Sunday, January 23, 2011

"Kujang Pamangkas" - Bert-Jan Tjassens Keiser

-- Een Herdiani

MATA saya terbelalak, ketika melihat sepasang kujang terpampang gagah di dinding ruangan mungil, yang dihiasi berbagai senjata tradisional berasal dari Indonesia. Sepasang kujang yang dipamerkan di dinding dengan background kulit buaya. Sepasang kujang yang unik dan tak lazim ukuran dan modelnya. Sejauh ini, saya hanya mengetahui berbagai jenis kujang yang berukuran kecil dengan bentuknya sangat beragam. Sementara kujang yang saya lihat saat itu, sangat berbeda dengan apa yang ada dalam pikiran saya.

Tampilannya sederhana dan ukurannya cukup besar. Panjang dari ganja (gagang atau tangkai kujang) hingga papatuk/congo sekitar satu meter dan lebar antara beuteung sampai tonggong sekitar delapan sampai sepuluh cm. Kujang ini memiliki lima mata, yang terlihat jelas pada bagian tonggong kujang. Benda tersebut sangat terawat, bersih, dan sisi-sisinya masih sangat tajam. Ganja nya yang terbuat dari kayu tampak mengkilat kehitam-hitaman.

Tak bisa disangkal, kujang merupakan senjata dan pusaka tradisi yang dimiliki urang Sunda. Berdasarkan beberapa tulisan yang ada mengenai senjata unik pada seantero nusantara, kujang ini hanya ada di Jawa Barat dan Banten. Yang menarik, secara fisik kujang tak hanya memiliki fungsi sebagai senjata, tetapi memiliki nilai artistik yang luar biasa. Tentu saja mungkin hal ini menjadi salah satu faktor, yang menjadikan masyarakat Sunda reueus terhadap kujang. Kareueus masyarakat Sunda terhadap keberagaman jenis dan bentuk kujang serta makna yang terkandung di dalamnya, selalu dikumandangkan terutama oleh masyarakat tergabung dalam komunitas pecinta kujang sebagai artefak budaya Sunda.

**

DIYAKINI oleh masyarakat Sunda, keberadaan kujang sebagai warisan karuhun, sudah tua usianya. Meskipun sampai kini literatur yang dapat menjadi acuan, untuk menelusuri sejarah awal keberadaan kujang masih terasa minim.

Akan tetapi, memang ada beberapa sumber historiografi tradisional yang menyebutkan perihal kujang yaitu dalam Pantun Bogor, Serat Manik Maya, dan naskah Siksakandang Karesian.

Pemaparan tentang kujang yang cukup lengkap terdapat dalam Pantun Bogor. Dalam pantun ini, pembicaraan tentang kujang selalu disisipkan hampir setiap lakon dan episode baik fungsi, jenis, dan bentuk, para figur pemakainya hingga bagaimana cara menggunakannya. Keberadaan naskah historiografi tradisional ini, sangat membantu untuk mengetahui mengenai kujang, walaupun secara historis belum terungkap dengan jelas. Hal ini menjadi suatu harapan besar agar ada peneliti, yang berusaha untuk mencari tahu mengenai latar historisnya.

Dari beberapa pengamatan saya yang serbaterbatas pada sejumlah sumber, termasuk sebagaimana berbagai website, diketahui berbagai ragam jenis kujang, di antaranya kujang pusaka (lambang keagungan dan pelindungan keselamatan), kujang pakarang (alat berperang, buat menangkis serangan), kujang pangarak (alat upacara adat), kujang pamangkas (sekarang masih dipakai alat berladang), dan kujang sajen (alat upacara adat).

Berdasarkan hal inilah, saya mengganggap bahwa kujang yang saya lihat di rumah Bert-Jan Tjassens Keiser di Goudzeelt, Zuid-Scharwode, Heerhugowaard, Negeri Belanda ini, termasuk jenis kujang pamangkas yang digunakan masyarakat Sunda Lama sebagai alat perladangan atau pertanian. Sebagaimana disebutkan dalam salah satu sumber bahwa kujang pada zaman Kerajaan Tarumanegara, sudah ada dalam konteks perkakas perladangan atau perkakas pertanian dalam pranata sosial budaya masyarakat pada saat itu (Suryadi Maskat).

Akan tetapi, pada masa apakah kujang yang dikoleksi oleh Bert-Jan ini dipergunakan? Dari fisiknya tampak kuno, sudah berapa tahunkah usianya? Bert-Jan hanya mengatakan bahwa ia mendapatkannya dari nenek moyangnya secara turun-temurun. Sebagai pewaris, ia adalah generasi keenam. Bert-Jan hanya diberitahu oleh kakek neneknya, yang lahir dan meninggal di Indonesia tentang nama benda dan asalnya. Yaitu didapatkan dari orang Sunda dan ia juga menyebutkan Banten. Bert-Jan tidak dapat menjelaskan lebih jauh mengenai asal-usul dan usia dari kujang yang dimilikinya.

Dan yang lantas menarik dan membuat penasaran bagi saya, apakah benda ini sama dengan kujang pamangkas yang masih dipergunakan masyarakat Kanekes? Berdasarkan informasi salah satu website disebutkan bahwa kujang pamangkas hingga kini masih digunakan. Seperti dituliskan Anis Djati Sunda, "Pada masyarakat etnis Sunda ada kelompok yang masih akrab dengan kujang dalam pranata kehidupan sehari-hari, yaitu masyarakat Sunda "Pancer Pangawinan" yang tersebar di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor, di Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi, dan masyarakat Sunda Wiwitan Urang Kanekes (Baduy) di Kabupaten Lebak. Kujang (kujang pamangkas) dalam lingkungan budaya mereka masih digunakan untuk upacara nyacar (menebang pohon untuk lahan huma) setahun sekali. Sebagai patokan pelaksanaan nyacar tersirat dalam ungkapan unggah kidang turun kujang yang artinya, jika bintang kidang (orion) muncul di ufuk timur waktu subuh, pertanda waktu nyacar telah tiba dan kujang digunakan sebagai pembuka kegiatan perladangan" (http://tentangbogor.blogspot.com/2009/03/sejarah-kujang.html).

Adakah museum-museum di Jawa Barat yang memiliki kujang semacam itu? Apabila ada, ingin sekali rasanya membandingkan dengan kujang yang pernah saya lihat tersebut. Selain itu, saya juga sangat berharap ada ahli yang dapat meneliti kujang Pamangkas tersebut, sehingga dari bahan yang dibuatnya dapat diperkirakan kapan dibuatnya . Mungkinkah kujang tersebut merupakan kujang kuno? Jawabannya hanya bisa didapatkan dengan penelitian yang serius oleh para ahlinya.***

Een Herdiani, dosen Jurusan Tari STSI Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 23 Januari 2010

No comments: