Sunday, January 23, 2011

[Kehidupan] Memanusiakan Wajah Kota

-- Ilham Khoiri

”Pakai helm bukan karena polisi. Tapi demi keselamatan Anda”. Di bawah kata-kata itu, ada gambar pengendara sepeda motor dengan dandanan necis: kepala ditutup helm, mulut dan hidung dibebat kain ”slayer”, dan badan dibalut jaket tebal.

Warga berteduh dari rintik hujan di bawah patung nasi bungkus karya seniman Budi Ubrux di kawasan Nol Kilometer, Kota Yogyakarta, Kamis (20/1). Patung yang menjadi simbol solidaritas warga Yogyakarta saat menghadapi bencana tersebut menjadi salah satu karya seni rupa yang ditempatkan di ruang publik kota. (KOMPAS/WAWAN H PRABOWO)


Mural—demikian sebutan lukisan di dinding itu—memenuhi salah satu sisi tiang jembatan layang di bawah Stasiun Juanda, Jakarta Pusat. Permainan warna merah, oranye, dan pink pada gambar tersebut mencerahkan beton yang dingin. Lukisan pengendara sepeda motor yang karikatural bagaikan sapaan dari seorang sahabat.

”Dulu, tiang-tiang ini kotor. Sekarang, pemandangannya jadi ceria,” kata Yitno (30), salah satu tukang ojek, sambil tersenyum.

Lebih dari sekadar menghibur, mural itu menyelipkan pesan yang mengena bagi orang di sekitarnya. Maklum saja, di seberang mural di dekat hentian busway itu terdapat pos polisi. Tak jauh dari situ, ada dua pangkalan ojek. Sementara jalan di situ tak pernah sepi dari lalu lalang sepeda motor.

”Melihat tulisan itu, saya dan penumpang seperti terus diingatkan agar jangan lupa pakai helm,” papar Yitno sambil menunjuk dua helm yang tercantol di sepeda motornya.

Mural itu memang sederhana. Namun, kehadirannya mencairkan kehidupan keras di jalan raya. Karya itu hasil garapan komunitas Serrum, kelompok seni yang dimotori sejumlah alumnus Pendidikan Seni Rupa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), akhir tahun 2010.

Dengan spirit lebih kurang sama, komunitas Ruangrupa Jakarta membuat karya di ruang publik. Lewat proyek ”Jakarta 32 Derajat C”, misalnya, kelompok ini membuat sansak (karung tinju) atau kursi ayunan di dekat halte di jalan raya. Siapa pun bisa mencoba sarana bermain yang mengasyikkan itu.

Di Yogyakarta, kelompok Magersaren Art Project (MAP)— yang antara lain digiatkan seniman Samuel Indratma, Ong Hari Wahyu, dan Butet Kartaredjasa—memajang karya seni terpilih di Nol Kilometer di dekat Jalan Malioboro setiap enam bulan sekali. Awal Januari lalu dipajang patung setinggi sekitar 3 meter karya seniman Budi Ubrux.

Berbahan pelat, patung itu menyerupai bentuk nasi dengan bungkus daun pisang yang dilambari kertas koran. Pada kertas koran itu, ada gambar Sultan Hamengku Buwono X dan cuplikan pernyataannya terhadap tudingan sistem monarki terkait dengan wacana keistimewaan Yogyakarta. Ada juga gambar Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto serta berita erupsi Gunung Merapi.

Inspirasi karya ini lahir dari peristiwa erupsi Merapi, November 2010. Saat itu, lewat pesan pendek (SMS) dadakan, warga serentak menyediakan nasi bungkus bagi pengungsi Merapi. Dalam waktu singkat, ribuan bungkus nasi pun beredar ke barak pengungsian. Patung itu menjadi monumen atas solidaritas warga Yogyakarta di tengah duka karena Merapi dan kerap tidak hadirnya negara saat rakyat membutuhkannya.

Karya seni publik juga mudah dijumpai di Kota Bandung, Jawa Barat. Salah satunya, mural di bawah jembatan layang tol Pasteur-Suropati di kawasan Pasar Balubur. Puluhan tiang beton di situ dihiasi mural karya Irwan Bagja Dermawan (39) alias Iweng. Lukisannya menggambarkan kota impian dengan bentuk gedung yang lucu.

Gambar dekoratif dengan warna-warni muda itu memendarkan keceriaan di tengah kawasan yang sesak itu. ”Segar rasanya melewati mural ini saat berangkat dan pulang sekolah,” kata Fani (14), siswa kelas II SMP 40 Bandung.

Fungsi sosial

Daftar karya seni publik bisa diperpanjang lagi dengan menyebut banyak kelompok seni. Di luar Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, semangat ini juga merambah kota lain di Indonesia. Karyanya beragam, mulai dari mural, grafiti, digital print, stiker, poster, spanduk, fotokopi, komik, stensilan, hingga sablon di atas kaus.

Para seniman menggalang diri dalam komunitas, masuk dalam geliat kehidupan kota, menyerap kegelisahan warga, lantas menyajikannya dalam berbagai karya seni rupa di ruang publik. Pesannya bisa menyangkut berbagai persoalan masyarakat kota, bahkan masalah sosial-politik di negeri ini. Di sini, karya seni menjadi media untuk menghibur sekaligus menumbuhkan kesadaran untuk hidup lebih baik.

”Seni itu punya fungsi sosial, yaitu mentransfer pengetahuan kepada masyarakat luas,” kata Pringgotono (30), aktivis kelompok Serrum yang bermarkas di Kayu Manis, Jakarta Timur.

Bagi Samuel Indratma, seni publik dapat melestarikan nilai kearifan lokal, katakanlah seperti patung penanda solidaritas warga Yogyakarta saat erupsi Gunung Merapi tadi. Selain itu, seni juga bisa memanusiakan wajah kota yang kian disesaki serbuan iklan dan jargon pemerintah. Dengan seni, ruang-ruang kota bisa menjadi hidup, dinikmati bersama, dan milik semua warga.

Pengamat sosial dan pengajar filsafat STF Driyarkara, F Budi Hardiman, menilai masyarakat di kota besar terus-menerus didera beban pekerjaan dan target. Itu membuat mereka selalu dihitung dari sisi produktivitasnya, sementara personalitasnya sebagai manusia tenggelam. Warga kota larut dalam berbagai hiruk-pikuk setiap hari, tetapi asing satu sama lain, bahkan asing terhadap diri sendiri.

”Karya-karya seni publik itu menyodorkan jeda dari rutinitas kota sekaligus memberikan ruang bagi warga kota untuk berefleksi tentang hidup dan diri sendiri. Seni itu seperti cermin bagi warga untuk menyadari dirinya sebagai manusia yang punya perasaan, cita rasa, mood, sambil merenungkan eksistensinya di kota besar. Ini membuat kita lebih manusiawi, lebih beradab,” katanya.

(Wisnu Nugroho/Idha Saraswati)

Sumber: Kompas, Minggu, 23 Januari 2011

No comments: