-- Yasser Arafat
SECARA kultural, kaum imigran dapat dijuluki sebagai makhluk alam ambang. Mereka bukan kiri bukan kanan. Tak di luar sekaligus tak di dalam. Bagaimana jika kisah mereka dituangkan ke dalam karya sastra?
Buku yang mengisahkan kehidupan kaum imigran India di Amerika ini mengungkai hal itu secara menakjubkan. Melalui sembilan cerpennya, Chitra Banerjee Divakaruni, sastrawan kelahiran India yang telah tinggal di Amerika sejak 1976, menggeret cakrawala cerita yang tak hanya menghampar di ufuk keimigranan, tapi juga melintasi aras keperempuanan. Ia pun membuktikan bahwa silang-selimpat keambangan—dalam istilah antropolog Victor Turner disebut liminalitas—itu justru membiakkan watak dialog ihwal segala hal di dalam diri para imigran. Baik tentang nilai, adat dan budaya, pandangan hidup, hingga pasal seremeh trik bertukar cuap.
Produk ruang dialog yang paling menarik untuk ditilik dari Chitra sebagai seorang imigran adalah kritiknya pada ide otonomi tubuh. Ini agak berbeda dengan polah sebagian besar sastrawan perempuan dari dunia Timur yang mengusung penuh isu itu di dalam karya-karya mereka. Bahkan, tak sedikit yang menjadikannya sebagai langkan untuk membincangkan perkara perkelaminan.
Bagi Chitra, gagasan yang melazimkan daulat mutlak setiap orang atas tubuhnya memang beraura emansipasi. Tapi di sisi lain, ia justru menyembirkannya ke bawah kuasa sang pemilik tubuh. Padahal, tubuh adalah subyek merdeka. Daulat tubuh ada di tubuh itu sendiri. Sang pemilik hanya berkewajiban untuk mencekau makna-makna yang diproduksi oleh tubuh. Bukan mengendalikan tubuh. Ini tersirat dari ucapan Radhika, tokoh utama dalam Masa Kaktus Berbunga: untuk sesaat atau seabad, aku berdiri tercengang, terkejut dan juga tak terkejut, berusaha mencari makna dari kejadian ini. Berusaha mencari makna tubuhku, makna rasa menggigil yang muncul dari tapak kakiku (hal 198).
Selain itu dalam Apa Yang Diketahui Tubuh, Chitra berdalil tentang banyak hal dalam sejarah yang tak bisa dieja kecuali oleh tubuh. Lalu tubuh menyimpannya dengan sabar dalam sel-selnya yang cerdas sampai sang pemilik siap melihatnya (hal 147). Tegasnya, tubuh bukan benda mati. Ia hidup. Ia tahu dan bisa membalas apa yang telah dilakukan sang pemilik padanya. Karena itu, selamanya ia tak bisa diperdayai, alih-alih dieksploitasi, sekehendak pemiliknya. Sekalipun demi kilah kepuasan seksual.
Lokasi identitas
Secara garis besar, tema yang mengelindani setiap cerpen berkisar wacana bagaimana Timur memperlakukan Barat. Chitra mengungkapkan bahwa Barat—disimbolkan oleh Amerika—kerap tak menyaldokan ruang hayat bagi Timur, diwakilkan oleh India. Hingga sebagian besar kaum imigran nyaris tertujah oleh ketakpercayaan diri untuk tetap setia pada keindiaan mereka. Bahkan, dalam Kecerdasan Benda-benda Liar dan Nama-nama Bintang Dalam Bahasa Bengali, Chitra meriwayatkan kenyaristumpasan tilas-tilas keindiaan seperti bahasa Bengali dan sapaan kekeluargaan dari lidah para perantau itu.
Untung saja di antara mereka masih ada yang tetap kukuh mengerutak pusparagam keindiaan. Penggunaan bahasa Bengali, penabalan nama khas India, penjunjungan etika keluarga, perujukan pada nilai luhur yang terkandung dalam dongeng dan mitologi, pelaksanaan upacara religi, hingga pemakaian busana khas India. Ini menandakan betapa identitas manusia seperti keindiaan, meski terpinggirkan, akan terus mengabadi. Sebab, sebagai identitas, India dan keindiaan berlokasi di dalam pikir, jiwa, dan raga mereka.
Tetapi tentu takaran keasliannya tak sekalis awal mula. Di telatah rantau, identitas kaum imigran terbentuk setelah melalui tahap persabungan kultural yang sengit. Cerpen-cerpen seperti Kesalahan-kesalahan Yang Tidak Diketahui Dalam Hidup Kita yang menyindir kepalsuan dan keprofanan cinta manusia modern, Cinta Seorang Pria Baik yang mengurai traumatika masa lalu berbalut konflik keluarga, serta Kehidupan Orang-orang Asing yang menyoal kegetunan sekaligus kerinduan pada tanah air, cukup apik membabarkan hal itu.
Kurang jeli
Sayangnya, interaksi tokoh di setiap cerpen hanya terjadi antarorang India yang telah teramerikakan saja. Bukan antara orang India dan orang Amerika. Cuma cerpen Apa Yang Diketahui Tubuh sajalah yang selamat. Agaknya Chitra kurang jeli melihat itu. Secair apa pun definisi peradaban dan kebudayaan, tentu persoalan di atas tak bisa disuruk sambil lalu. Novel The Namesake: Makna Sebuah Nama (Gramedia Pustaka Utama, 2006) karya Jhumpa Lahiri bisa menjadi pembanding.
Pemilihan judul buku yang diambil dari salah satu cerpennya, Kesalahan-kesalahan Yang Tidak Diketahui Dalam Hidup Kita pun terasa kurang pas. Eksplorasi penulis atas keimigranan, jati diri perempuan India, serta pernik perjumpaan antara keindiaan dan keamerikaan yang paling intim lebih berbunyi dalam Nyonya Dutta Menulis Surat. Seharusnya cerpen bergelar The Best American Short Stories 1999 itulah yang menjadi judul buku. Selain itu, cerpen Anak-anak Yang Terlupakan yang mengangkat kisah anak-anak dan kemiskinan di India pun lari dari cerita keimigranan.
Tapi itu tak masalah. Terutama karena jundetan simpul keimigranan yang menggemal orang-orang India imigran itu diurai oleh penulis sebagai manifestasi persuamukaan sistem peradaban India dan Barat-Amerika. Yang terpenting, melalui karya ini penulis telah mendudukkan perempuan sebagai tokoh utama yang memperkalamkan persuamukaan peradaban itu tanpa harus membirainya dengan kisah-kisah perkelaminan. Karya senada langka nian, bukan?
Yasser Arafat, Alumni Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Pegiat Komunitas ”macakata” Indonesia
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment