-- Ilham Khoiri & Mawar Kusuma
KOMUNITAS seni rupa baru bermunculan. Mereka tak mendudukkan perupa sebagai pemegang otoritas tunggal, melainkan membaurkannya dengan berbagai kelompok kreatif lain. Mereka biasa bertemu untuk mencari adonan karya seni rupa baru. Semuanya dikerjakan dengan lintas disiplin.
Mural menjadi salah satu karya seni sarat pesan yang banyak ditemui di sejumlah dinding di Kota Yogyakarta, seperti yang ada di Kampung Sureng Juritan, Pakualaman, Jumat (21/1). Dinding kota telah sejak lama digunakan oleh masyarakat Yogyakarta sebagai media dalam menuangkan ide-ide kreatif melalui karya seni mural. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)
Seperangkat instalasi di atas meja itu mirip sebuah eksperimen di laboratorium. Bulatan-bulatan kaca berisi adonan aneh ditancapkan pada wadah kotak. Di depannya ada beberapa botol berisi minuman hasil fermentasi. Wadah tadi dihubungkan dengan rangkaian kabel dan kemudian tersambung pada headphone. Dari alat bantu pembesar suara itu, terdengar suara kresek-kresek yang aneh. Agak mirip dengung serangga.
Instalasi yang tampak rumit itu memang sebuah eksperimen ilmiah. Hanya saja, uji coba itu tak digarap di laboratorium tertutup, melainkan diboyong di tengah ruang pamer terbuka di Galeri Cipta II dan III, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta. Uji coba yang diberi judul ”Intelligent Bacteria” ini ditampilkan dalam pameran ”Multimedia Art in Indonesia,” rangkaian peringatan 10 tahun Ruangrupa yang berlangsung 7–27 Januari.
Rangkaian unik ini merupakan perpaduan antara teknologi, seni, dan multimedia yang dipermak menjadi karya seni rupa kontemporer. Ini hasil kerja House of Natural Fiber atau HONF, komunitas interdisipliner di Yogyakarta.
Instalasi ini mengaplikasikan peran bakteri dalam proses pembuatan anggur. Suara ”musik” yang timbul ketika bakteri memproduksi karbondioksida dalam proses fermentasi anggur dapat ditangkap sensor dan melahirkan bunyi yang disebut orkestra bakteri. ”Karya itu akan ditampilkan dalam Festival Transmediale di Jerman, pada 1-6 Februari,” kata penggagas HONF, Vincentius Christiawan, yang akrab dipanggil Venzha (35), Kamis (20/1) lalu.
Menautkan seni dan perkembangan teknologi melalui laboratorium media, komunitas seni ini akhirnya memang tidak melulu beranggotakan seniman. Para akademisi dengan latar belakang beragam, seperti teknik, kedokteran, hukum, hingga arsitektur turut bergabung. Dari garasi rumah yang disulap menjadi laboratorium kerja di Jalan Wora-Wari, Baciro, Yogyakarta, sekitar 40-an anggota komunitas ini menelurkan beragam ide karya seni media baru.
”Seni media baru harus mampu memadukan perkembangan teknologi terkini dengan estetika atau seni itu sendiri. Harus ada inovasi karya,” ujar Venzha.
Kelompok ini juga menggelar beragam workshop mulai dari tema tentang mikrobiologi hingga webcam. Ada juga program festival seni publik bertajuk Yogyakarta Internasional Media Art Festival dan Yogyakarta Internasional Video Work Festival. Tentu saja, sebagian pesertanya juga dari mancanegara.
Masih di Yogyakarta, Komunitas Ruang MES 56 juga memadukan media fotografi, video, dan program komputer. Tak hanya memanfaatkan galeri pamer, karya-karya pun ditampilkan di websites internet dengan menampilkan spirit fotografi kontemporer. Markas Komunitas Ruang MES 56 di Jalan Nagan Lor, Patehan, Yogyakarta, menjadi ruang belajar bagi para seniman muda fotografi.
”Kami berusaha untuk terus bereksperimen dengan berbagai kemungkinan baru,” kata anggota Ruang MES 56, Jim Allen Abel dan Dolly Roseno.
Mak comblang
HONF dan Ruang MES 56 bisa mewakili karakter seni rupa generasi baru di Indonesia. Mereka meleburkan batas-batas disiplin ilmu dengan membuat karya yang merangkum unsur visual, musik (audio), animasi (video, televisi), pertunjukan (performance), atau grafis. Berbagai kelompok kreatif bersinggungan tanpa sekat.
”Ibaratnya, kami ini seperti mak comblang. Teman-teman datang ke sini, kami menjadi fasilitator yang menghubungkannya dengan kelompok kreatif lain,” kata Gutaff H Iskandar, Direktur Common Room di Bandung.
Di situ, berbagai kelompok seni memang biasa berkumpul, mulai dari pelukis, pematung, pembuat mural, grafiti, grup band, penulis, pengamat budaya, atau desainer. Lewat persentuhan lintas disiplin itu, mereka mendapat akses dan peluang untuk mencoba ekspresi dan media baru dalam kesenian.
Sebagian pegiat komunitas itu bahkan menjalani berbagai aktivitas sekaligus. Contohnya, Addy Gembol (32), vokalis dan pencipta lagu kelompok band Forgotten. Pemuda ini aktif dalam kelompok Solidaritas Independen Bandung dan kelompok indies Ujung Berung Rebels. Kegiatannya pun seabrek: yang aktif berkampanye naik sepeda, reboisasi hutan, dan membuat pentas musik. ”Semua saya jalani dengan gembira,” katanya.
Otonomi
Untuk memperkuat kegiatan, mereka membangun ruang dan jaringan bersama di antara sesama komunitas seni rupa baru. Di Indonesia saat ini, setidaknya ada 25-an komunitas seni rupa baru yang aktif. Meski berbasis di kota masing-masing, hubungan antarkomunitas terjalin kuat.
Itu juga yang memungkinkan mereka saling menyemangati dan membantu, termasuk terhadap komunitas di kota-kota kecil. Sebut saja, di antaranya Jatiwangi Art Factory di Jatiwangi, Gardu Unik di Cirebon, Urban Space di Surabaya, Mamipo (Malang Meeting Point) di Malang, Ruang Akal di Makassar, dan Sarueh di Padang.
Untuk menjalankan kegiatan, mereka juga membangun jaringan ke luar negeri, seperti lembaga donor, institusi seni atau universitas mancanegara, serta saling tukar kunjungan atau residensi seniman di Indonesia dan asing. Dengan begitu, karya-karya mereka berorientasi global.
Semua itu dimungkinkan karena generasi baru ini lahir dalam kemajuan teknologi. Mereka cepat belajar terhadap temuan baru dan menjajal berbagai kemungkinan hubungan yang cepat, seperti lewat facebook, e-mail, websites, blog, atau twitter. Ke mana-mana, mereka membawa laptop yang bisa mengakses internet.
Yudi Andhika (28), seniman jalanan yang aktif dalam kegiatan Common Room, misalnya, memanfaatkan websites pribadi dan kelompok mural untuk menyebarkan mural karyanya. Karya itu berupa mural yang dikerjakan bersama seniman dan warga di Babakan Asih, Kopo, Bandung, tahun 2010 lalu.
”Saya baru saja berkolaborasi dengan seniman Filipina untuk membuat mural lagi di Babakan Asih. Karya saya sekarang sedang dipamerkan di beberapa negara,” katanya.
Kreativitas generasi baru ini patut dihargai. Tanpa banyak berwacana, mereka telah bergerilya memperkuat diri secara mandiri di tengah minimnya infrastruktur seni rupa di Tanah Air. Lebih menarik lagi, mereka bisa bergerak bebas, tanpa bergantung pada pemerintah dan pasar.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011
No comments:
Post a Comment