban hidup yang sangat berat karena daya beli mereka tertekan pada titik terendah.
Tragedi tiwul beracun yang menewaskan enam warga Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, tak bisa dikatakan bukan akibat kemiskinan dan rendahnya daya beli. Harian ini pada awal tahun memberitakan, menghadapi kesulitan ekonomi yang masif akibat kenaikan harga bahan pokok, masyarakat menyiasatinya dengan berutang atau mengurangi makan, bahkan ada yang akhirnya mengambil jalan pintas dengan bunuh diri.
Itulah sebabnya, pada awal tulisan ini, saya menyodorkan gugatan antara pertumbuhan ekonomi versus pengangguran dan kemiskinan. Idealnya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mengatasi persoalan pengangguran dan kemiskinan secara signifikan. Kenyataannya, meski pemerintah mengklaim keberhasilannya menjaga pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi tadi, tukang ojek, pedagang keliling, dan pengemis justru semakin berjubel.
Kita patut mempertanyakan ihwal penurunan tingkat kemiskinan itu dengan membandingkan uang belanja negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, misalnya, terus meningkat, termasuk di dalamnya anggaran untuk mengatasi kemiskinan yang sangat menyengsarakan rakyat.
Pajak yang ditarik dari rakyat juga terus meningkat. Namun, di sisi lain, nominal utang publik (pemerintah) juga terus meningkat, yang sebagian memang untuk mengatasi kemiskinan dan pengangguran.
Bagi orang miskin, kebutuhan hidup mereka sebetulnya sangat sederhana. Pangan, terutama. Sayangnya, banyak orang miskin, petani gurem, tak berhasil menuai tanaman karena gagal panen. Sialnya pula, tahun lalu harga pangan sangat ”jahat” dan sama sekali tidak berpihak kepada orang miskin. Harga pangan melonjak tak keruan, ya tentunya dengan berbagai faktor penyebab.
Cuaca sering dikambinghitamkan. Bagi pemerintah, menuding cuaca sebagai penyebab kegagalan produksi pertanian pangan adalah cara paling efektif. Seolah kesalahan hanya ada pada cuaca. Padahal, banyak juga pekerjaan rumah pemerintah yang tidak dilakukan.
Kalau sudah tahu cuaca berubah secara ekstrem, seharusnya sejak awal pula digenjot penyediaan bibit dan benih yang adaptif terhadap cuaca, lalu dibagikan kepada petani. Infrastruktur, terutama untuk ketersediaan air yang dibutuhkan petani, dibenahi secara masif.
Akan tetapi, semua itu seolah terabaikan. Pemerintah (kabinet) yang berisi para politisi rasanya lebih asyik memainkan kartu-kartu politik. Seolah permainan politik lebih mengasyikkan ketimbang membicarakan secara keras upaya mengangkat derajat kesejahteraan rakyat. Politisi di Senayan, misalnya, lebih ngotot membangun gedung baru ketimbang kerasnya suara mereka berjuang mengubah nasib dan kesejahteraan rakyat.
Kita sering terlalu fokus berbicara soal golongan orang miskin saja. Padahal, ancaman bagi orang-orang yang hampir miskin tak kalah mengerikan. Sedikit gejolak cuaca dan harga pangan, mereka sudah langsung jatuh miskin.
Kondisi itu rasanya tidak banyak berubah dalam tahun ini. Inflasi tinggi karena gejolak harga minyak mentah dan pangan menghantui perekonomian.
Karena itulah, kabinet dan politisi, kiranya berpolitik untuk memperjuangkan kemakmuran rakyat sekeras-kerasnya.
Inflasi pemerintah dan politisi sudah cukup tinggi! Dibayar mahal dari keringat rakyat, tetapi mereka ingkar kepada rakyat.
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 Januari 2011
No comments:
Post a Comment