-- Riki Utomi
MEMBINCANGKAN cinta merupakan hal yang sangat melankolis dalam hidup kita. Segala sesuatu, apapun itu, kita lakukan karena telah tumbuh cinta dalam hati kita. Cinta yang baik dan yang membangun akan dapat mengantarkan kita pada keberhasilan yang jauh-jauh hari telah kita harapkan.
Cinta dalam hal ini sangat luas, yang melingkupi semua aspek kehidupan. Cinta kepada Tuhan, alam, pekerjaan, benda, manusia dan lain sebagainya. Maka, mengupas cinta sebuah hal yang penuh pesona.
Ketika saya membuka lembar demi lembar halaman buku kumpulan puisi Rumah Hujan karya Budy Utamy, saya terhanyut untuk bukan sekadar membacanya, tapi ikut terhanyut dalam arus nuansa kata yang mengalun-alun kerinduan, kadang memendap dalam sunyi, kadang getir, kadang membuncah-buncah, juga terkadang menggeram. Dari semua perasaan itu, saya menangkap hampir semua puisi dalam Rumah Hujan membicarakan tentang cinta yang bersifat universal.
Budy Utamy, salah seorang penyair perempuan muda Riau yang telah eksis produktivitasnya, merupakan asli putri daerah Pekanbaru kelahiran 30 tahun silam. Menurut saya, dia penyair yang energik, yang selalu haus untuk menimba air dari perjalanan hidup di mana ia berada. Hal ini dapat kita telisik dari latar belakang penyair yang menggemari traveling dengan menyinggahi sejumlah negara dan kota di Indonesia. Maka dari perjalanan hidupnya itulah penyair menemukan cinta yang akan membawanya ke dalam rumah hujannya.
Puisi hadir karena telah ada pergulatan batin yang mengaduk-aduk dalam benak penyair. Dari itu, puisi bisa memperoleh dunianya sendiri oleh sebab keteradukan yang bermacam-macam dari tema, bentuk kalimat, gaya bahasa, dan nuansa yang hadir mengajak pembaca untuk ikut singgah masuk ke “rumahnya”, kemudian menikmati segala keindahan dalam nuansa pergolakan batin penyairnya. Di sini, Budy Utamy seperti ingin memberikan gambaraan kehidupan yang bermacam-macam bentuknya, seolah seperti ingin mengatakan “lihatlah aku di setiap waktu, tempat, dan situasi yang ada.”
Sejumlah puisi ditulis dengan berbagai alasan. Terutama karena dengan puisi seseorang bisa mengungkapkan sesuatu yang ada dalam hati dan kepalanya, sekaligus juga menyembunyikan sesuatu di dalamnya. Dalam Rumah Hujan, hal-hal yang tersembunyi dan misterius begitu terasa menusuk dan mengaduk perasaan kita. Tentu hal itu masih membincangkan hal cinta.
//bahwa keindahan tak selalu meregang wajah/melukis senyum dan mata berbinar/kerjap kelelahan berkeping kayu tua/aku mencoba mengingatnya//(“Pada Sepotong Bulan”)
Puisi adalah sesuatu yang ambigu, yang penuh simbol, dan yang di dalam dirinya terdapat kehendak menyampaikan sesuatu sekaligus menyembunyikan sesuatu. Baban Banita, dalam sebuah esai, mengatakan menulis puisi merupakan sebuah perjuangan yang berat sekaligus menyenangkan bagi penyair, sebab di situ ada pergolakan, pertentangan, kerja keras intelektual, dan tentu saja bukan merupakan hal main-main.
Conrad Aiken lewat Sapardi mengatakan bahwa puisi adalah potret menusia yang dengan peluh di kening, darah di tangan, siksa neraka di hati, dengan gayanya, dengan absurditasnya, dengan kejalangannya, keyakinan-keyakinannya, dan keragu-raguannya. Seperti yang disebut Aiken, maka dalam puisi akan ditemukan kemuraman, ketegangan, kegelisahan hadir ditumpahkan oleh penyair. Boleh jadi, menulis puisi dengan demikian bukanlah kerja sembarangan. Bukanlah pekerjaan yang tanpa pekerjaan, karena menulis (mencipta) puisi adalah menciptakan dunia, seperti pada umumnya penyair yang hadir dan hidup pada masing-masing masanya. Akan membawa sesuatu yang terdapat dalam masanya itu. Chairil Anwar melontarkan, “sebuah puisi yang menjadi adalah suatu dunia.”
Melihat Rumah Hujan, kita seperti diajak untuk menyelusup ke dalam sebuah rumah yang memiliki dunianya sendiri. Dunia yang penuh warna dan empati, juga tak lepas kita menemukan cinta yang mendayu-dayu, seperti mengajak untuk ikut meresapi.
//pada denyut-denyut yang dahulu ada lelah/yang berdetak lirih seperti juga sapamu/cerita taklah mudah untuk diakhiri atau diawali /tapi kehendak mengajak rindu duduk sejenak/meski jauh dari abadi//(“Cinta Tak Akan Menunggu”)
//sepantun cerita ini tak selesai/mengambang bak bulan pucat sendirian/bara cinta redup menyusut/aku rindu pada asmara yang hilang bersamamu/meski kugali//(“Sepantun Cerita, Kau dan Aku”)
Dalam puisi-puisi Budy Utamy, tampak sebuah kerinduan, kegetiran, optimis, sekaligus perjuangan dengan mengandung kalimat-kalimat lirih, sendu, dan mendayu-dayu. Dengan nuansa cinta melekat pada baris-baris setiap kalimatnya, membuat puisi-puisinya dapat tegak berdiri meski “kemasygulan” masih terpatri dalam hati.
Cinta yang luas mengetengahkan berbagai bentuk masalah yang melingkupi dirinya terutama sang penyair, terlihat menguapkan harapan-harapan yang masih tersembunyi, masih terselubung dan misteri.
//permainkan aku setulus hati/seperti dendam yang tersimpan di pelosok bumi/mendahagakan halimun yang terbawa cerita/di lembah peri kami menyayatnya//(“The Journey”)
//mungkin cinta tertinggal di rumah/mendesingkan kata-kata layu pada pintu/tertutup mesti diketuk rindu// (“Mungkin Cinta Tertinggal di Rumah”)
Ketersendirian yang mengarah kepada tekanan batin, juga satu sisi seperti mengajak kita untuk merenungi arti suatu masa, hal-hal yang jauh, kenangan yang berkesan cinta yang tak dapat dilupakan oleh si aku lirik membuat puisi penuh dengan misteri-misteri yang tak dapat diungkap. Dia memendap, tersembunyi di bilik-bilik rumahnya sendiri. Penyair seperti ingin mengajak kita untuk meresapi, tapi tetap mempertahankan kemisteriusan makna yang tersembunyi itu.
//… keriput batang didera detik-detik waktu/terkunci kalimat penutup/menggumpal-gumpal nafas dalam sisa-sisa masa lalu//(“Pada Sebuah Musim Semi”)
//… kita sama berangkat, kekasih/menuju malam-malam lainnya/wajahmu hanya singgah kini/bau yang gegap dari mati…//(“Episode”)
//… waktu mampir sudah kemudian pergi/tapi tak pernah benar-benar berhenti/sebongkah kenangan atau sekuntum dendam/masih akan bercerita/tentang manusia yang datang dan hilang…//(“Rongga Langit”)
Tiga bait penggalan puisi di atas membicarakan hal-hal yang masih tersembunyi, misteri. Ada persinggahan yang sebentar kemudian pergi yaitu dari objek-objek manusia yang mesterius dengan tujuan-tujuan yang samar. Melingkupi perasaan penyair, yang menyisakan harapan, perasaan luka, sedih, dendam, dan harapan-harapan yang buram. Hal-hal tersebut tampak kental dalam balutan nuansa kelam.
Sebongkah kenangan dan sekuntum dendam/masih akan bercerita/tentang menusia yang datang dan hilang. (“Rongga Langit”). Kita masih berangkat, kekasih/ menuju malam-malam lainnya (“episode”). Keriput batang didera detik-detik waktu/ terkunci kalimat penutup (“Pada Sebuah Musim Semi”).
Pada puisi-puisi Budy Utamy memperlihatkan tindakan berbahasa yang mengalir deras. Bahasa-bahasanya lancar dengan kalimat-kalimat yang tersususun dari permainan bunyi. Dari satu sisi, kuat untuk mempertahankan tema yang melingkupinya. Dia (puisi-puisi itu) berbicara rasa cinta kepada apa saja. Melingkupi segala aspek yang mendera batin sang penyair, tapi tetap dalam nuansa mesterinya yang tak dapat membuncah penuh dari dalam rumahnya. Maka, kita hanya dapat melihat-lihat saja meski telah masuk ke dalam rumahnya. Tapi hal-hal yang tersembunyi tetap tak dapat kita gali.
Pada satu sisi, menurut saya, hal ini merupakan upaya baik meski tidak sepenuhnya benar karena puisi memang multi tafsir setelah keluar dari rumahnya dan hadir menemui pembaca. Puisi akan hidup bebas dalam berteman pada pembaca. Dan pada puisi-puisi Budy Utamy, seperti ada upaya sendiri untuk menyembunyikan kemisteriusan cinta-cintanya. Kita tenggelam dalam nuansa waktu, hari-hari, malam, siang, hujan….
Di sisi lain, Budy Utamy telah memperlihatkan eksistensinya sebagai penyair perempuan Riau produktif, muda dan energik, penuh ide, dan senang pada petualang menjelahahi kota. Ini tentu sangat bagus dan dapat memberi motivasi bagi penulis-penulis lain. Karena menurut hemat saya, Riau harus banyak memiliki penyair perempuan yang dapat terus eksis dan bersaing dengan daerah-daerah lain. Terakhir, puisi-puisi Budy Utamy meyuguhkan cinta yang tersembunyi, meski tak tampak tapi begitu manis seperti gula…. ***
Riki Utomi, menamatkan studi di FKIP UIR Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menggemari sastra berupa puisi, cerpen, dan esai yang telah dimuat disejumlah media. Sejumlah puisi terangkum dalam antologi Ziarah Angin, Fragmen Waktu, dan Rahasia Hati. Pernah aktif di FLP Riau dan Sanggar Tiram Bertuah MAN Selatpanjang. Saat ini mengajar di sebuah sekolah kejuruan di Kep. Meranti. Tinggal di Selatpanjang.
Sumber: Riau Pos, Minggu, 23 Januari 2010
No comments:
Post a Comment