APA boleh buat. Perjalanan sastra Indonesia tampaknya harus selalu berkutat di tengah berbagai kerisauan. Masuknya era multimedia tidak dengan sendirinya mengubah secara signifikan sosok sastra Indonesia, semisal ikut dengan gagah berteriak lantang di pentas dunia.
Wali Kota Tanjung Pinang Suryatati Manan ikut mengisi acara pada malam pentas seni Temu Sastrawan Indonesia III/2010 di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. (KOMPAS/KENEDI NURHAN)
eski karya terus lahir dan penerbitan tumbuh subur, kehidupan sastra Indonesia masih dibelit persoalan yang selalu berulang dari waktu ke waktu. Keragaman sebagai suatu keniscayaan masih berdiri sebagai entitas yang terpolarisasi dalam batas-batas kepentingan kelompok.
Kegairahan berkarya dalam satu dekade terakhir begitu membuncah, tetapi tidak diimbangi lahirnya kritik sastra yang mampu membicarakan berbagai fenomena yang muncul sehingga (meminjam narasi tim kurator Temu Sastrawan Indonesia III/2010) memungkinkan terbangun iklim sastra yang lebih sehat dan lahirnya visi kolektif sastra Indonesia. Bertumbuhnya bibit-bibit penulis baru dari berbagai kantong kebudayaan di sejumlah kota ternyata juga tidak didukung (lagi-lagi meminjam narasi tim kurator TSI III/2010) mekanisme intelektualitas dan dialektika yang memadai di lingkungan penulis.
Begitu pun terkait keberadaan komunitas-komunitas sastra dengan ragam ideologi yang diusung para pendukungnya. Gagasan mulia di balik kehadiran komunitas-komunitas tersebut, antara lain untuk lebih menggairahkan kegiatan kreatif para ”anggota”-nya dan dengan sendirinya ikut merayakan kemajuan sastra Indonesia, dalam tataran praksis malah melahirkan semacam ”perseteruan” satu sama lain. Persengketaan antarkubu pun kerap muncul, baik secara diam-diam maupun terbuka.
”Alih-alih para sastrawan dan penggiat komunitas sastra berkiprah dalam kronos sebuah dunia global yang sedang berubah sangat cepat dan mendefinisikan diri secara tepat, problem utama yang tertangkap selaku penyakit akut: politicking komunitas sastra! Hampir tak terasa adanya kegembiraan bersama atas daya ungkap yang kian beragam, apalagi berdasarkan keragaman pendekatan ideologi,” kata Akmal Nasey Basral, mantan moderator milis Apresiasi Sastra yang juga dikenal sebagai novelis.
Perseteruan—baik secara diam-diam maupun terbuka—semacam itu cukup merisaukan banyak kalangan, termasuk sastrawan Putu Wijaya. Dalam amatan Putu Wijaya, adanya kubu-kubu dengan komunitas-komunitas yang berbeda panutan itu seperti mengulang ”sejarah kelam” sastra Indonesia.
Tidak perlu jauh-jauh menengok ke belakang. Di tahun 1980-an muncul apa yang disebut sastra kontekstual, yang dimotori Arief Budiman dan Ariel Heryanto. Dalam pandangan Putu, ”keonaran” yang ditimbulkan akibat kehadiran sastra kontekstual tersebut sesungguhnya lebih sebagai bentuk pemberontakan terhadap apa yang dituding sebagai kemahakuasaan sastra di pusat menara gadingnya: Jakarta dengan Taman Ismail Marzuki (TIM)-nya.
Proses pendangkalan
Bagi Putu Wijaya, perbedaan pendapat, polemik, bahkan pertengkaran sekalipun adalah tanda-tanda kehidupan sastra sehat. Tentu saja sejauh untuk dan semata demi kepentingan sastra. Masalahnya, kehidupan kelompok-kelompok sastra dengan panutan masing-masing itu tak ubahnya partai politik. Bila ditelusuri lebih jauh, sesungguhnya bukan karena ideologinya yang membuat perseteruan itu muncul, tetapi lebih pada keinginan menjadi pimpinan alias berkuasa dalam menentukan nilai.
”Mula-mula ada peristiwa yang menyatukan mereka yang berpaham sama. Tapi kemudian komunitas-komunitas itu mulai berusaha untuk lebih menunjukkan kehadirannya dengan mengganggu komunitas lain,” kata Putu Wijaya. Siasat itu memang berhasil menarik perhatian, tetapi tidak membuat sastra jadi bertambah baik. ”Namun, perseteruan antarberbagai komunitas sastra yang memiliki ideologi masing-masing itu membuat banyak tenaga tercurah lebih pada diskusi yang bersifat personal,” tambahnya.
Akibat lebih jauh dari situasi semacam ini, alih-alih mencari kebenaran dalam pertelingkahan itu, malah banyak sastrawan yang kemudian terseret untuk tampil menjadi apa yang disebut Putu Wijaya sebagai patriot guna memenangkan komunitasnya. Komunitas-komunitas sastra itu kemudian bertarung tidak lagi dengan kreativitas, tetapi dengan berbagai intrik seperti dalam politik.
Persaingan yang tidak sehat semacam inilah yang membuat eksistensi sastra semakin terkubur. Sastra yang sudah tidak punya gigi lagi dalam kurikulum sekolah, misalnya, menjadi tambah tidak penting.
”Dalam situasi demikianlah muncul peluang bagi sastra populer untuk mengambil peran sehingga mendapat sambutan masyarakat. Sastra populer bahkan kini dielu-elukan, dianggap sebagai karya yang memancarkan kenyamanan, yang maksud sesungguhnya adalah kelangenan,” kata Putu.
Adakah jalan keluar? Mengutip ucapan yang pernah dilontarkan WJS Purwadarminta tentang hakikat pengarang, Putu mengingatkan bahwa pengarang adalah seorang pejuang yang berdiri sendiri. Pengarang adalah manusia bebas.
Mungkin saja seorang pengarang akan kesepian, tetapi ia tidak terikat pada kelompok dan tidak harus meladeni kepentingan-kepentingan kelompok. Apalagi harus ikut berkelahi dengan kelompok lain demi dan untuk membela sebuah kelompok.
Di luar urusan pertelingkahan antarseniman, ikut terseretnya kalangan sastrawan dalam kemelut politik sastra diyakini tidak berdiri sendiri. Al azhar, budayawan Riau yang menggeluti masalah Melayu dan kemelayuan, melihat adanya kuasa lain di luar sastra yang ikut mendangkalkan pikiran dan sensitivitas anak-anak bangsa ini, yakni kuasa politik dan ekonomi.
Tragedi kemanusiaan dalam peralihan kekuasaan politik tahun 1965-1966, kata Al azhar, mengantarkan anak bangsa ke dalam atmosfer kehidupan yang tertekan dalam ketakutan, serta melemahkan kesadaran kritis kita sebagai anak bangsa. Kondisi ini dimanfaatkan sebagai ”jalan lempang” bagi penetrasi politik-ekonomi yang mendangkalkan akal budi. Pencapaian-pencapaian ekonomis lalu didesakkan oleh kekuasaan politik untuk menjadi mimpi bersama, menanduskan imajinasi-imajinasi yang menyangga Indonesia dan bangunan keindonesiaan itu.
”Karya-karya sastra memang tetap ditulis dan diterbitkan, tapi ia hidup kesepian di tengah kerumunan anak bangsa yang lalu lalang memburu pencapaian-pencapaian ekonomis agar dapat menjadi konsumen budaya materi,” ujarnya. (ken)
Sumber: Kompas, Jumat, 21 Januari 2011
No comments:
Post a Comment