Jakarta, Kompas - Penerbitan buku di Indonesia sepanjang 2010 tidak beranjak dari tahun sebelumnya, tetap lesu dan suram. Penerbit sulit berkembang karena terbebani tingginya biaya produksi dan distribusi, lemahnya daya beli masyarakat, serta tak adanya dukungan pemerintah.
Sejumlah penerbit yang dijumpai di sejumlah kota mengatakan, rata-rata produksi buku dan angka penjualan buku terus turun. Sementara biaya produksi justru naik tajam karena harga kertas membubung tinggi dan ongkos distribusi mengalami kenaikan.
Rasyid Harry, Direktur Penerbit Hambali Swadaya Putra (HSP), di Jakarta, mengatakan, pihaknya selaku penerbit kecil berupaya menerbitkan 10 judul buku per tahun. Namun, penjualannya sangat sulit.
”Untuk mencapai penjualan 1.000 eksemplar per judul buku, butuh waktu sekitar satu hingga dua tahun,” ujarnya, pekan lalu.
Untuk ikut proyek pengadaan buku pun, kata Rasyid, bukan hal mudah karena harus memiliki lobi kuat dengan birokrasi pemerintahan.
”Dulu, penerbit kecil juga mendapat kesempatan untuk dibeli bukunya sehingga sangat membantu permodalan,” kata Rasyid.
Kurangi produksi
Di Yogyakarta, sejumlah penerbit terpaksa mengurangi produksi agar tetap bisa bertahan. Penerbit dan Percetakan Galang Press, misalnya, produksinya turun sekitar 30 persen ketimbang tahun 2009. Sementara Penerbit dan Percetakan Navila mengurangi produksi buku hingga 75 persen untuk mengatasi biaya produksi yang terus naik.
”Tahun 2010 merupakan masa kelabu untuk penerbitan buku,” kata Direktur Penerbit dan Percetakan Navila Sholeh UG.
Pengurus Forum Editor Pusat yang juga pemilik penerbitan dan percetakan Galang Press, Julius Felicianus, mengatakan, penerbit dan percetakan hanya memperoleh 7 persen dari total harga jual buku. Sebagian besar biaya, sebanyak 50 persen, terserap untuk biaya distribusi buku ke toko-toko buku. Beban biaya terbesar lainnya adalah tingginya harga kertas dan pajak kertas yang mencapai 15 persen dari harga produksi buku.
Di sisi lain, belum ada keberpihakan pemerintah untuk perbukuan di luar buku-buku pelajaran. ”Penerbitan buku masih dilihat sebelah mata oleh pemerintah. Padahal, perbukuan sangat penting untuk membentuk masyarakat yang berwawasan,” ucap Julius.
Direktur Penerbitan Total Media Sobirin Malian mengatakan, penerbit kecil juga sulit menembus sistem tata niaga perbukuan. Selain itu, jaringan distributor buku enggan mengantar sampai ke daerah terpencil untuk mengurangi biaya.
”Toko-toko buku pun membatasi waktu pajang buku hanya tiga pekan. Padahal, masyarakat Indonesia belum tentu sebulan sekali ke toko buku,” tuturnya.
Kondisi yang sangat memberatkan penerbit kecil ini dikhawatirkan membuat kualitas buku di Indonesia menurun. Saat ini, penerbit memilih mengikuti tren buku yang laku di pasaran dan menomorduakan kualitas.
Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Lucya Andam Dewi mengatakan, penerbit buku di Indonesia menghadapi banyak problem yang butuh peran pemerintah dan masyarakat. Persoalan harga dan pajak kertas untuk buku juga belum mendapat solusi yang memuaskan.
Dharma Hutauruk, Ketua Kompartemen Buku Ikapi, mengatakan, saat ini buku yang diterbitkan 1.500-2.000 judul per bulan. (ELN/IRE)
Sumber: Kompas, Senin, 31 Januari 2011
No comments:
Post a Comment