-- Ilham Khoiri
Salah satu buah dari proses itu dapat disaksikan dalam pentas ”Musikal Laskar Pelangi” di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, yang digelar hingga 9 Januari ini. Dalam pertunjukan yang berangkat dari novel dan film terkenal Laskar Pelangi itu, Hartati dipercaya sebagai koreografernya. Dia menata gerak berbagai adegan yang berdurasi hampir tiga jam.
Hartati, koreografer. (KOMPAS/ PRIYOMBODO)
Bentuk koreografi Hartati memperlihatkan paduan perilaku manusia sehari-hari dengan khazanah tarian zapin Melayu, silat Minangkabau, balet modern, dan gaya bebas. Semuanya diramu sebagai bagian dari narasi pentas musikal yang mengisahkan perjuangan 10 anak dalam memperoleh pendidikan di Kampung Ganthong, Pulau Belitong.
Pentas dibuka dengan tarian para kuli timah. Dengan mengadaptasi langkah-langkah tari zapin Melayu, gerakan mereka tampak dinamis dengan loncatan, gerak maju-mundur, atau berayun ke kiri-kanan. Iramanya rancak-serempak.
Mereka menari sambil bernyanyi tentang Belitong sebagai pulau penghasil timah. Tergambar, bagaimana mereka bosan dengan rutinitas kerja, tetapi harus tetap melakoninya demi memperoleh penghidupan.
Tiba pada penampilan anak-anak, bahasa geraknya berubah. Tariannya turun-naik mengikuti pergulatan mereka di sekolah yang hampir roboh itu. Saat sedih, tarian mereka lamban dan murung. Ketika bersemangat, gerak menjadi trengginas. Saat adegan romantis, tariannya menjadi puitis.
Lihat saja tarian Aling, gadis China yang dipuja Ikal. Ketika Ikal menyenandungkan kerinduan kepada pujaannya, gadis itu tiba-tiba muncul dalam gerak tarian balet yang anggun di tengah kupu-kupu yang beterbangan.
Tak pelak lagi, koreografi karya Hartati menjadi salah satu unsur yang menghidupkan pentas ”Musikal Laskar Pelangi”. Tarian para pemain menyatu dengan kekuatan tata panggung semirealis, musik yang dinamis, lagu, serta keseluruhan narasi pertunjukan yang bersahaja tetapi menghibur itu.
”Koreografi di sini lebih fungsional karena menjadi bagian dari seluruh cerita, musik, dan aspek-aspek pemanggungan. Saya berusaha membuat gerak tari yang nyaman bagi anak-anak yang mesti menyanyi sambil menari di panggung,” kata Hartati di sebuah kafe di TIM, Kamis (6/1) sore.
Perempuan
Kiprah Hartati dalam pertunjukan garapan sutradara Riri Riza ini menandai salah satu pencapaian perempuan ini dalam dunia koreografi. Sebelumnya, dia lebih sebagai koreografer yang memadukan tradisi silat Minangkabau dengan tari kontemporer. Dia termasuk generasi penerus koreografer Sumatera yang berkiprah di kancah tari modern Indonesia, seperti Huriah Adam, Gusmiati Suid, kemudian Tom Ibnur dan Boi G Sakti.
Hanya saja, Hartati kemudian memanfaatkan corak tarian itu untuk secara khusus menggarap tema perempuan. Hasilnya memperlihatkan keluwesan khazanah tradisi dalam bahasa gerak kontemporer yang ditopang gagasan aktual. Karyanya itu lebih menggigit karena berangkat dari pengalaman pribadi, kehidupan masa kecil, pergulatan di rumah tangga, penelitian, atau bacaannya terhadap kenyataan dan berbagai referensi lain.
”Sayap yang Patah” (tahun 2001), termasuk koreografi awal karya Hartati yang secara jelas memperlihatkan karakteristik itu. Dia menggambarkan perempuan yang terpenjara oleh berbagai pekerjaan rumah tangga sehingga kehabisan waktu untuk diri sendiri.
Tahun berikutnya, lewat karya ”Membaca Meja”, dia menggugat superioritas laki-laki terhadap perempuan. Begitu pula ”Ritus Diri” (2004) yang mempertanyakan sistem matrilineal (garis keturunan pada perempuan) di Minangkabau yang terdesak kekuasaan laki-laki.
Pada tahun-tahun berikutnya, Hartati tak lagi sekadar mengeluhkan keadaan. Dia mencoba membuat karya yang menggugah perempuan untuk bangkit dan memberdayakan diri. Lahirlah karya seperti ”Hari Ini” dan ”In(side) Sarong In(sight) Sarong” (2007), serta ”Cinta Kita” (2008).
Dengan gagasan dan bentuk karya semacam itulah, Hartati kemudian diapresiasi di banyak panggung nasional dan internasional. Dia pernah tampil di Singapura, China, Kolombia, Amerika, dan Australia. Lewat program Empowering Women Artist dari Yayasan Kelola yang diperolehnya, dia berkarya selama tiga tahun terakhir.
Tradisi
Pencapaian Hartati berproses lewat perjalanan panjang. Tumbuh di desa kecil di Muaralabuh, Solok Selatan, Sumatera Barat, dia akrab dengan budaya Minangkabau. Dia mempelajari berbagai jurus silat, seperti silek tuwo, tumango, harimau, atau silek luwambek. Pengetahuan dan keterampilan seni Melayu diperoleh saat belajar di SMKI Padang Jurusan Tari (lulus tahun 1986).
Hijrah ke Jakarta, dia kuliah tari di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) tahun 1986-1985, yang memperkenalkannya pada tarian Nusantara dan modern. Saat bersamaan, dia bergabung dengan kelompok Gumarang Sakti pimpinan Gusmiati Suid, koreografer yang memadukan silat Minangkabau dengan tari modern.
Hartati pertama kali membuat karya koreografi tahun 1987. Sejak itu sampai kini, atau selama 24 tahun, dia tak henti berkarya. Karya-karyanya merefleksikan perjalanan seorang manusia dengan problematik sebagai perempuan, penghargaan pada tradisi Minangkabau, dan kegamangan identitas Indonesia di tengah perubahan zaman.
”Dengan terus berkarya, saya semakin menemukan diri sendiri sekaligus membuka jendela untuk melihat kehidupan lebih luas,” katanya.
Sumber: Kompas, Minggu, 9 Januari 2011
No comments:
Post a Comment