-- Budiarto Danujaya
DALAM perkara politik atau ekonomi, corak pandang paling mewarnai masyarakat kita dewasa ini bukanlah liberalisme, sosialisme, ataupun sosialisme-demokrat, melainkan popularisme. Begitu pula, dalam sengkarut seni dan budaya, bukanlah secorak postrukturalisme, bukan pula secarik postmodernisme, melainkan juga popularisme.
Inilah nalar di balik kesibukan rezim penguasa kita belakangan ini lebih mengurusi segala rupa indikator ekonomi demi pencitraan ketimbang pengurangan pengangguran dan mengatasi kemiskinan nyata rakyatnya. Ini pulalah nalar di balik pengakuan atas kedaulatan SMS dalam penentuan pelbagai lomba di televisi maupun pengagulan atas merebaknya segala rupa corat-coret para blogger di internet yang coba dimaknai sebagai kegairahan sastrawi.
Sedemikian merisaukan gejala ini, sampai-sampai dalam penjurian sebuah lomba tarik suara di televisi Melly Goeslaw berkata, kalau orang Indonesia memang maunya begitu, mulai besok dia akan menyanyi dengan false (sumbang). Kegeraman ini jelas mewakili gerundelan banyak pihak sebelumnya karena melihat banyak peserta yang tampil baik justru terpental, sementara yang tampil buruk justru bertahan lantaran mendapatkan cukup SMS.
Memang, seperti pernah diwacanakan JF Lyotard (2001), performativitas akibat keacapan kehadiran kerap silap kita pahami sebagai ”kebenaran”. Repetisi presensi, yang menjadi semakin mudah dan murah akibat kemajuan teknologi media dan komunikasi mutakhir, seperti televisi, internet, atau SMS, menimbulkan penumpukan ekstensif efek penghadiran diri sehingga mudah silap kita pahami sebagai legitimasi.
Rupanya, kesilapan serupa memantik pergunjingan berkepanjangan seputar krisis kritik seni pada lembaran Kompas Minggu beberapa pekan belakangan. Kesilapan memahami performativitas keacapan kehadiran sebagai kenyataan ”kebenaran”. Kesilapan memahami repetisi presensi sebagai multilegitimasi—laiknya pengakuan keabsahan atas keragaman tatanan-nilai, logika, maupun sudut pandang pada parakritisisme Ihab Hassan (1975) ataupun paraestetika David Carroll (1989).
Mendaku paralogisme
Gejala popularisme lebih pantas dipahami sebagai pengakuan ketakberdayaan atas supremasi kuantitas ketimbang legitimasi ”kualitas”. Dalam hal ini, ”orang banyak” lebih diterima sebagai faktisitas kejamakan yang tak tertampikkan ketimbang sebagai konstitutivitas keragaman yang secara sadar dipilih sebagai orientasi ideologis dalam proses keputusan-nilai apa pun, termasuk kritik seni.
Alih-alih bersitumpang-tindih maknawi dengan paralogisme—pengakuan keragaman legitimasi akibat penerimaan ketakterreduksian segenap masing-masing keliyanan (the others) dalam entitas jamak bertajuk ”orang banyak” pada kompleksitas proses keputusan-nilai—popularisme malah bisa kebablasan menjadi semacam anarkisme diferensiasi partikular. Relativisasi legitimasi justru potensial terjadi karena perbedaan segenap masing-masing keliyanan lalu mentah-mentah diterima sebagai identitas partikular yang final sehingga tak perlu diskrutinisasi lagi dan tinggal dijumlahkan saja.
Dalam konteks ini, sungguh mengherankan perebakan corat-coret para blogger sampai perlu demikian serius diperdebatkan posibilitasnya sebagai kondisi anteseden bagi krisis kritik seni kita; apalagi sampai dihubung-hubungkan dengan diskursus ”kematian pengarang” dari Roland Barthes. Logika sirkular di balik dakwaan bahwa kematian kritikus sastra merupakan konsekuensi logis diskursus ”kematian pengarang”—lantaran segenap pembaca lalu dianggap berpeluang menjadi kritikus—menyamakan secorak relativisme indifferentis dengan pluralisme legitimasi; mencampurbaurkan secorak popularisme dengan paralogisme.
Dengan diskursus ”kematian pengarang”, Barthes (1977) sesungguhnya lebih ingin memperlihatkan bahwa sesegera sebuah ”karya” (work) hadir, sesegera itu pula dia berhenti menjadi karya sang pengarang ”semata” lantaran telah menjadi ”teks” pula. Tandas Barthes, ”karya merupakan sebuah fragmen substansi”, sedangkan ”teks merupakan sebuah medan metodologis.” Jadi, bedanya, ”karya dapat digenggam dalam tangan, teks tergenggam dalam bahasa” sehingga ”teks hanya dialami dalam sebuah kegiatan produksi.” Dalam pengertian itulah, ”teks tak dapat dihentikan”, dan ”gerak mengadakan dirinya adalah dengan terus memilah diri.” Pada Barthes, teks bukanlah obyek mati, melainkan seolah ”subyek” yang terus-menerus memproduksi makna.
Meskipun begitu, pernyataan kemandirian teks dalam memproduksi makna tersebut tentulah bersifat metaforis. Pada kenyataannya, tanpa pembacaan, tanpa ketegangan noema-noesis, tanpa proses hermeneutik, realisasi produksi makna takkan terjadi. Proses produksi makna baru dimulai ketika persekongkolan antara anasir-anasir subyektif pada segenap tiap-tiap pembaca dan anasir-anasir ”subyektif” pada teks terjadi.
Gamblanglah, Barthes bermaksud sekadar menegaskan bahwa penafsiran maknawi teks tak lagi harus bergantung pada niat ”semula” pengarangnya ”semata”. Ini berbelakangan dengan hermeneutika klasik yang justru mewajibkan penelusuran maksud pengarang, seluk-beluk kehidupan, serta latar sosio-historis karyanya demi mengejar kesaksamaan metodologis dalam merebut makna teks. Pasca-Barthes, makna sebuah teks lalu seolah-olah berada di persimpangan jalan antara para pembaca dan teks.
Melalui diskursus ini, posibilitas paralogisme tafsir menjadi terbuka karena keliyanan segenap masing-masing pembaca lalu diterima sebagai bagian tak tertampikkan dalam pemaknaan teks. Dalam kerangka tekstualitas sebuah karya, pembaca lalu bahkan menjadi anasir struktural tak terreduksikan dari teks karena—meminjam istilah J Derrida—menjadi constitutive outside dari teks; menjadi ”seluar yang membuat ada” teks; menjadi seluar ”sekitar teks” (kon-teks).
Mengelit relativisme
Terus terang diskursus ”setiap orang kritikus” segera mengingatkan pada deretan panjang epigon banal dan berlebihan atas ”anything goes” dari Against Method P Feyerabend (1975). Ketimbang dipahami sungguh-sungguh sebagai anjuran untuk memercayai relativisme indifferentis, apalagi dalam konteks metodologis, seperti banyak tafsir salah kaprah atas postmodernisme, diskursus semacam ini barangkali lebih tepat kita terima sebagai anjuran untuk melawan keyakinan berlebihan atas posibilitas keserbatunggalan dalam kerangka teori, perspektif, dan metodologi.
Dalam hal ini, meskipun dengan tegas merayakan paralogisme tekstual, Barthes sendiri juga dengan gamblang berusaha menghindarkan diri dari jebakan anarkisme diferensiasi partikular semacam itu. Mirip dengan penempatan etos pluralisme sebagai koridor dalam diskursus demokrasi, Barthes mencoba menyusun kembali koridor aksiologis yang lebih bisa menampung pluralisasi legitimasi pemaknaan teks.
Salah satunya dengan membedakan antara ”teks pembaca” (readerly text) dan ”teks penulis” (writerly text). Bagi Barthes (1974), perbedaannya terletak pada kapasitas potensial mereka dalam memproduksi makna. Teks penulis merupakan ”kehadiran berkelanjutan” lantaran merangsang ”kebelumtampilan” maknawi sebuah teks. Jadi, kalau teks pembaca lebih merupakan ”produk”, teks penulis lebih merupakan |”produksi”. Dalam kerangka inilah ia berkata, ”Semakin plural sebuah teks, semakin sedikit ia ditulis sebelum kubaca.”
Rekonstruksi aksiologis ini bertujuan untuk menata kembali semacam ”kriteria” untuk ”mengklasifikasi” teks, tetapi yang lebih paralogis, agar tak terjebak pada relativisme indifferentis. Gamblangnya, sebagai teks, karya sastra lalu tetap bisa kita ”kualifikasikan”, tetapi kali ini lebih dalam kerangka perbedaan kapasitas potensialnya merangsang imajinasi pembaca melahirkan makna teks.
Dengan demikian, kiranya jelas keperluan menghindari jebakan diskursus berbau popularisme semacam itu. Pengagulan popularisme sebetulnya cuma penerimaan total supremasi kuantitas belaka. Inilah ideologi SMS, internet, dan, dengan kadar sedikit lebih mendingan, juga televisi: anything goes asalkan ”orang banyak” suka.
Budiarto Danujaya, Pengajar Diskursus Politik dan Ideologi Departemen Filsafat FIB UI
Sumber: Kompas, Minggu, 30 Januari 2011
No comments:
Post a Comment